Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aliffya Maylafaydza Universitas Muhammadiyah

Dampak Kenaikan Tarif PPN Terhadap Inflasi

Politik | Monday, 10 Jul 2023, 08:52 WIB
Sumber : Grafis Istimewa

Tanggal 7 Oktober 2021 lalu, Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengubah sejumlah undang-undang sekaligus yaitu UU KUP, UU PPN, UU Bea Cukai, UU PPh, UU Penanganan Covid-19 dan Undang-Undang Cipta Kerja.

UU HPP mengatur dua hal utama yaitu asas dan tujuan. UU ini diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Sedangkan tujuan dibentuknya UU ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis pajak.

Pajak merupakan pungutan yang wajib dibayarkan masyarakat kepada Negara untuk melayani kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pajak merupakan sumber utama pendapatan pemerintah dan alat penting untuk mendukung perekonomian Indonesia. Hingga 80% penerimaan negara berasal dari pajak, antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Tanah dan Hak Guna Bangunan dengan penuh . Kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% di Indonesia masih terus berlangsung. Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat. Saat ini konsumsi rumah tangga swasta masih defisit, meskipun pajak pertambahan nilai meningkat. Banyak yang masih mengalami pemulihan ekonomi, sehingga kenaikan PPN dipastikan akan semakin tinggi memberatkan bagi masyarakat.

Salah satu pertimbangan diberlakukannya kebijakan kenaikan PPN adalah Pasalnya selama pandemi, penerimaan negara anjlok sedangkan belanja negara harus digelontorkan untuk penanganan pandemi. Memperluas basis pajak pun diperlukan agar pemerintah mampu menjaga disiplin fiskal dengan defisit kembali ke 3% pada tahun 2023.

Namun ditengah-tengah PPN naik ini sangat memberi dampak dari 10 % menjadi 11 % meningkatnya harga barang dan jasa yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Hal ini karena pihak yang dikenakan PPN adalah konsumen tingkat akhir atau pembeli. Namun, tidak semua harga barang dan jasa naik, sebab ada juga jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Kebijakan tarif PPN yang baru telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pada 2025 kenaikan tarif tunggal PPN, dan akan berlanjut menjadi 12 %.

Dengan adanya kenaikan PPN ini akan berimbas juga kepada kenaikan inflasi, tidak hanya akan menekan daya beli masyarakat, tetapi juga akan menekan profit pelaku usaha. Pasalnya, berkurangnya daya beli masyarakat akan memaksa pelaku usaha untuk menurunkan margin penjualan barang atau jasanya demi tetap terserap di tingkat konsumen.

Pendapat dari beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa dengan adanya kenaikan tarif PPN akan mengakibatkan naiknya inflasi di tahun 2022, karena PPN merupakan pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir, sehingga dengan adanya kenaikan menjadi 11% akan menaikkan harga barang di pasaran dan ini akan mempenggaruhi daya beli masyarakat di tengah melemahnya ekonomi akibat dampak dari Pandemi Covid 19.

Inflasi adalah suatu keadaan dimana hargaharga barang dan jasa cenderung mengalami kenaikan secara umum dan terjadi secara terus menerus. Peningkatan harga-harga barang dan jasa tersebut nantinya akan memicu pada meningkatnya biaya produksi. Berdasarkan penyebabnya, fenomena ini disebut dengan cost-push inflation.

Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dapat berpotensi mempengaruhi inflasi, terutama jika tarif tersebut diterapkan secara luas dan signifikan. Namun, dampak yang tepat dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk elastisitas permintaan dan penawaran barang dan jasa yang terkena dampak kenaikan tarif. Berikut ada beberapa analisis yang dapat dilakukan menggunakan teori mengenai dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi:

Permintaan dan elastisitas harga: Jika kenaikan tarif PPN menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, hal ini dapat mempengaruhi permintaan. Jika permintaan bersifat inelastis (tidak responsif terhadap perubahan harga), konsumen akan terus membeli barang dan jasa tersebut meskipun harga naik. Dalam hal ini, kenaikan tarif PPN seharusnya tidak berdampak signifikan terhadap inflasi.

Penawaran barang dan jasa : Jika kenaikan tarif PPN meningkatkan biaya produksi produsen, mereka dapat menaikkan harga jual untuk mengkompensasi biaya tambahan tersebut. Jika penawaran barang dan jasa tidak merespon perubahan harga relatif (inelastis), kenaikan tarif PPN akibat kenaikan harga dapat berdampak langsung pada inflasi.

Efek domino : Kenaikan tarif PPN di satu sektor dapat memengaruhi seluruh rantai pasokan. Jika produsen dan pengecer harus membayar lebih banyak pajak, kemungkinan besar mereka akan menaikkan harga yang mereka jual ke konsumen. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan harga yang meluas di berbagai sektor ekonomi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan inflasi umum.

Efek jangka pendek dan panjang: Pengaruh kenaikan tarif PPN terhadap inflasi dapat berbeda dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kenaikan tarif PPN pada awalnya dapat menyebabkan kenaikan harga yang cepat. Namun, dalam jangka panjang, produsen dan konsumen dapat mengubah perilaku mereka dan dampak inflasi dapat berkurang.

Tingkat kepatuhan dan penghindaran pajak : Dengan kenaikan tarif PPN yang signifikan, ada kemungkinan beberapa operator ekonomi akan mencoba menghindari atau mengurangi beban pajak secara ilegal. Penghindaran pajak dapat mengurangi pendapatan pemerintah dan berpotensi mempengaruhi inflasi karena pemerintah berusaha menutup defisit dengan mencetak uang baru.

Berikut kesimpulan yang saya dapatkan setelah menganalisa mengenai fenomena dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi :

Dengan diberlakukannya UU HPP terkait kenaikan PPN dari tarif awal 10 % menjadi 11 % secara langsung berpengaruh terhadap kenaikan Inflasi, kenaikan inflasi tersebut sudah di predikasi oleh beberapa pengamat ekonomi, akan tetapi kenaikan PPN tersebut tidak terlalu mempengaruhi kenaikan inflasi, hal ini disebabkan ada beberapa Objek pajak yang tidak dikenakan kenaikan pajak 11 %.

Kenaikan tarif PPN bukan semata-mata untuk menaikkan penerimaan, tetapi untuk mencapai konsolidasi fiskal yang lebih tepat agar penurunan defisit APBN bisa mendarat dengan baik mencapai 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Di sisi lain, alasan lain dari penerapan kenaikan PPN adalah tarif PPN Indonesia yang termasuk rendah di antara negara-negara lain yang berada dalam kisaran 15 persen.

Berikut ada beberapa saran menurut saya mengenai fenomena tersebut:

Bahwa dalam mengimplementasikan kenaikan tarif PPN, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi terhadap inflasi secara keseluruhan. Perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk meminimalkan efek negatif pada stabilitas harga. Dan emerintah juga perlu memperhatikan kepatuhan pajak dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah penghindaran pajak yang berpotensi merusak pendapatan negara dan stabilitas harga. Selain itu, bank sentral dapat menggunakan instrumen kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi yang mungkin timbul akibat kenaikan tarif PPN. Kebijakan suku bunga yang tepat dan langkah-langkah lainnya dapat membantu menjaga stabilitas harga dalam jangka panjang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image