Bunyi Gelas di Pinggir Jalan Salihara, Puisi-Puisi Ahmad Soleh
Sastra | Monday, 27 Dec 2021, 22:54 WIB
BUNYI GELAS DI PINGGIR JALAN SALIHARA
Tring-tring-truing...
gelas-gelas kosong berdentingan di meja-meja para pemuda yang sibuk makan-makan
Panjul: "Seperti kepalaku yang kosong nyaring bacotnya?"
Kipeng: "Seperti hatiku yang kosong nyaring heningnya?"
Amay: "Seperti dompetku yang kosong kring-kring bunyi tagihannya?'
Mereka semua: "Seperti jok belakang motorku yang kosong nyaring shockbeckernya? Atau surat-surat motormu yang bodong gerung-gerung knalpotnya?"
Masih mereka juga: "Seperti jalanan yang penuh, macet, digerung motor, digas angkot, disalip metromini, dilibas bajay, dikagetin emak-emak sein kanan tapi belok kiri, dijulidin netizen +62. Segalanya kosong. Segalanya isi."
November 2021
PEMADAM KEBAKARAN YANG MISKIN
Suatu sore, sepulang dinas, aku terjebak macet. Tampak di ujung kemacetan, asap tebal membumbung. "Jangan-jangan ada kebakaran." Dengan penuh curiga kuhampiri pelan-pelan. Benar saja. Betapa kagetnya. Rupanya sebidang panggangan di depan warung sate sedang dilalap si jago merah. Dan aku (yang sedang tak dinas) tak bisa berbuat apa-apa. Selain memadamkan rasa lapar yang menyiksa.
15 November 2021
SECANGKIR KOPI, SESUAP NASI
aku sibuk mencari sesuap nasi
kuubek-ubek naskah bukuku lagi
kamu tak juga bisa kutemui
meski sepenuh hati kukoreksi
lalu, dengan didih air panas
kusiram ide-ide dalam gelas
harum menguar, mumetnya buyar
segala tanya kini ambyar
kepalaku seperti angkringan
ramai; laris manis tanjung kimpul
di kursi panjang itu kau duduk manis
menunggu akhir puisiku yang liris
; miris.
2021
MENGENCANI SEBUAH BANGKU
di atas meja kerja semua benda rasanya pahit
kopi, teh, air putih, coklat
naskah yang ditenggat
slip gaji yang mangkrak
aku pergi bersama bangku
mendudukkan waktu
dan segala persoalan
membawanya makan malam
menikmati musik koplo
atau menyantap kumpulan soneta Neruda
kita berkencan diam-diam
tak seorang pun melihat
kecoa terbang ataupun lalat
bahkan enggan berdekat
kita larut dalam-dalam
di kerut-kerut malam.
2021
SEPI YANG BISA MEMBUAT KITA MERASA TAKUT AKAN HAL-HAL YANG SEBETULNYA TAK PERLU DITAKUTKAN
Hening. Menuju Jempling.
2021
BISA TAPI TIDAK
Aku bisa memiliki ragamu tapi tidak endasmu.
2021
Biodata: Ahmad Soleh. Lahir di Cirebon, 24 Februari 1991. Ia mulai menjadi pengrajin puisi sejak SMA. Kini, menulis puisi menjadi kesibukannya. Puisi-puisinya pernah terbit di Harian Republika, MadrasahDigital.co, Gagas.ID, Rahma.ID, GhirahBelajar.com, Omong-Omong.com, Mbludus.com, Pucukmera.ID, Adaharapan.ID, Qureta.com, Retizen.ID, dan media sosial pribadinya. Beberapa puisinya telah terbit menjadi buku. Di antaranya Untuk Mak Eha (2015), Hujan Ibu Kota (2017, bersama Ayumusa dan Salma), dan buku puisi terbarunya Memutus Wabah Pilu Menyemai Benih Rindu (Diva Press, 2020). Beberapa karyanya bisa ditemukan di media sosial Instagram @ahm_soleh, Twitter @madshaleh, atau Facebook Sholeh Fajrul.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.