Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nazwa Nayla

Otonomi Khusus Sebagai Upaya untuk Mengurangi Kemiskinan di Aceh

Politik | Saturday, 01 Jul 2023, 01:00 WIB
sumber : canva

Provinsi Aceh memiliki status otonomi daerah khusus berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Otonomi khusus ini memberikan Aceh kewenangan untuk menerapkan syariat islam dalam sistem peradilan, perekonomian, dan sosial budaya di wilayahnya.

Otonomi Khusus memberikan kebijakan dan kewenangan khusus kepada pemerintah daerah Aceh untuk mengembangkan program pemberdayaan ekonomi yang bertujuan mengurangi kemiskinan. Melalui program ini, pemerintah daerah dapat memberikan pelatihan keterampilan, modal usaha, dan akses pasar kepada masyarakat miskin, sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi. Lalu dengan dana otonomi khusus dapat berpengaruh besar terhadap upaya penurunan angka kemiskinan di Aceh.

Dengan adanya beberapa faktor diantaranya faktor politik yang paling dominan berperan dalam munculnya yang baru menyusul berbagai kebijakan yang dilakukan. Selain itu, faktor pendidikan yang rendah, dan faktor infrastruktur yang terbatas menjadi penyebab makin banyaknya kemiskinan di Indonesia. Sekalipun mereka memiliki sumber daya alam yang melimpah, jika mereka tinggal di daerah terbelakang dengan infrastruktur yang terbatas, individu tersebut akan tetap terjebak dalam siklus kemiskinan.

Pada tahun 2023, Aceh hanya akan menerima 1% dari otonomi khusus. Dana tersebut berasal dari Dana Alokasi Umum nasional. Jika pada tahun 2022 Aceh menerima 7.560 miliar dana otsus, maka pada tahun 2023 hanya 3,9 miliar atau setengahnya. Pertumbuhan ekonomi yang rendah mengakibatkan PDRB per Kapita Aceh menjadi yang terendah di wilayah Sumatera hingga saat ini, dan juga berdampak kepada lambatnya perbaikan kondisi sosial. Meskipun terjadi penurunan angka kemiskinan, angka pengangguran, dan ketimpangan, namun penggunaannya relatif lambat. Jika Dana Otsus menurun dan berakhir, maka upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan akan terhambat, karena belum munculnya alternatif bagi perekonomian Aceh yang sudah terlanjur tergantung cukup besar kepada belanja Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota), yaitu di level rata-rata 32 persen PDRB.

Dana Otsus yang besar ini justru menimbulkan masalah bagi pembangunan Aceh, yaitu ketimpangan. Besaran anggaran yang dimiliki ternyata tidak sejalan dengan reformasi pembangunan yang berujung pada pengentasan kemiskinan. Dana Otsus yang dimaksudkan untuk mempercepat laju perekonomian demi pencapaian rakyat Aceh ternyata telah dikorupsi oleh elit politik lokal. Salah satu cara untuk melihat kegagalan atau keberhasilan pencapaian dana Otsus yang telah melekat sejak tahun 2001 adalah melalui perspektif kesejahteraan. Kesejahteraan diletakkan sebagai tujuan akhir, sedangkan Otsus merupakan cara atau upaya pencapaiannya. Jadi, dana Otsus untuk kemandirian belum mampu berperan signifikan dalam mensejahterakan rakyat Aceh. Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama bagi Aceh.

Dana Otsus di Aceh dianggap dapat mengurangi kemiskinan lebih cepat jika didorong oleh tata kelola pemerintahan yang baik lagi. Dana Otsus di Aceh akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya karena pemerintah daerah lebih dekat dengan warga dari pada pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah seharusnya memiliki informasi yang akurat dan menjadi dapat memecahkan masalah lebih cepat. Jadi, dengan adanya pemberdayaan ekonomi masyarakat, meningkatan akses pelayanan, mengembangkan program perlindungan sosial, meningkatkan infrastruktur dan sumber daya alam, mendorong adanya kolaborasi, serta meningkatkan kualitas kepala daerah diharapkan mampu mengatasi permasalahan kemiskinan dengan adanya dana Otsus.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image