Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alifa Nuzila Rizka

Menyikapi Pemimpin yang Melakukan Pencitraan yang Buruk

Agama | Sunday, 25 Jun 2023, 07:48 WIB
Illustrasi Seorang Pemimpin. Foto: Unsplash

Baru-baru ini, beredar sebuah kabar hangat bahwa (GP), seorang gubernur di salah satu provinsi di Indonesia yang digadang-gadangkan akan menjadi calon pemimpin negeri ini di tahun mendatang terlibat sebuah skandal yang menyatakan bahwa dirinya gemar mengonsumsi film biru (pornografi) setelah usai diwawancara dalam sebuah podcast. Hal ini meresahkan beberapa pihak hingga menimbulkan pro dan kontra, dan khususnya dikhawatirkan akan menggaet suara-suara pemuda yang sudah rusak dalam segi akhlak terhadap statement ini. Lantas, bagaimana pandangan Islam dan ulama mengenai hal ini?

Menyikapi Calon Pemimpin yang Memiliki Kepribadian Buruk

Dilansir menurut Shifrun dalam salah satu kontennya Pemimpin Porno yang membahas bagaimana seharusnya kualitas dan kuantitas seorang pemimpin. Sebagai respon atas keresahan untuk para calon pemimpin yang mungkin tengah dipromosikan, tetapi sangat disayangkan setelah tersebarnya berita yang tidak baik tersebut tak ada statement yang menafikan bahwasanya ia (GP) seorang yang pro bokep dan lain sebagainya. Yang berarti para timsesnya sendiri mengiyakan perbuatan yang secara citra yang dilihat umum tidak baik dan bukan seharusnya malah mengklarifikasi hal tersebut.

Kendati demikian, Shifrun menambahkan bahwasanya seorang ahli maksiat dan gemar menonton film biru tetap wajib taat kepada Allah.

Tidak Ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).

Hal ini dikhawatirkan akan mentrigger pada kontestasi yang tidak sehat dan menimbukan ketidaktenangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang malah menjadi memberi pembenaran atas ketegakan dari kabar tersebut

Mengutip dalam kitab Al-Mawardi: Ahkam Sulthaniyah yang menerangkan pemimpin ahli maksiat yang sudah menjadi pemimpin. Seseorang menanyakan kepada Imam Ahmad lebih baik mana pemimpin ahli ibadah tapi lemah dalam memimpin, dan pemimpin maksiat tetapi kuat dalam memimpin. Dalam konteks ini seorang ahli maksiat hubungannya menjadi urusan dia dengan Allah (ibadah mahdoh) dan dalam tanda kutip urusannya kepada sesama manusia terlaksana, visi misinya jelas berjalan.

Imam Ahmad menjawab lebih baik pemimpin yang lemah (ibadahnya) tetapi kuat dalam memimpin. Dan dosa-dosa maksiat yang dilakukan si pemimpin ini juga menjadi tanggung jawab yang ia tanggung sendiri, maksud dosa yakni dalam lingkup pribadi bukan untuk memberi contoh masyarakat untuk bermaksiat. Yang dilakukan sembunyi-sembunyi, hanya hubungan ia dengan Allah yang tahu. Wallahu ‘alam.

Sedangkan pemimpin yang ahli ibadah tapi buruk dalam menjalankan kepemimpinan, itu berimbas kepada masyarakat umum. Dan taat ibadah pemimpin ini hanya menjadi keuntungan pribadinya.

Konteks yang diterangkan dalam kitab Al-Mawardi ini bukan menyatakan pilihlah pemimpin yang ahli maksiat, akan tetapi jika sudah terlanjur menjadi pemimpin dan ternyata ia merupakan ahli maksiat disamping kepemimpinannya yang baik.

Dan dalam memilih pemimpin, sungguh disayangkan pencitraan calon pemimpin yang mengembar-gemborkan perbuatan maksiat demi mendapat suara anak muda. Juga Sangat tidak sehat untuk jangka panjang bangsa Indonesia ke depannya. Dimana Pemimpin yakni seorang sosok utuh. Bukan hanya idenya yang menjadi tolak ukur, tetapi kepribadiannya (personal) dan latar belakang juga menjadi hal yang urgent.

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.” (HR. Muslim).

Semoga negeri ini dihindarkan dari pemimpin yang ahli maksiat dan tidak amanah demi kemashlahatan bangsa Indonesia. Allahumma Aamin. Wallahu a’lam.

Sumber:

https://www.google.co.id/books/edition/Ahkam_Sulthaniyah/NuNxDQAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=al+mawardi&printsec=frontcover

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image