Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denny Kodrat

Demam Wisuda

Edukasi | Sunday, 18 Jun 2023, 08:25 WIB

Jelang kenaikan kelas dan tahun ajaran baru, hampir semua sekolah melaksanakan acara sejenis wisuda perguruan tinggi. Dengan bermacam nama, dari mulai “Graduation Ceremony”, “Pelepasan” hingga “Samen”. Sementara itu, hari-hari ini, banyak orang tua yang mengeluh dan berkirim surat kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tentang kegiatan wisuda ini. Inti dari keluhannya satu, bahwa untuk kegiatan tersebut orang tua diminta sejumlah dana yang tidak sedikit oleh komite sekolah. Ada yang ditagih sebesar 850 ribu rupiah ( https://kumparan.com/kumparannews/kata-kemendikbud-soal-ramai-wisuda-tk-sma-dianggap-memberatkan-ortu-20c4PC08KRJ/2). Di sini letak paradoknya. Kebijakan komite sekolah ditentang oleh anggotanya sendiri. Wajar orang tua keberatan karena ia pun harus menyiapkan uang pendidikan untuk jenjang lebih tinggi, sehingga biaya wisuda dianggap pemborosan (https://kampus.republika.co.id/posts/223699/soal-wisuda-tk-sd-smp-dan-sma-ini-tanggapan-dosen-um-surabaya). Di saat bersamaan, tagihan komite sekolah tidak dapat diabaikan. Sang anak merengek untuk ikut, apalagi ini momen terakhir berkumpul dengan teman dan guru satu sekolahnya.

Wisuda yang dilaksanakan di jenjang TK, SD, SMP hingga SMA tidak main-main dan tidak kalah semaraknya dengan wisuda perguruan tinggi. Pelaksanaan wisuda tak urung dilaksanakan di auditorium hotel yang representatif. Tentunya, biaya sewa tidak sedikit. Beberapa sekolah swasta menjadikan momen ini sebagai branding institution sekaligus promosi kepada masyarakat bahwa sekolahnya bonafid, tidak abal-abal. Pertanyaan kritisnya, ada apa dengan demam wisuda ini? Apakah dengan wisuda dimana-mana menunjukkan keberhasilan belajar dan meningkatnya mutu pendidikan atau hanya seremonial belaka?

Komite Sekolah

Sekolah penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) lebih kaku dengan mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, Bantuan Operasional Sekolah, dan Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan. Dalam peraturan tersebut, hanya 12 komponen yang dapat dibiayai oleh BOS, yaitu, (1). Penerimaan Peserta Didik Baru; (2). Pengembangan perpustakaan; (3). Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler; (4). Pelaksanaan kegiatan asesmen dan evaluasi pembelajaran; (5). Pelaksanaan administrasi kegiatan sekolah; (6). Pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan; (7). Pembiayaan langganan daya dan jasa; (8). Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah; (9). Penyediaan alat multi media pembelajaran; (10). Penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi keahlian; (11). Penyelenggaraan kegiatan dalam mendukung keterserapan lulusan; dan (12). Pembayaran honor bagi guru non ASN.

Seluruh pembiayaan itu terekam dalam fitur aplikasi Buku Kas Umum (BKU) dan sesuai dengan aplikasi RKAS. Karenanya, pembiayaan di luar yang didanai BOS, komite sekolah yang proaktif melakukan penggalangan dana berbentuk sumbangan, bukan pungutan sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Organisasi komite sekolah ini berperan aktif dalam mengembangkan sekolah untuk terwujudnya sekolah bermutu. Ia bukan lembaga “stempel” untuk mengakali orang tua mengumpulkan dana. Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tegas membedakan pungutan dan sumbangan. Pungutan bersifat mengikat, ditentukan jumlah dan waktunya, sementara sumbangan bersifat sukarela, tidak mengikat dan tidak ditentukan jumlah dan waktunya. Pungutan jelas dilarang dalam peraturan tersebut.

Sebagai badan mandiri, komite sekolah memiliki AD/ART dan program kerja yang disepakati oleh orang tua siswa. Tujuan program kerja tersebut tentunya membantu sekolah sehingga kegiatan siswa lebih produktif, terarah dan bermutu. Tentunya, dalam pembiayaan, komite dapat menggali potensi dana yang tersedia. Ia dapat melibatkan orang tua yang memiliki akses terhadap dunia usaha dan dunia industri, sehingga dana Corporate Social Responsibility (CSR) dapat diberikan kepada kegiatan siswa. Ia dapat membuka kerjasama dengan berbagai pihak sehingga komite dalam kegiatannya tidak UUD (ujung-ujungnya Duit) yang dipungut dari orang tua. Keberatan orang tua siswa dalam pembiayaan kegiatan wisuda tidak akan terjadi bila komite sekolah sensitif, memiliki sense of crisis dan mengetahui karakteristik ekonomi orang tua siswa. Bila ia melihat kegiatan wisuda itu memberatkan dan pemborosan, komite dapat meminta kepada sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan kelulusan dengan sederhana saja. Cukup dikumpulkan seluruh siswa yang akan lulus beserta orang tuanya di sekolah, sebagaimana kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), secara sederhana. Tanpa harus menyewa di hotel atau gedung yang mahal harganya.

Nampaknya, komite sekolah dalam tata kelola organisasinya belum rapi dan terstruktur. Hanya berfungsi sebagai pengumpul uang yang dari sana dapat diduga mendapatkan keuntungan. Sementara pertanggungjawaban dan audit atas penggunaan uang tersebut tidak jelas oleh siapa kepada siapa dan bagaimana sanksi yang diberikan bila terdapat penyelewengan. Lagi-lagi, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten/Provinsi perlu merevitalisasi pengawasan terhadap komite sekolah ini agar ia sesuai dengan khithah dan semangat transformasi pendidikan yang berpihak kepada siswa, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan materi.

Kebiasaan Seremonial

Kritik terhadap dunia pendidikan Indonesia yang tidak dapat melahirkan peraih nobel diakibatkan kentalnya kultur seremonial dibandingkan kultur akademiknya (https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/07/kultur-toksik-dunia-akademik). Wisuda di tingkat pendidikan dasar dan menengah nampaknya memupuk kultur seremonial tersebut. Bahwa sekolah ingin menampilkan hasil belajar siswa di depan orang tuanya, ini dapat diagendakan secara khusus pada kegiatan semacam panen hasil karya atau pelaksanaan projek penguatan profil pelajar pancasila.

Sejatinya tidak ada yang keliru dengan seremonial. Apalagi seremonial ditujukan untuk menjelaskan tantangan yang akan dihadapi oleh para lulusan. Namun yang menjadi persoalan, seremonial ini dianggap harus dan dijadikan alat untuk mengumpulkan uang dan diambil selisihnya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, dengan mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Aspek pemborosan nampak ketika kegiatan tersebut lebih menampilkan kemewahan, selebrasi dan flexing tanpa jelas terlihat nilai-nilai pendidikan di balik kegiatan tersebut. Ditambah lagi, tempat wisuda dipilih berdasarkan gengsi dan kompetisi dengan sekolah lain, tanpa pertimbangan sense of crisis.

Pekerjaan rumah di dunia pendidikan saat ini bagaimana seluruh stakeholders memiliki mindset memudahkan, efisien dan tidak berorientasi keuntungan dalam penyelenggaraan kegiatan. Wisuda dan kegiatan sejenis dijauhkan dari orientasi keuntungan, mengambil sisihan. Ia harus ada karena sudah menjadi program sekolah yang direncanakan di awal tahun ajaran, hasil musyawarah seluruh sivitas sekolah dan orang tua, dengan penganggaran berbasis sumbangan atau bantuan (sponsorship) dari pihak ketiga yang tidak menyelisihi aturan. Di luar itu, sekolah tidak perlu memaksakan diri untuk mengadakan kegiatan wisuda.

Dalam perspektif mutu, keinginan orang tua harus menjadi prioritas. Saat orang tua keberatan, mengajukan komplain, maka sekolah harus berdiri di belakang kepentingan orang tua. Kebijakan sekolah dan komite sekolah perlu mempertimbangkan kepentingan siswa. Untuk mengikis kultur seremonial yang kurang produktif, disarankan sekolah dan komite sekolah berdiskusi secara intensif mengenai setiap kegiatan yang dilaksanakan. Pertimbangan utama dalam merencanakan kegiatan adalah visi dan misi sekolah, sumber pendanaan yang berbasis sumbangan dan sponsorship, memiliki dampak sosial dan sarat nilai-nilai pendidikan. Sekolah tidak perlu latah dalam membuat kegiatan perpisahan sehingga meniru perguruan tinggi. Ia dapat membuat kultur baru dalam membuat kegiatan serupa wisuda di perguruan tinggi yang lebih bermakna, tidak memberatkan orang tua dan bukan pemborosan.

Saat ini, pendidikan sebaiknya diarahkan pada hal-hal yang substantif dibandingkan seremonial. Penguasaan keterampilan hidup di abad 21 lebih ditingkatkan. Siswa dengan kemampuan bernalar kritis, berkolaborasi, kreatif dan inovatif menjadi profil lulusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Untuk menghadirkan profil lulusan seperti itu, penganggaran disediakan secara berkelanjutan. Lebih baik dana ratusan juta kegiatan wisuda dialihkan untuk proses pembelajaran serta peningkatan sarana dan prasarana, bila dirasa belum optimal. Memang tidak akan ada momen yang membuat nama sekolah dikenal di sosial media atau pemberitaan. Sekolah bermutu dengan segudang prestasi sejatinya tidak bermain pada “kesan pemberitaan”, namun pada layanan terhadap siswa dan orang tua siswa. Saat mereka puas dengan proses pembelajaran, dapat menggapai apa yang dimimpikan, serta memiliki kemampuan yang dijanjikan, sekolah akan harum dengan sendirinya dan dicari oleh orang tua dari segala penjuru ibu pertiwi.

Denny Kodrat, pengamat sosial pendidikan Universitas Sebelas April

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image