Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daphni najwa halafendi

Kurikulum Merdeka: Antara Ambisi dan Realita Pendidikan yang tidak Sesuai di Indonesia

Edukasi | 2024-12-14 12:59:10
Sumber : Pinterest. Ilustrasi Pelajar SMA

Kurikulum Merdeka sudah tidak asing lagi dalam ranah pendidikan di Indonesia. Sebagai salah satu terobosan besar, kurikulum ini dirancang untuk mengubah paradigma pembelajaran dengan pendekatan berbasis proyek yang lebih fleksibel dan berfokus pada pengembangan karakter serta kompetensi siswa. Kemunculannya sendiri berawal dari perkembangan prototipe kurikulum yang diterapkan selama pandemi COVID-19 dan menuntut adanya penyesuaian metode belajar guna menjawab tantangan pembelajaran di masa darurat.

Dengan ambisi besar, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berupaya menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional yang dapat diterapkan di seluruh Indonesia. Namun, implementasi Kurikulum Merdeka ini tidak berjalan mulus. Banyak pihak belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan signifikan tersebut, seperti para guru dan siswa. Persiapan yang kurang matang, membuat transisi menuju Kurikulum Merdeka menghadapi berbagai kendala dan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Sebagai angkatan pertama yang menjadi bagian dari uji coba Kurikulum Merdeka, saya merasakan langsung betapa kurangnya persiapan pemerintah dalam penerapan kurikulum ini. Transformasi kurikulum bukanlah sebuah langkah sederhana, melainkan sebuah proses yang rumit, penuh tantangan, dan memerlukan perencanaan yang matang. Menjadikan beberapa sekolah sebagai laboratorium uji coba Kurikulum Merdeka merupakan langkah yang berisiko, terutama bagi para siswa yang harus menghadapinya tanpa pedoman yang jelas.

Sebagai pembaharuan dalam dunia pendidikan, Kurikulum Merdeka seharusnya menjadi sesuatu yang disambut dengan antusiasme dan harapan. Namun, kenyataannya kurikulum ini justru banyak dihadapkan dengan ketidakjelasan, baik dalam hal implementasi maupun substansi. Guru dan siswa yang merupakan kelinci percobaan kurikulum ini sering kali merasa terjebak dalam ketidakpastian. Alih-alih memberikan pengalaman belajar yang lebih baik, Kurikulum Merdeka malah terkadang terasa seperti sebuah eksperimen yang belum siap, menciptakan kebingungan dan rasa frustrasi di kalangan penggerak utama pendidikan. Hal ini tentu saja mencederai tujuan besar pendidikan yang ingin diwujudkan.

Banyak faktor yang menjadi alasan bahwa Kurikulum Merdeka belum siap diterapkan sebagai kurikulum nasional di Indonesia, di antaranya sebagai berikut :

1. Keterbatasan Pemahaman Guru/Perbedaan Persepsi Tentang Kurikulum Merdeka

Guru adalah kunci suksesnya suatu pembelajaran yang dijadikan pedoman siswa siswinya dalam beradaptasi dengan hal baru seperti Kurikulum Merdeka ini. Namun pada nyatanya, masing-masing guru masih memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait bagaimana sebenarnya mau dari kurikulum ini. Hal tersebut membuat adanya miskomunikasi yang berdampak pada kebingungan semata.

2. Sistem Mata Pelajaran yang Rancu

Pada awalnya, di Sekolah Menengah Atas (SMA) kita mengenal peminatan IPA, IPS, dan Bahasa. Namun, dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka, sistem peminatan tersebut berubah. Bahkan, setiap sekolah kini memiliki kebijakan yang berbeda. Beberapa sekolah sudah menentukan paket peminatan, sementara yang lain memberikan kebebasan bagi siswa untuk memilihnya sendiri. Lalu, mana yang sebenarnya lebih tepat?

3. Beban Biaya Proyek yang Memberatkan Siswa

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau biasa disebut P5 adalah proyek yang memiliki berbagai tema seperti kewirausahaan, kearifan lokal, gaya hidup berkelanjutan, dll. Selama menjalankan proyek ini memang sangat asik, namun penilaiannya hanya berfokus pada karya yang dihasilkan tanpa mengevaluasi dengan benar pembelajaran yang diperoleh oleh peserta didik. Hal tersebut secara tidak langsung membuat siswa dituntut untuk membuat suatu inovasi yang wah. Alih-alih mendapat banyak ilmu, yang kami rasakan sebagai pelajar adalah pengeluaran yang tak terbendung.

4. Terlalu Banyak Fokus pada Proyek Tanpa Pendalaman Materi

Meskipun kurikulum ini menekankan pembelajaran berbasis proyek, sering kali proyek dilakukan tanpa pemahaman teori yang cukup. Akibatnya, meskipun hasil proyek tampak menarik, pemahaman siswa terhadap materi menjadi kurang mendalam, sehingga mengurangi efektivitas pembelajaran. Alur pemikiran para siswa cenderung hanya sebatas “yang penting selesai” karena sistem pembelajaran yang hanya terfokus pada kegiatan praktis saja.

5. Keterbatasan Fasilitas/ Sarana Prasarana Sekolah

Keterbatasan fasilitas dan sarana prasarana sekolah menjadi kendala signifikan dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, yang belum memiliki perangkat teknologi memadai, ruang kelas yang nyaman, atau bahan ajar yang cukup. Hal ini menyulitkan siswa dan guru dalam mengakses sumber daya yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran berbasis proyek dan inovatif, sehingga menghambat keberhasilan implementasi kurikulum tersebut.

Meskipun penerapan Kurikulum Merdeka di Indonesia dilatarbelakangi oleh niat untuk memperbaiki sistem pendidikan, tetapi pada nyatanya menghadapi berbagai tantangan yang serius. Ambisi besar pemerintah untuk mengubah paradigma pendidikan harus diimbangi dengan persiapan yang matang, baik dari segi pemahaman guru, sistem pembelajaran, maupun penyediaan fasilitas yang memadai. Dalam prakteknya, berbagai kendala seperti perbedaan pemahaman antara guru, kebingungan dalam sistem mata pelajaran, beban biaya yang memberatkan, serta keterbatasan fasilitas, justru menciptakan ketidakpastian dan frustasi bagi siswa dan guru. Kurikulum Merdeka seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun tanpa persiapan yang matang, implementasinya justru berisiko menghambat pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, penting untuk memperbaiki dan menyesuaikan berbagai aspek yang ada, agar kurikulum ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi dunia pendidikan Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image