Menghidupkan Penjurusan atau Memperkuat Jalur?
Pendidikan dan Literasi | 2025-04-18 16:22:38
Pemerintah kembali menggulirkan wacana penjurusan di tingkat SMA—dengan pola lama yang memisahkan siswa dalam jalur IPA, IPS, dan Bahasa. Kebijakan ini mengundang berbagai tanggapan dari kalangan pendidik dan pemerhati pendidikan. Ada yang menilai ini bisa membantu pemetaan studi lanjut siswa, namun tidak sedikit yang menilai langkah ini justru bertolak belakang dengan semangat Kurikulum Merdeka.
Sebagai akademisi dan pendidik, saya menilai bahwa pendekatan penjurusan yang kaku sebaiknya ditinggalkan. Yang dibutuhkan saat ini adalah pendekatan yang lebih fleksibel, yaitu 'jalur penguatan' yang memungkinkan siswa memilih mata pelajaran yang ingin mereka dalami sesuai minat dan rencana masa depan.
Dalam realitas di lapangan, sistem penjurusan seringkali tidak mencerminkan minat dan potensi siswa secara utuh. Seringkali, siswa memilih jurusan hanya karena ikut teman, desakan orang tua, atau stereotip sosial. Akibatnya, banyak siswa merasa salah jurusan dan kehilangan motivasi belajar. Lebih parah lagi, stigma antara jurusan pun masih kuat—seolah anak IPA lebih unggul dari IPS atau Bahasa.
Padahal, setiap anak memiliki potensi unik. Howard Gardner dalam teorinya Multiple Intelligences menegaskan bahwa kecerdasan tidak tunggal. Ada kecerdasan musikal, interpersonal, kinestetik, bahkan spiritual. Penjurusan yang kaku tidak memberi ruang bagi keberagaman potensi ini.
Sebagai alternatif, skema jalur penguatan menawarkan pendekatan yang lebih humanistik dan kontekstual:
· Di kelas 10, siswa diberikan kesempatan mengeksplorasi lintas bidang secara menyeluruh.
· Di kelas 11 dan 12, siswa memilih jalur penguatan (misalnya: sains, sosial, atau bahasa), bahkan bisa kombinasi.
Dengan pendekatan ini, siswa tetap bisa fokus tanpa merasa dikotak-kotakkan. Model seperti ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka dan juga teori Self-Determination (Deci & Ryan) yang menekankan pentingnya otonomi dalam belajar. Siswa yang merasa memiliki kendali atas proses belajarnya akan lebih termotivasi dan terlibat secara aktif.
Tentu, penerapan skema ini bukan tanpa tantangan. Sekolah harus menyesuaikan kurikulum, guru perlu dilatih, dan siswa perlu pendampingan dalam pemilihan jalur. Namun, jika semua pihak memiliki komitmen, maka transformasi pendidikan ini akan sangat berdampak positif bagi masa depan generasi muda kita.
Di era digital dan disrupsi ini, anak-anak kita butuh lebih dari sekadar nilai dan jurusan. Mereka butuh ruang tumbuh yang menghargai perbedaan, mendorong eksplorasi, dan membekali mereka menjadi manusia merdeka—yang berpikir kritis, kreatif, dan berkarakter.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh, bukan ruang sekat. Yang dibutuhkan anak-anak kita bukan label jurusan, tapi peluang untuk mengenali diri dan mengembangkan potensinya secara utuh.
Mari arahkan kembali diskusi kebijakan pendidikan kita. Bukan sekadar kembali ke masa lalu, tapi melangkah maju dengan pendekatan yang lebih adaptif, inklusif, dan transformatif.
*Ahmad Muflihin, S.Pd.I., M.Pd.
Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
