Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Barizatun Nafsi

UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik): Perlindungan atau Pembatasan Kebebasan Be

Eduaksi | 2023-06-12 22:32:58

Di tengah kemajuan teknologi dan penetrasi internet yang semakin luas, muncul tantangan baru dalam menjaga keamanan dan privasi di dunia digital. Untuk mengatasi hal ini, banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur kegiatan di ranah elektronik. Salah satu undang-undang yang menjadi sorotan adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diberlakukan di Indonesia.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ITE merupakan undang-undang yang mengatur segala hal tentang teknologi informasi yang berlaku di Indonesia. Undang-undang ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Kemudian, UU ITE terus diolah dan didiskusikan hingga akhirnya disahkan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk warga negara yang melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Namun, di samping tujuan perlindungan, UU ITE juga telah menjadi sumber kontroversi dan polemik terkait dengan kebebasan berbicara di era digital.

Larangan terhadap penggunaan informasi dan transaksi elektronik dalam undang-undang termuat dalam pasal 27 - 37 UU ITE. Berikut perbuatan yang dilarang dalam UU ITE:

- Mendistribusikan berita bohong atau hoax kepada masyarakat terkait suku, agama, ras antargolongan (pasal 28).

- Menyebarkan ancaman kekerasan atau ancaman yang menakutkan (pasal 29).

- Menyebarluaskan informasi yang bersifat asusila (pasal 27 ayat 1).

- Menyebarluaskan informasi yang merugikan orang lain (pasal 27 ayat 2).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3).

- Menyebarluaskan informasi yang bersifat menyesatkan (pasal 27 ayat 4).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung unsur diskriminasi (pasal 27 ayat 5).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung unsur pornografi (pasal 27 ayat 6).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung unsur kekerasan (pasal 27 ayat 7).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung unsur ancaman terhadap keamanan negara (pasal 27 ayat 8).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung unsur penghinaan terhadap pemerintah (pasal 27 ayat 9).

- Menyebarluaskan informasi yang mengandung unsur penghinaan terhadap agama (pasal 27 ayat 10).

UU ITE sering menjadi perdebatan di Indonesia karena beberapa pasalnya dianggap kontroversial dan dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik. Salah satu pasal yang sering menjadi sorotan adalah pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Pasal ini dianggap "pasal karet" karena dapat diartikan secara luas dan dapat menjerat orang-orang yang melakukan kritik terhadap pemerintah atau individu tertentu. Namun, Menkominfo Rudiantara secara tegas mengatakan bahwa pasal 27 ayat 3 di UU ITE tersebut tidak mungkin dihapuskan karena efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang.

Salah satu kritik terhadap UU ITE adalah adanya pasal-pasal yang dianggap membatasi kebebasan berbicara dan menyebabkan penegakan hukum yang ambigu. Pasal-pasal seperti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45A Ayat (2) UU ITE sering digunakan untuk menjerat individu yang dianggap melanggar dengan konten yang diunggahnya di media sosial atau platform digital lainnya. Konten yang dianggap melecehkan, menghina, atau menyinggung orang lain dapat dianggap sebagai tindakan kriminal, meskipun batasan dan interpretasi dari ketiga hal tersebut seringkali menjadi subjektif.

Hal ini telah memunculkan kekhawatiran bahwa UU ITE dapat digunakan sebagai alat penekanan terhadap kebebasan berbicara dan ekspresi di dunia digital. Beberapa kasus di mana individu atau aktivis dijerat dengan UU ITE karena mengkritik pemerintah atau menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah telah menimbulkan keraguan akan adanya ruang untuk menyampaikan kritik secara bebas dan terbuka.

Selain itu, UU ITE juga dianggap kurang mampu menangani masalah yang lebih kompleks, seperti kejahatan siber, penyebaran konten ilegal, dan pelanggaran privasi. Ketidaktegasan dalam beberapa pasal dan kurangnya pemahaman teknis di kalangan penegak hukum sering kali menyebabkan ketidakadilan dalam penegakan hukum terkait dengan UU ITE.

Dalam beberapa tahun terakhir, suara-suara yang menuntut perubahan atau revisi UU ITE semakin menguat. Beberapa pihak berpendapat bahwa perlu ada keseimbangan antara perlindungan privasi dan kebebasan berbicara. UU ITE yang baru diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan teknologi dan memperjelas ketentuan hukum yang masih kabur. Selain itu, diperlukan pendekatan yang lebih progresif untuk

mempromosikan pemahaman digital literacy dan memberikan pendidikan terkait dengan penggunaan internet yang bertanggung jawab. Dalam era di mana dunia digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, perlindungan privasi dan kebebasan berbicara di ruang digital perlu diperhatikan dengan serius. UU ITE merupakan salah satu upaya untuk mengatur dan melindungi pengguna di dunia maya, namun, tantangan yang ada menunjukkan perlunya evaluasi dan perubahan untuk mengakomodasi kebutuhan dan hak-hak individu dalam ranah digital dengan lebih baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image