Tahap Perkembangan Preoperasional: Solusi Mengatasi Ego yang Berlebihan
Gaya Hidup | 2023-06-06 21:26:49Anak sering menunjukkan sifat egois, seperti enggan mengalah kepada orang lain, mengharapkan semua keinginannya terpenuhi, dan kurang memiliki empati terhadap orang lain. Pada anak usia dini, egosentrisme mengacu pada ketidakmampuan anak untuk berpikir secara logis dan melihat dari perspektif orang lain. Mereka percaya bahwa semua orang melihat, berpikir, dan merasakan seperti mereka.
Teori perkembangan Jean Piaget menjelaskan bahwa ini adalah tahap perkembangan emosional yang normal pada anak. Kondisi ini terjadi pada tahap pre-operasional yang mengacu pada proses berfikir logis yang melibatkan aktivitas sensorimotor. Pada tahap preoperasional, anak-anak sangat egosentris dan sulit menerima pandangan orang lain. Kondisi ini berkaitan dengan karakteristik lainnya yang muncul pada anak pada tahap preoperasional (Ginsburg & Opper, 1988) yaitu sebagai berikut:
1. Anak dapat mengaitkan pengalaman dalam lingkungan bermain dengan pengalaman pribadi yang mereka miliki, sehingga menjadi egois.
2. Anak tidak senang jika barang miliknya dipegang oleh orang lain.
3. Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah.
4. Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi secara simultan, dan mereka belum dapat berfikir secara individual dan deduktif.
5. Anak cenderung berpikir secara transduktif (dari khusus ke khusus) dan belum dapat membedakan fakta dan fantasi. Terkadang, mereka terlihat seperti berbohong karena belum mampu memisahkan antara kejadian nyata dan imajinasi mereka.
Cara mengatasi egosentris berlebihan pada anak!
Seiring dengan bertambahnya usia anak, kualitas egosentris ini akan berkurang karena anak mulai memperluas fokusnya dan mengembangkan pemahaman sosial yang lebih matang. Karena kemampuan logika dan emosi anak terus berkembang, masih memungkinkan untuk mengajarkan dan mengarahkan anak agar memiliki karakter yang baik. Peran orang tua dan lingkungan terdekat dengan anak sangat penting dalam membentuk karakter tersebut. Sehingga Penting bagi orang tua dan pendidik untuk memahami karakteristik dan tahap perkembangan ini sehingga mereka dapat memberikan dukungan dan bimbingan yang sesuai dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam tahap ini. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua terhadap anak dengan egosentris (Kalyan-Masih, 1973; Gjerde et al., 1986; Kesselring & Müller, 2011).
1. Mengalihkan Perhatiannya
Ketika orang tua melihat anak telah menunjukkan sikap egosentrisnya, dalam bentuk apapun, orang tua perlu mengalihkannya. Meskipun orang tua telah memberinya larangan, anak tidak selalu akan mendengarkannya. Sehingga lebih baik menggunakan teknik-teknik lain. Salah satu yang paling penting adalah mengalihkan perhatiannya dari dirinya sendiri. Bagaimana caranya? Nah, sangat sederhana karena orang tua memiliki berbagai sumber daya untuk itu. Orang tua harus menghentikan apa yang sedang dia lakukan dengan menawarkan permainan baru. Seperti dengan cara 'Aku melihat, aku melihat ada puzzle baru' cara ini cenderung akan berhasil.
2. Ajak Anak Belajar Melalui Bermain
Karena perintah-perintah orang tua cenderung tidak akan direspon seperti yang diharapkan, maka orangtua perlu melakukannya melalui bermain. Jika Anda ingin anak Anda membiarkan teman sekelasnya dan orang lain berbicara, maka Anda dapat membuat permainan giliran. Setiap kartu (atau bahkan pensil berwarna) dengan warna tertentu akan menjadi giliran untuk berbicara, dan ketika warnanya berbeda, dia akan diam dan membiarkan orang lain berbicara. Ini adalah pilihan yang sempurna yang dapat orang tua sesuaikan dengan semua aturan yang ingin diajarkan kepada anak. Orangtua harus ingat bahwa karena ini adalah tahap awal kehidupan mereka, kita selalu harus memikirkan opsi yang sebanyak mungkin menyenangkan, serta unsur visual yang menarik, bentuk, atau warna yang menarik perhatian mereka.
3. Tingkatkan Aktivitas Sosialisasi dan Ajarkan Konsep Berbagi
Anak yang jarang berinteraksi sosial atau bermain dengan teman sebaya cenderung memiliki sikap egois karena mereka belum memahami arti berbagi. Hal ini juga sering terjadi pada anak-anak yang menjadi anak tunggal. Oleh karena itu, ajaklah anak untuk terlibat dalam interaksi sosial dengan anak-anak lain atau orang lain sejak usia dini. Selain itu, ajarkan konsep berbagi kepada anak, seperti bergantian bermain ayunan, meminjamkan mainan, dan sebagainya.
4. Berikan Pujian Pada Anak Sewajarnya
Salah satu strategi lain untuk mengatasi anak yang egois adalah dengan mengurangi frekuensi pemberian pujian. Memang, pujian dapat membuat anak merasa senang dan percaya diri. Namun, memberikan pujian secara berlebihan juga tidak disarankan. Berikan pujian dengan sewajarnya kepada anak saat hal-hal yang perlu diapresiasi, misalnya ketika mereka melakukan perbuatan baik, menunjukkan sikap positif, atau berhasil menyelesaikan suatu tugas. Inilah beberapa cara yang bisa diimplementasikan oleh orang tua untuk mengatasi sikap egosentris pada anak. Egosentris adalah salah satu tahap perkembangan emosi anak dan masih bisa diarahkan agar sikap tersebut dapat berkurang seiring waktu. Lakukanlah prosesnya secara bertahap, tanpa memaksa, dan dengan cara yang menyenangkan.
Ginsburg, H. P., & Opper, S. (1988). Piaget's theory of intellectual development. Prentice-Hall, Inc.
Gjerde, P. F., Block, J., & Block, J. H. (1986). Egocentrism and ego resiliency: personality characteristics associated with perspective-taking from early childhood to adolescence. Journal of Personality and Social Psychology, 51(2), 423.
Kalyan-Masih, V. (1973). Cognitive egocentricity of the child within Piagetian developmental theory.
Kesselring, T., & Müller, U. (2011). The concept of egocentrism in the context of Piaget’s theory. New ideas in psychology, 29(3), 327-345.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.