Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muh Imam Kastholani

Tukin Kemenkeu Empat Kali Lebih Tinggi dari Kemenag: Efektifkah?

Politik | Sunday, 04 Jun 2023, 18:43 WIB
Ilustrasi (sumber: pxhere.com)

Sejak tahun 1998, tuntutan reformasi di Indonesia pada bidang kepegawaian kembali menguat. Keberadaan pegawai menjadi salah satu pilar penting dalam proses pembangunan negara. Alasan pentingnya reformasi pada bidang kepegawaian dapat dilihat dalam dua hal, yaitu keberhasilan pembangunan yang dapat dilihat dari negara-negara lain yang memiliki upaya perbaikan sistem kepegawaian yang baik dan kepegawaian negara itu sendiri memiliki peran utama yang menjadi faktor dinamis birokrasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Bentuk tuntunan reformasi pada bidang kepegawaian yang belum terpenuhi tersebut salah satunya adalah perihal reformasi kompensasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Permasalahan yang timbul akibat pengelolaan kompensasi SDM di sektor publik, seperti kecenderungan untuk membandingkan kompensasi, pertimbangan politis dalam pemberian kompensasi, dan terdapatnya stigma di masyarakat Indonesia bahwa ASN dibayar berlebih, tetapi santai dalam melakukan pekerjaannya.

Tunjangan Kinerja ASN Kementerian

Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki gaji pokok yang rinciannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2019. Selain mendapat gaji pokok, ASN juga memiliki tunjangan kinerja yang merupakan kompensasi atas perhitungan kinerjanya. Tunjangan kinerja merupakan upaya dari pemerintah untuk menghargai kinerja ‘pay for performance’ pegawai sebagai evaluasi dari sistem remunerasi lama.

Penghargaan terhadap kinerja diharapkan dapat memberikan motivasi bekerja pegawai sehingga meningkatkan produktivitas. Kendati demikian, terdapat kesenjangan yang cukup jauh pada sistem pemberian tunjangan kinerja pada berbagai instansi kementerian di Indonesia. Pemerintah telah mengatur tunjangan terkait kebutuhan ASN, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977.

Kesenjangan Tunjangan Kinerja Kemenkeu dan Kemenag

Permasalahan kesenjangan nominal tunjangan kinerja (tukin) yang jauh antar Kementerian/Lembaga (K/L) kemudian muncul dari adanya ketidaksempurnaan kebijakan terkait tukin ASN pada K/L. Dalih yang sering dituturkan dalam pemberian tukin yang tidak seimbang berdasar pada kontribusi K/L pada kualitas pelayanan publik. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 156 Tahun 2014 , Kementerian Keuangan menjadi instansi yang pegawainya mendapat tunjangan kinerja dengan nominal paling besar diantara instansi lainnya.

Sementara itu, mengacu pada Peraturan Presiden (PerPres) Nomor 130 Tahun 2018. Kemenag menjadi K/L dengan tukin paling rendah, Bahkan empat kali di bawah tukin Kemenkeu. Tukin yang diberikan kepada pegawai Kemenag juga didasarkan pertimbangan pay for person. Namun, pertimbangan tersebut tidak dicantumkan dengan jelas dalam undang-undang sehingga menimbulkan banyak persepsi. Hal tersebut bukanlah suatu hal yang dapat dimaklumi. Meskipun perlu untuk memberikan tunjangan kinerja yang sesuai porsi tugasnya, tetap saja harus dijabarkan alasan dan urgensi terkait nominal yang diberikan pada setiap K/L.

Argumen lainnya, Kemenkeu diberikan tukin yang besar untuk menutup celah mereka melakukan praktik korupsi dan pelanggaran serupa lainnya. Hal ini karena tugas mereka yang rawan terhadap praktik Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN). Namun, banyak dari mereka yang justru terang-terangan memamerkan harta kekayaan. Padahal, tindakan tersebut melanggar asas kepatutan sebagai ASN. Lebih disayangkan lagi bahwa sebagian besar pejabat yang memamerkan harta kekayaan mereka juga terlibat dalam kasus korupsi.

Ironisnya, banyak pejabat Kemenag yang justru mendapatkan penghargaan atas kinerja mereka dalam rangka memberantas tindakan korupsi, gratifikasi, dan semacamnya (Kemenag, 2022). Padahal, mereka tidak diberi tunjangan sebesar ASN di lingkungan Kemenkeu. Tugas mereka juga tidak kalah rasan dengan Kemenkeu. Misalnya, para penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) yang rawan untuk terlibat dalam kasus gratifikasi dan suap untuk melancarkan segala urusan publik yang membutuhkan KUA. Maka dari itu, perbedaan nominal yang terlampau jauh antar K/L juga tidak selamanya efektif, justru dapat memicu kecemburuan antar instansi dan menimbulkan stigma negatif dari publik.

Aspek Keadilan 'fairness' dalam Pemberian Tunjangan Kinerja

Melihat aspek keadilan dalam pemberian tunjangan kinerja pada K/L dapat melalui equity and expectancy theory oleh Berman (2006). Teori ekuitas ‘kesetaraan’ dan ekspektansi ‘harapan’ digunakan untuk menjelaskan motivasi dan kepuasan pegawai dalam konteks sistem penggajian atau remunerasi. Teori ekuitas berfokus pada persepsi pegawai tentang adil atau tidaknya perlakuan penggajian mereka dalam perbandingan dengan pegawai lain di dalam organisasi.

Adanya kesenjangan pada sistem remunerasi akan memicu penurunan motivasi pada pegawai yang mendapatkan upah rendah. Dalam konteks remunerasi, penerapan teori ekuitas melibatkan kebijakan yang mendorong adilnya perlakuan dalam hal penggajian antara pegawai dengan tingkat pekerjaan atau kontribusi serupa. Hal ini dapat mencakup penerapan skala gaji yang transparan, sistem evaluasi kinerja yang obyektif, atau kebijakan kenaikan gaji berdasarkan kriteria yang jelas.

Sementara itu, teori ekspektansi berfokus pada harapan individu bahwa usaha yang mereka lakukan akan menghasilkan hasil yang diinginkan dan akan dihargai dalam bentuk penggajian (Berman, 2006). Pegawai akan termotivasi untuk mencapai kinerja yang baik jika mereka percaya bahwa upaya mereka akan dihargai dalam bentuk penggajian yang memadai. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk memastikan adanya hubungan yang jelas antara kinerja dan penggajian, serta menawarkan penggajian yang dianggap berharga oleh pegawai.

ASN perlu merasa yakin bahwa sistem remunerasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui undang-undang telah sesuai dengan porsi dan proporsinya. Keadilan terhadap sistem remunerasi tidak dapat dinilai satu arah melalui kebijakan yang sifatnya vertikal. Ketika ASN tidak pernah merasa puas atas kompensasi yang diterima maka berapapun tunjangan yang diterima tidak akan menghilangkan budaya dan perilaku koruptif.

Pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) memiliki tukin yang sangat besar. Namun, salah satu pejabatnya, yakni Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto, dicopot dari jabatannya karena sering memamerkan gaya hidup mewah di media sosial (BBC, 2023). Penerapan teori ekspektansi dalam konteks remunerasi melibatkan pembentukan sistem penggajian yang mendorong kinerja tinggi, seperti memberikan insentif kinerja, bonus, atau peluang pengembangan karir yang terkait dengan pencapaian kinerja yang baik. Namun, insentif tinggi juga tidak akan menjamin bahwa pegawai merasa puas akan kompensasi kinerja yang diberikan.

Referensi

Buku

Berman, E. M., Bowman, J. S., West, J. P., & Van Wart, M. R. (2006). Human resource management in public service: Paradoxes, processes, and problems. California: Sage Publications, Inc.

Situs dalam Jaringan

BBC. (2023, March 3). Tunjangan kinerja Kemenkeu disebut 'tidak masuk akal', pengamat desak pemerintah rombak kebijakan tukin. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckr48k4kkd2o

Publikasi Pemerintah

Kemenag. (2022, December 20). Tolak Gratifikasi, Pegawai Kemenag Raih award KPK. https://kemenag.go.id. https://kemenag.go.id/nasional/tolak-gratifikasi-pegawai-kemenag-raih-award-kpknbsp-cep9v4

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977 Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil

Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 156 Tahun 2014 Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan

Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 130 Tahun 2018. Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Agama

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image