Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Indah Kartika Sari

Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi, Mungkinkah?

Agama | 2024-11-30 08:54:00
Oleh Indah Kartika Sari, SP

Lini masa pemberitaan media daerah masih saja intens mengangkat kasus OTT KPK terhadap gubernur Bengkulu sebagai tersangka dugaan pemerasan dan gratifikasi terkait pemenangan pilkada. Harapan masyarakat untuk mewujudkan pemimpin berintegritas nampaknya seperti pungguk merindukan bulan. Masyarakat yang merasa kecewa dengan pemimpinnya ramai berunjuk rasa. Salah satunya demo bertajuk 'Seruan Aksi Bengkulu Darurat Koruptor' yang dilakukan puluhan massa mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bengkulu di depan kantor gubernur Bengkulu (25/11/2024).

Dalam sejarahnya yang terus berulang, korupsi di Bengkulu telah melibatkan 4 gubernur. Rohidin menjadi Gubernur Bengkulu ke empat yang terseret kasus korupsi, setelah Gubernur Bengkulu periode 2005-2012 Agusrin M Najamudin (kasus korupsi dana PBB dan ditangani Kejati-Kejagung). Lalu Gubernur Bengkulu periode 2012-2015 Junaidi Hamsyah (korupsi pembayaran honor tim Pembina RSMY atas penerbitan SK yang dinilai menyalahgunakan wewenang dan ditangani Bareskrim Polri). Kemudian Gubernur Bengkulu periode 2016-2017 Ridwan Mukti (OTT KPK 2017/kasus suap pembangunan jalan).

Tak hanya di Bengkulu, daftar panjang kasus korupsi juga di terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Sepanjang 2023 kejahatan ekstra ordinary yang melibatkan pemimpin nasional hingga daerah ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Terhitung mulai tahun 2004 hingga 2024, sebanyak 601 kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi pada pemerintah kabupaten, kota, melibatkan wali kota, bupati, dan jajarannya. Dikutip dari laman ICW, berdasarkan data dari KPK, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 terdapat 22 gubernur dan 148 bupati atau wali kota yang telah ditindak oleh KPK.

Dalam skala global pun Indonesia tercatat sebagai negara yang paling korup. Rilis data Transparency International terakhir tahun 2022 terkait Corruption Perceptions Index (CPI) menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-110 sebagai negara paling korup di dunia (yang dinilai ada 180 negara) dengan skor 34.

Maraknya kasus korupsi di Indonesia ini menunjukkan bahwa kejahatan korupsi sudah begitu mengakar hingga menjadi sebuah budaya. Penanganan kasus-kasus dan penegakan hukumnya pun seakan tidak memberi pengaruh terhadap berkurangnya kasus korupsi, justru kian hari kian menjadi. Tidak ada satu lembaga pun yang luput dari korupsi.

Sulitnya memberantas kasus korupsi sejatinya menunjukkan buruknya sistem hidup yang sedang diterapkan. Sistem demokrasi yang tegak di atas paham sekuler liberal sejatinya telah menghilangkan peran agama atau prinsip halal haram dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebebasan bertingkah laku menjadi hal yang bisa dilakukan.

Apalagi sistem demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal. Kekuasaan menjadi hal yang diperjualbelikan. Prinsip “kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan” digantikan oleh jargon “wani piro”. Jadi wajar jika sistem demokrasi adalah sistem bancakan orang-orang yang berani berbuat curang dengan uang untuk memperoleh kekuasaan. Buruknya sistem demokrasi mampu menyeret orang-orang sholih terjebak untuk berbuat maksiat.

Berbeda halnya ketika sistem kehidupan diatur semuanya oleh Islam dalam negara Khilafah. Akidah Islam menjadi landasan kehidupan. Perbuatan manusia distandarisasi oleh halal dan haram. Pengendalian diri karena kokohnya keimanan menjadi pengawasan melekat yang mengikat individu pejabat, maupun seluruh rakyat. Mereka akan terhindar dari nafsu serakah, perilaku konsumtif atau hedonistik yang mendorongnya untuk korupsi.

Selain itu, masyarakat dalam sistem Islam sangat kental dengan budaya amar makruf nahi munkar. Budaya dakwah menjadi bukti kepedulian masyarakat yang tidak rela dengan adanya kemaksiatan.

Ditambah lagi negara penegakan aturan Islam secara konsisten mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial atau pergaulan, pendidikan, peradilan, sistem sanksi, media massa, dan lain-lain. Bagi pejabat yang korup, sistem hukum dan sanksi sangat tegas memberikan hukuman, misalnya hartanya disita. Selain itu, dengan hukuman takzir, para koruptor dan para pemeras akan akan disiarkan namanya (tasyhir) hingga menjadi sanksi moral tersendiri bagi pelakunya juga ada sanksi berupa hukum jilid/cambuk pelaku hingga penjara yang ditetapkan berdasarkan ijtihad hakim (qodhi). Demikianlah aturan Islam akan memberikan kebaikan dan menjamin berbagai kemaslahatan manusia, yaitu tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.

Maraknya kasus korupsi seharusnya membuka kesadaran umat Islam tentang buruknya sistem sekuler demokrasi yang sedang diterapkan. Di samping itu, sistem demokrasi telah menyebabkan problematika umat yang tiada berujung dalam semua lini kehidupan.

Untuk itu kiranya umat Islam tergerak hatinya untuk segera keluar dari kubangan demokrasi yang terbukti telah membawa kerusakan dan kehancuran. Dan kembali kepada sistem Islam dalam naungan Khilafah yang mensejahterakan dan memuliakan.

Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [QS Ar Rum: 41]

Bahan Bacaan:

https://bengkulu.tribunnews.com/2024/11/25/4-gubernur-bengkulu-terseret-korupsi-aliansi-mahasiswa-bengkulu-keluarkan-mosi-tak-percaya.

601 Kasus Korupsi Menyeret Kepala Daerah Selama 19 Tahun

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/12/12/125200782/korupsi-kepala-daerah-dan-asn-masalah-serius-yang-sulit-diselesaikan. Laporan Akhir Tahun ICW 2022 | ICW

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image