Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Choirul Anam Wibowo

Mengapa Orang yang Memiliki Utang Lebih Galak Daripada yang Nagih ?

Eduaksi | 2023-06-01 22:21:00
Ilustrasi melakukan transaksi uang. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi melakukan transaksi uang. Foto: Shutter Stock

Sering kali dalam perkara utang-piutang kita dengan sesama teman, kerabat, ataupun tetangga kita mengalami pegalaman yang kurang enak saat yang menagih utang. Saat meminta bantuan pinjaman dengan ekpresi memohon dengan melas, halus dan ketika ditagih secara baik-baik untuk membayar utang justru marah, membentak, kasar bahkan orangnya kerap menghilang gamau tanggung jawab yang membuat kita enggan untuk tidak memberi pinjaman kepada orang lain.

Hal ini sudah menjadi hal yang wajar dan timbul sebuah stereotip dalam sosiologis masyarakatat kita bahwa orang yang berutang akan lebih galak ketika ditagih. Tentu saya peristiwa tersebut memberikan pengalaman buruk bagi pemberi utang dan ada beberapa alasan yang dapat dikaji menggunakan pendekatan psikologi dan sosiologi untuk mengetahui penyebab dari peristiwa tersebut. Mari kita simak pembahasanya.

Perilaku Defensif

Secara alamiah manusia memiliki sifat defensif untuk melindungi diri dari sesuatu yang dapat mengancam dirinya. Sifat ini kerap kali muncul dalam diri seseorang ketika merasa tidak memiliki power, merasa terancam, ketakutan dalam kondisi terancam sehingga kita mempertahankan diri dengan cara galak atau marah.

Manusia juga memiliki sifat yang mempertahankan harga diri dalam arti cenderung nggak mau direndahkan. Nah sifat defensif ini sangat berperan penting dalam hal ini untuk selalu melindungi diri dari segi kekurangan fisik maupun perasaan dengan tujuan biar tidak merasa malu atau mengurangi rasa ketakutan dalam kondisi yang tertekan.

Jika kita hubungkan dengan peristiwa orang yang memiliki utang lebih galak ketika ditagih, secara naluri orang yang berhutang merasa terancam sehingga lebih galak dengan tujuan agar melindungi dirinya dipermalukan dalam konteks tidak bisa bayar atau merasa harga dirinya direndahkan meski sudah menjadi suatu tanggung jawabnya untuk membayar utang tersebut.

frustasi

Jika di analisa orang yang berutang pada dasarnya adalah seseorang yang frustasi akan finansial sehingga meminjam uang, dan tingkat frutasinya lebih naik ketika harus membayar utang kepada orang yang memberi pinjaman pada tenggat yang disepakati.

Frutasi dalam kasus ini timbul akibat dari gagalnya dalam urusan finansial karena ia kecewa dan putus asa ketika ada tuntutan kebutuhan atau keinginan tetapi secara finansial ia tidak mendukung dan terpaksa harus berutang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Seharusnya dalam otak semua orang terjadi mekanisme berpikir “kalo saya harus memenuhi kebutuhan saya, maka saya harus membuang sesuatu atau memberikan kompensasi sesuatu” tapi gara- gara ia tidak bisa memenuhi kebutuhannya akhirnya meminjam uang karena frustasi, pada saat ditagih tingkat frustasinya menjadi lebih meningkat yang menyebabkan kontrol emosi seseorang menjadi rendah dan mudah marah.

Kegagalan internalisasi nilai agama

Dalam kehidupan kita banyak sekali mengenal norma yang mengatur kehidupan kita sepreti norma hukum, norma adat, norma sopan santun, norma agama, dsb. Nah, norma agama adalah sesuatu norma yang sakral, karena itu semestinya dia yang paling mendorong kita untuk melakukan nilai-nilai agama.

Jika dikorelasikan dengan peristiwa ketika orang yang memiliki utang lebih galak saat ditagih, artinya orang yang hutang tidak menerapkan nilai-nilai agama secara baik dan benar.

kita tidak boleh mengambil hak yang bukan milik kita".

Dalam konteks ini sudah jelas bahwa ketika kita berhutang maka kewajiban kita untuk berusaha membayar hutang sebagai bentuk pertanggung jawaban khususnya dalam islam itu eksplisit.

Dari Abu Hurairah berkata ia berkata “Rasullah shallallahu alahi wasallam bersabda: “jiwa seorang mukmin itu tergantung dengan hutangnya hingga terbayar.”

Yang terjadi pada saat orang berhutang dan tidak mau mengembalikan hutang justu lebih emosi ketika di tagih adalah agama tidak masuk dalam diri kita sehingga nilai nilai agama tidak terjadi adanya internalisasi agama dalam didalam diri kita. Sehingga agama hanya menjadi cover kulit bukan menjadi bagian dari hati kita, ketika melakukan kesalahan kita cenderung memaklumi kelemahan dengan agama sebagai perlindungan diri. Seharusnya nilai-nilai agama masuk dalam hati kita sehingga ketika kita berutang maka kita berfikir keras untuk mengembalikan agar terhindar dari larangan norma agama.

Choirul Anam Wibowo, Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan 2022 Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image