Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zhafira Afra Putri Hermawan

Kecerdasan Buatan dalam Puisi: Kekurangan Nilai Artistik atau Sekadar Eksperimen?

Sastra | Wednesday, 31 May 2023, 15:44 WIB
https://www.freepik.com/free-vector/tiny-people-reading-writing-poetry-poem-isolated-flat-vector-illustration-cartoon-characters-standing-sitting-near-open-book-ink-feather-entertainment-literature-concept_11672013.htm#page=2&query=poetry&position=16&from_view=search&track=sph

Puisi adalah sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa untuk mengutarakan emosi, menyampaikan ide, dan juga sebagai ekspresi ungkapan keindahan. Berbeda dengan tulisan biasa, bahasa dalam puisi ditata dengan cermat agar dapat membangkitkan respons pembaca melalui penataan bunyi, irama dan makna khusus. Respons yang dimaksud dalam hal ini berupa kesadaran akan pengalaman hidup, yang memungkinkan pembaca mendapatkan sebuah tanggapan tubuh terkait pengalaman-pengalaman tersebut, baik dari pengalaman yang pernah mereka alami sendiri maupun pengalaman yang belum mereka alami. Sepanjang sejarah puisi sudah berfungsi sebagai sarana komunikasi, penceritaan, dan alat ekspresi diri. Hal ini dapat terlihat pada puisi epik Yunani kuno yang menceritakan kisah dewa-dewi Yunani, serta pada Soneta romantis Renaisans.

Dewasa ini, kemajuan teknologi telah menciptakan model kecerdasan buatan (AI) yang berfokus pada bidang kebahasaan, model AI ini terlatih dalam membuat berbagai tulisan tanpa terkecuali menyusun puisi. Salah satu model yang terkenal adalah model bahasa GPT-3 OpenAI yang beredar di internet. Namun, peran AI dalam penulisan kreatif dan implikasinya terhadap dunia sastra masih menjadi polemik, sebab puisi yang dihasilkan oleh AI dianggap kurang memilki seni yang sejati.

Seni yang sejati membutuhkan kemampuan untuk dapat mengekspresikan emosi manusia yang kompleks, sesuatu yang tidak dapat direplikasi oleh AI. Puisi yang diciptakan oleh AI sering kali kurang menjiwai karakter manusia, sehingga pengalaman manusia di dalamnya terasa kaku atau kurang autentik. Di sisi lain, manusia sebagai pencipta seni memiliki kebebasan untuk mempermainkan kreativitas dan intuisinya dalam menyusun kata-kata dalam puisi. Kreativitas dan intuisi inilah yang dapat menciptakan pola-pola tertentu yang mampu menggambarkan emosi, pengalaman, dan perspektif penulis dalam menciptakan puisi yang unik. Sebaliknya, AI bergantung pada data dan algoritma untuk menciptakan puisi, sehingga puisi yang dihasilkan cenderung kurang memiliki resonansi emosional ketimbang puisi yang diciptakan oleh manusia. Dengan kata lain, puisi yang dibuat manusia seringkali dapat menyampaikan emosi dan menangkap esensi pengalaman manusia dengan cara yang belum dapat dilakukan oleh AI.

Memang benar fakta bahwa AI dapat menyusun struktur, gaya, dan diksi yang kompleks untuk menciptakan puisi yang bagus. Namun, puisi yang dihasilkan tetap terbatas pada pola yang sudah ada sebelumnya sehingga terkadang terasa kurang menjiwai. AI tidak dapat secara sengaja memilih kosa kata atau tipografi tertentu karena hanya dapat bekerja sesuai kata kunci yang diberikan. Berbeda halnya dengan AI, manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan kreativitas mereka dalam menyusun puisi, seperti memilih diksi atau ungkapan yang dapat menyampaikan makna atau efek tertentu. Contohnya ketika AI diberi kata kunci kucing dan manusia sebagai topik utamanya, secara menakjubkan dia dapat menciptakan puisi dari kata kunci tersebut dalam hitungan detik. Sayangnya puisi yang dihasilkan bisa saja tidak sesuai dengan keinginan di pengguna, misal si pengguna bermaksud membuat puisi sindiran manusia adalah peliharaan kucing tetapi AI malah menyusun puisi mengenai persahabatan antara kucing dengan manusia. Tidak menutup kemungkinan AI menciptakan puisi sesuai dengan maksud si pengguna karena AI dapat melatih diri sendiri, tetapi tetap saja dia tidak akan bisa menyaingi manusia dalam hal membuat pola-pola yang dapat menuntun para pembaca untuk memaknainya menurut pengalaman mereka masing-masing.

Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna adalah dua dari banyaknya penyair Indonesia yang mampu menciptakan puisi yang membebaskan kata dan makna. Sutardji menyatakan bahwa “kata bukanlah alat pengantar pengertian, kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea.” di kredo puisi O Amuk Kapak. Sejalan dengan pendapatnya, isi dari kumpulan puisi O Amuk Kapak berisikan puisi-puisi yang bernuansa aneh dan sulit dimengerti orang awam. Puisi “Tragedi Winka dan Sihka” adalah contohnya. Pada puisi tersebut hanya dapat ditemui empat suku kata: ka, win, sih, dan Ku. Dengan keempat suku kata tersebut, terbentuklah delapan kata: kawin, winka, sihka, ka, win, sih, dan Ku yang beberapa di antaranya merupakan kata-kata baru hasil pembebasan kata oleh Sutardji, dalam hal ini adalah dengan membiarkan kata membolak-balikkan dirinya. Tentu saja saat pertama kali melihat puisi ini akan sangat bingung dengan tipografi dan maksud si penyair. Tetapi kembali lagi ke kredo Sutardji, bahwa puisi yang dibuat Sutardji ‘bebas’ melakukan apa saja.

Afrizal Malna merupakan penyair yang berpandangan sama dengan Sutardji. Malna mendefinisikan bahasa adalah sebuah tubuh fiskal (bahasa sebagai medium immaterial). Menganggap bahwa puisi itu terlalu luas untuk dibatasi oleh hanya sebuah bahasa teks. Maka dari itu karya-karyanya seringkali menggunakan benda-benda mati sebagai tokoh. Pada kumpulan puisi buka pintu kiri, Malna banyak melahirkan karya-karya eksperimental yang tak umum bagi masyarakat yang mampu membuat pembaca merasakan pengalaman-pengalaman baru. Melalui buku ini, Malna ingin menyampaikan dan membuktikan apakah puisi itu hanya bisa bergantung pada bahasa saja atau tidak. Jika benar, apabila bahasa hilang maka keberadaaan puisi juga tidak akan ada. Pada puisi “glitchtext” terdapat visualisasi atas kaleng kerupuk lalu di kaca kaleng tertulis ‘MAKNA Coret’ dilanjutkan dengan gambar kamera yang membelakangi tanda silang kemudian di bawahnya tertulis ‘MAKAN’. Dilanjutkan lagi dengan puisi dua kolom pada halaman berikutnya. Apakah kata bisa bebas dari makna? Jawabannya adalah bisa dengan cara mencoret makna itu.

Kedua penyair tersebut menunjukkan bahwa puisi bukan sekadar permainan kata-kata, melainkan juga hasil dari kreativitas dan intuisi manusia. Puisi yang dihasilkan oleh AI kurang memiliki nilai artistik yang sejati karena tidak mampu merangkum kedalaman emosi manusia, kreativitas yang tumbuh dari pengalaman pribadi, dan perspektif unik yang menentukan ekspresi artistik yang asli. AI belum mampu mereplikasi emosi asli manusia ke dalam karyanya. Oleh karena itu, hingga saat ini, karya sastra ciptaan manusia tetap bernilai dan belum dapat digantikan oleh kecerdasan buatan. Di sisi lain, puisi yang diciptakan oleh kecerdasan buatan lebih cocok dianggap sebagai eksperimen manusia terhadap teknologi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image