Layak kah Ateisme di Indonesia?
Agama | 2023-05-31 12:53:59Kebebasan beragama adalah prinsip yang mengakui dan menghormati kebebasan individu dalam menjalankan dan menganut agama sesuai dengan keyakinan pribadinya. Prinsip ini melibatkan hak asasi manusia yang mendasar, yaitu kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama. Kebebasan beragama memiliki hak asasi manusia yang penting dan diakui secara internasional. Ini berati setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih, mempraktikan, atau mengubah agama atau keyakinan mereka tanpa tekanan atau penganiayaan dari pemerintah atau kelompok lainnya. Kebebasan beragama juga bagian yang sangat penting sebagai perlindungan terhadap martabat manusia dalam masyarakat sebagai jaminan perlindungan paling minimum untuk seserorang.
Akhir-akhir ini semakin marak munculnya paham Ateisme dalam masyarakat kita. Ateisme sendiri adalah sebuah pandangan yang tidak mempercayai keberadaan tuhan dan dewa-dewa, orang-orang ateis berpikir bahwa kepercayaan yang mereka anut adalah hasil dari pola pikir rasional. Opini yang paling sering digunakan adalah mereka tidak percaya kepada tuhan tapi percaya pada sains untuk menjelaskan bukti dari hasil logika tersebut.
Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwasannya:
(1) Negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan ayat 1, sudah dijelaskan bahwasannya negara Indonesia tidak mengakui terhadap ketidakpercayaan kepada tuhan seperti ateisme. Ketuhanan yang maha esa menjadi nilai yang sangat penting bagi persatuan dan juga kemerdekaan negara Indonesia.
Kemudian ayat 2 menjelaskan bahwa negara menjamin fasilitas, keamanan dan kenyamanan bagi setiap kepercayaan yang di anut oleh masyarakat tanpa membeda-bedakannya. Contoh implementasi dari ayat ini yaitu, pemerintah membangunkan fasilitas sarana dan prasarana untuk beribadah bagi setiap agama, memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya masing-masing dan juga memiliki sikap toleransi dan menghormati kepercayaan orang lain.
Dari kedua ayat pada pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada ruang untuk ateis menjadi warga negara Indonesia.
Sampai saat ini sendiri, para ateis di Indonesia mulai terang-terangan mengakui dirinya. Banyak publik figur mengakui bahwa mereka adalah seorang ateis, sebut saja seorang Coki Pardede yang meruoakan seorang artis komedian. Hal ini mungkin menjadi salah satu pemicu banyaknya orang-orang yang mengaku ateis bermunculan, karena orang-orang yang memiliki peran besar seperti publik figur berani mengungkapkannya dan orang-orang ateis tersebut merasa mendapatkan dukungan dan juga rasa senasib seperjuangan. Hal yang dilakukan oleh para publik figure yang mengaku bahwa dirinya seorang atheis sebetulnya seperti terlihat sedang mengkampanyekan ateis, dan hal tersebut dilarang oleh hukum dan terkena pidana pada pasal 165A KUHP.
Dari semua pernyataan diatas pertanyaannya adalah “Apakah ateis berhak hidup menjadi warga negara Indonesia?”. Tentu saja tidak, hal ini juga di perkuat oleh sila pertama Pancasila. “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah bunyi sila pertama dari Pancasila yang merupakan landasan utama kehidupan bangsa Indonesia. Secara ideologi sila pertama Pancasila mewajibkan warga negara pecaya dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa dan diharuskan memeluk sebuah agama. Sangat jelas bahwasannya ateis sangat bertolak belakang dengan landasan hidup bangsa ini.
Kesulitan menjadi ateis di Indonesia sendiri tidak hanya seperti yang terkandung di undang-undang dan Pancasila. Dampak menjadi seorang ateis di Indonesia adalah kehilangan hak-hak hukumnya seperti kesulitan mengurus administrasi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang mewajibkan setiap warga negara mencantumkan agama yang dianutnya, para ateis biasanya menggunakan kepercayan yang ia anut sebelumnya sebagai formalitas.
Memang tidak ada hukum pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang mengakui bahwa dirinya ateis, tapi ada hukum lain yang menghantui mereka yaitu hukum sosial berupa di kucilkan oleh lingkungan sekitarnya. Rasa trauma masyarakat Indonesia akan komunisme pada masa lalu menjadikan salah satu faktor para penganut ateisme mendapat perlakuan tersebut, masyarakat pada umumnya menganggap bahwa ateis dan komunisme adalah sejenis. Seperti yang kita ketahui bagaimana kasus G30S PKI yang merpakan sejarah kelam bagi masyarakat Indonesia dan itu merupakan hal yang diwaspadai dan momok menakutkan bagi masyarakat.
Menjadi ateis di Indonesia sendiri memang sangat sulit, selain melanggar konstitusi menjadi seorang ateis juga akan kehilangan haknya di mata hukum, selain itu saksi sosial juga membayang-bayangi mereka, mereka akan selalu mendapatkan perilaku khusus dari masyarakat sekitar. Sejarah akan peristiwa sadis komunisme, merupakan peristiwa yang tentunya tidak ingin di ulang oleh masyarakat negara ini bukan?
Referensi:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29
2. PANCASILA
Kafi Idrus Sanjaya, NPM 41183506210021, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam 45 Bekasi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.