Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kumpulan Opini Mahasiswa Unair

Bahasa dan Kematian yang tak Terhindarkan

Sastra | Wednesday, 24 May 2023, 21:09 WIB
ilustrasi bahasa Sumber : Lomboknews

Bahasa bagi sebagian orang bertujuan untuk mencari kejelasan. Tujuan dari bahasa adalah mencapai keabadian (menurut sebagian orang) sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer "Bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, dengan menulis bisa dibaca hingga anak cucu" namun realitanya, bahasa dekat dengan konteks kematian.

Adalah suatu fakta yang aneh, bahwa dari sekian banyak makhluk yang ada di muka bumi, cuma manusia yang intensif dalam menggunakan bahasa sebagai media komunikasinya. Jika boleh mengutip "Homo Sapiens" karya Yuvel Noah Harari, disebutkan bahwa bahasa adalah instrumen manusia yang paling utama yang menunjang keselamatannya. Lewat bahasalah, manusia dapat mengorganisasikan unit sosial yang jauh lebih besar dari suku-suku simpanse dan bonobo. Kita bisa mengorganisasikan masyarakat dalam jumlah besar dengan perantara bahasa. Menurut Yuvel, bahasa ini bekerja dengan fiksi, artinya bahasa tidak hanya untuk menyampaikan secara langsung, namun juga untuk menyampaikan skenario alternatif, suatu hal tidak pernah kita lihat, dalam mata kepala kita, yang tidak pernah bisa dengar, cium, tapi bisa dihadirkan oleh dihadapan muka kita, itu dilakukan oleh bahasa, dan itu adalah fiksi.

Lewat fiksi inilah, masyarakat bisa diorganisasikan, misal fiksi mengenai leluhur bersama, adanya sepasang suami-istri pertama yang melahirkan berjuta-juta manusia selama ribuan generasi. Disinilah, konsep leluhur bersama mengikat identitas kita. Hampir di seluruh sekitar kita diorganisasikan dengan fiksi. Dimana fiksi itu bisa bekerja karena karakter khas dari bahasa adalah bahasa tidak hanya bisa merekam ulang apa yang pernah kita alami, namun bisa menghadirkan sesuatu yang baru, yang tidak pernah kita alami dan itu bisa dihadirkan lewat bahasa. Misalnya, bahasa bisa merubah apa yang disebut sifat menjadi benda, dari "tindakan yang berani (kata sifat) menjadi "keberanian (kata benda)" ada lagi fungsi fusi contoh, burung merpati dan kuda, dari 2 hal tersebut manusia menciptakan konsep hewan mitologi kuda sembrani. Berbagai kode norma, sebenarnya juga warisan bahasa dari ribuan tahun lalu yang mungkin saja awalnya diciptakan sebagai fiksi, seperti inilah kerja fiksi bahasa yang bernama tradisi

Jadi bahasa bisa dilihat sebagai "Reservoir" (wadah) dalam konteks ini. Wadah bagi hasil pemikiran umat manusia, semua yang pernah dialami umat manusia ditorehkan salah satunya dalam bentuk bahasa. Bahasa itu seperti raga dari ingatan kolektif manusia selama ribuan tahun. Oleh karena itu, wajar apabila bahasa dan konsep tulis-menulis itu bekerja untuk keabadian, yang umurnya ribuan tahun, walaupun secara aktual, bahasa ribuan tahun lalu, berbeda dengan bahasa hari ini, dan tidak ada bahasa yang bisa bertahan tetap sama selama ribuan tahun. Tapi ada semacam 'estafet' dari pemikiran tersebut lewat proses penerjemahan inilah, bahasa itu dilestarikan. Itu bisa dilaksanakan dengan melihat pangram, adalah suatu untaian kata untuk kalimat yang menghadirkan beragam huruf dalam suatu bahasa, misal pangram Inggris "the quick brown fox jumps over the lazy dog". bahasa Jawa juga memiliki pangram berupa Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa DHA Jam Ya Nya

Ma Ga Ba Tha Nga, disini berbeda dengan artian populernya, yang dimana 2 abdi Ajisaka, Joko dan Sembodo mati namun bahasanya lah yang mati

Disinilah lahir pemikiran bahwa bahasa terikat dengan kematian, 2 mayat inilah bahasa itu sendiri. Disini dua pihak abdi Ajisaka menjalankan perintah secara lugas dan berakibat pada perang tanding antar saudara yang menyebabkan kematian mereka berdua. Artinya seolah-olah dimana ada perintah untuk menghindari kelugasan itu tadi.

Hal inilah yang membuat bahasa Jawa sangat terikat kata-kata tidak langsung seakan kelugasan adalah dosa dari Joko dan Sembodo yang harus menjadi pelajaran . Dimana kekaburan, kesalahpahaman, ketidakjelasan, adalah bagian esensial dari bahasa. Bahasa yang secara konservatif dimana sebagai cara penyampaian lugas, memiliki fungsi kedua yakni menghadirkan kegelapan.

Penulis : Ryan Nur Fikri

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image