Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Berlianya Onasis

Polemik Bapak Rumah Tangga, Justifikasi Gengsi Lelaki?

Lainnnya | Monday, 22 May 2023, 16:33 WIB
https://www.freepik.com/photos/vacuumizer/2

Laki-laki yang sudah menikah dan berdiam diri di rumah, seringkali mendapat stigma buruk dari masyarakat. Mereka menganggap laki-laki tersebut malas dan tidak tahu diri, karena seharusnya sebagai laki-laki yang sudah menikah tugasnya adalah menafkahi keluarga. Dengan seorang laki-laki berdiam diri di rumah, masyarakat berasumsi bahwa laki-laki tersebut tidak bekerja, karena pola pikir masyarakat akan bekerja atau mencari nafkah masih identik dengan pergi dari rumah. Padahal, tidak menutup kemungkinan jika laki-laki tersebut termasuk dari beberapa pasangan suami-istri yang di mana istri berstatus sebagai penafkah keluarga, sedangkan suami mengurus urusan domestik, yaitu seorang bapak rumah tangga.

Bapak rumah tangga atau sering dikenal dengan istilah househusband masih menjadi topik yang cukup kontroversial di tengah ramainya perbincangan tentang kesetaraan gender. Masih banyak orang beranggapan bahwa menafkahi keluarga dengan materi adalah kewajiban mutlak laki-laki, meski kini perempuan juga dapat turut andil sebagai penafkah keluarga. Sekalipun sepasang suami-istri keduanya bekerja, sang suami secara tidak langsung dituntut untuk mempunyai gaji yang lebih tinggi daripada sang istri. Karena, jika upah suami tidak lebih tinggi dari istri, itu sama saja merusak harga dirinya sebagai laki-laki, karena dianggap tidak mempunyai kuasa atas rumah tangganya. Hal tersebut disebabkan karena nilai patriarki dalam masyarakat yang menganggap laki-laki adalah pemimpin, superior, dan pada dasarnya tidak boleh berkedudukan di bawah perempuan.

Sangat disayangkan bahwa status bapak rumah tangga masih sering dianggap buruk oleh masyarakat dan dari kaum laki-laki sendiri. Sampai saat ini pun, masih banyak laki-laki yang tidak dapat menerima peran sebagai bapak rumah tangga karena khawatir akan kehilangan pekerjaan atau karier sebagai seorang profesional (Adame et al., 2019). Padahal, laki-laki maupun perempuan mempunyai keunikannya masing-masing terlepas dari status, dalam hal ini gender, yang diberikan oleh masyarakat.

Di balik kontroversi yang ada, diskursus mengenai bapak rumah tangga di sisi lain seolah tidak terlalu dihiraukan, hal ini karena kesetaraan gender sendiri belum tercapai dalam masyarakat. Gerakan kesetaraan gender masa kini masih berfokus pada pemenuhan hak perempuan, khususnya dalam dunia kerja yang dimana masih banyak perempuan yang belum mendapatkan hak-nya. Sedangkan, bapak rumah tangga akan ada jika perempuan yang memegang status sebagai pencari nafkah dalam keluarga, yang pada realitanya, hal tersebut pun masih jarang ditemukan, meski sekarang mulai terlihat di kota-kota besar pada pasangan milenial. Oleh sebab itu, banyak orang acuh ketika terdapat bahasan mengenai bapak rumah tangga, karena menurut mereka hak tersebut tidak penting.

Selain itu, masih kerap terjadi miskonsepsi dalam interpretasi kesetaraan gender. Banyak orang berpikir bahwa kesetaraan gender adalah ketika perempuan tidak atau menolak menerapkan nilai-nilai gender tradisional seperti pekerjaan rumah tangga. Padahal, kesetaraan gender adalah tentang kesetaraan hak, kesetaraan kesempatan, dan menghilangkan diskriminasi berdasarkan gender serta pembagian peran gender. Meniadakan peran gender tersebut bukan berarti "memindahkan" peran tersebut ke gender lain. Dengan kata lain, pekerjaan rumah dan peran gender tradisional perempuan lainnya bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki selama tidak ada paksaan atau tekanan dalam pelaksanaannya.

Berbicara soal bapak rumah tangga, hal tersebut tidak sepenuhnya buruk seperti anggapan masyarakat bahwa laki-laki yang tidak mencari nafkah adalah pemalas. Justru, bapak rumah tangga membawa banyak keuntungan, baik itu untuk keluarga maupun dirinya sendiri. Bapak rumah tangga cenderung menganut dan menyelenggarakan nilai-nilai kesetaraan gender dalam rumah tangga dan dengan kehadiran sosok bapak dalam keluarga, anak-anak pun menjadi lebih bahagia karena mendapat atensi dan afeksi dari kedua orang tua, tidak hanya dari ibu. Adapun bapak rumah tangga yang tidak mempermasalahkan bertukar peran gender dengan istri karena ia dapat bersama anak-anaknya dan melihat mereka tumbuh besar (Adame et al., 2019).

Ketika membangun rumah tangga, aspek yang terpenting adalah komunikasi dan keterbukaan, lepas dari siapa yang mencari nafkah atau mengurus rumah. Apapun pekerjaan dan tugasnya, kedua pihak (suami dan istri) mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pembagian peran. Tidak ada salahnya menjadi ibu rumah tangga, businessman, bapak rumah tangga atau businesswoman ketika dinamika rumah tangga berjalan dengan baik. Membangun rumah tangga adalah tentang berkolaborasi untuk menciptakan keseimbangan kedua pihak.

Ketika seorang suami terlalu fokus mencari nafkah dan kehadirannya tidak dapat terasa dalam rumah tangga sebagai sosok suami dan ayah, rumah tangga tersebut pun dapat mengalami ketimpangan. Karena keberlangsungan dari rumah tangga tersebut hanya dijalankan oleh satu pihak saja, yaitu ibu, di mana seharusnya rumah tangga sepatutnya dijalankan oleh kedua belah pihak. Hubungan yang tidak setara ditemukan menciptakan lingkungan di mana pasangan menjadi tertekan dan mengalami tingkat kemarahan yang lebih tinggi (Adame et al., 2019). Sehingga, rumah tangga pun menjadi tegang. Ditambah lagi, dengan anak tumbuh dalam lingkungan rumah tangga yang tidak sehat akan mendapatkan dampak buruk yang nantinya cukup berpengaruh saat mereka telah tumbuh dewasa.

Namun, perlu dipahami bahwa bukan berarti laki-laki, atau bahkan perempuan, dapat mengklaim diri sebagai bapak atau ibu rumah tangga sebagai justifikasi untuk berdiam diri di rumah dan bermalas-malasan. Karena, perlu dicamkan lagi bahwa rumah tangga adalah tentang keseimbangan, ketika salah satu pihak tidak memberi effort yang sama atau tidak dapat mengkomplemen apa yang telah diberikan oleh pasangannya, menjadi pencari nafkah ataupun yang mengurus rumah tangga tidak akan menciptakan rumah tangga yang sehat.

Saling bertukar peran gender dapat membuat sepasang suami-istri dapat lebih menghargai satu sama lain, karena mereka menjadi tahu bagaimana suatu hal bekerja dari kedua sisi, membuat kehidupan rumah tangga mereka cenderung harmonis, karena suami dan istri saling mengerti akan tekanan dan tanggung jawab yang dimiliki dan kualitas pernikahan mereka menjadi lebih solid (Adame et al., 2019).

Maka dari itu, tidak ada salahnya menjadi bapak rumah tangga selagi kedua pihak dapat mengkomplemen kehidupan rumah tangganya dan dilaksanakan secara konsensual.

Referensi:

Adame, J. L. M., Perea, Q. R. P., & Manibo, J. (2019). Marital Satisfaction, Attitude Towards Gender Norms, and Coping Mechanism among Househusbands.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image