Triangulasi Perdamaian Ala Kant Dalam Pusaran Konflik di Asia Timur
Kolom | 2024-09-15 17:21:20Asia Timur adalah wilayah paling dinamis di dunia. Mentalitas perang dingin masih sangat kental di kawasan ini sehingga konflik bisa pecah kapan saja.
Dengan demikian, stabilitas yang kita lihat sekarang sifatnya semu. Gesekan ideologi masa lalu yang kemudian melahirkan negara-negara seperti Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok dan Taiwan masih sangat kuat.
Dan untuk mempertahankan perdamaian semu tersebut diperlukan saluran komunikasi dan hubungan diplomatik yang koheren. Caranya bagaimana? Dengan mengaplikasikan model triangulasi perdamaian ala Immanuel Kant.
Tapi siapa sih yang sedang berkonflik di Asia Timur? Penyebabnya apa? Dan bagaimana triangulasi perdamaian ala Kant bisa diimplementasikan untuk mencapai perdamaian di kawasan ini? Mari bahas satu per satu.
Apa dan siapa yang berkonflik di Asia Timur?
Terdapat dua konflik besar yang sedang terjadi di Asia Timur. Jika dilihat berdasarkan intensitasnya, daftarnya adalah sebagai berikut:
1. Korea Utara vs. Korea Selatan
Secara teknis kedua negara ini masih berperang karena setelah perang semenanjung Korea berakhir pada 27 Juli 1953, yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan, tidak ada perjanjian perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak.
Korea Utara sampai hari ini masih menginginkan reunifikasi damai yang tentu saja ditolak Korea Selatan. Bagi Korsel, reunifikasi berarti harus tunduk pada Kim Jong-un, yang telah lama menjadi wajah totalitarianisme modern, yang levelnya diatas Aleksandr Lukashenko, Presiden Belarus.
Salah satu ancaman terbesar Korea Utara, selain kiriman drone berisikan kotoran atau sampah, adalah Nuklir. Dan pada pidato peringatan berdirinya Korea Utara pada 9 September lalu, putra Kim Jong-il tersebut berjanji untuk meningkatkan jumlah senjata nuklir dalam inventaris mereka.
Diperkirakan, sampai hari ini, Korea Utara memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir Uranium dan Plutonium dan akan meningkat menjadi 166 pada 2030. Di sisi lain Korea Selatan tidak memiliki senjata nuklir karena termasuk Non-Nuclear Weapon States tapi negara ini didukung penuh oleh Amerika Serikat yang merupakan salah satu kekuatan nuklir utama dunia.
2. Tiongkok Vs. Taiwan
Konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan bertalian dengan Konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Taiwan lahir setelah migrasi besar-besaran kaum Republik Tiongkok yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek setelah kalah dari Partai Komunis Tiongkok yang dipimpin Mao Zedong dalam perang Saudara Tiongkok pada 1949.
Sama seperti Korea Utara, Tiongkok menginginkan reunifikasi damai dibawah visi satu negara dua sistem seperti yang diterapkan di Hong Kong tapi Taiwan menolak gagasan hal tersebut.
Yang jadi masalahnya adalah, selain sebagai kekuatan ekonomi yang menyumbang 31,6% produk manufaktur global, Tiongkok telah berangsur-angsur menjadi kekuatan militer dunia dengan kapabilitas nuklir besar.
Pada 2023 lalu, jumlah hulu ledak Nuklir Tiongkok baru 401 lalu meningkat menjadi 500 pada 2024 dan diperkirakan akan naik lagi menjadi 700 hulu ledak pada tahun 2027 dan 1.000 pada 2030.
Disisi lain, Taiwan masih termasuk negara berpengakuan terbatas karena baru diakui oleh 15 negara termasuk Vatikan, Guatemala dan Honduras. Uniknya, Amerika Serikat tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan tapi jadi sekutu utama negara ini.
Dan dengan demikian, jika Tiongkok mengambil opsi reunifikasi kedua yakni dengan cara perang maka akan menyeret negara-negara besar lain di kawasan seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Triangulasi Perdamaian Ala Kant Sebagai Hipotesis Perdamaian di Asia Timur
Dalam buku Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations (2000) yang ditulis oleh John R. Oneal dan Bruce Russett, terdapat model segitiga perdamaian yang dipercaya dapat mencegah konflik yakni demokrasi, saling ketergantungan secara ekonomi dan mediasi internasional.
Ide dasar triangulasi tersebut berasal dari tulisan Immanuel Kant dalam Bukunya Zum ewigen Frieden. Ein philosophischer Entwurf atau Perpetual Peace: A Philosophical Sketch yang terbit pada 1795. Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah triangulasi perdamaian ala Kant tersebut diterapkan di Asia Timur? Tentu saja bisa. Berikut penjelasannya:
1. Demokrasi
Demokrasi di Asia Timur tidak terlalu berkembang setelah perang semenanjung Korea dan Perang Saudara Tiongkok pecah. Laporan Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Tiongkok di urutan ke-148 dan Korea Utara di urutan ke-165 dari 167 negara paling demokratis di dunia pada 2023 lalu.
Dengan begitu, poin pertama triangulasi perdamaian ini kurang relevan jika dibahas di Asia Timur karena beberapa negara tetap menganut sistem politik satu partai yang totaliter seperti Tiongkok dan Korea Utara sementara yang lainnya merupakan negara demokrasi seperti Taiwan dan Korea Selatan.
Namun dalam kasus Tiongkok, booming ekonomi dan teknologi telah mendorong perluasan tata kelola negara dimana politik Tiongkok tetap mengadopsi sistem satu partai sementara ekonomi mulai beralih ke kapitalisme semi-formal.
Tapi perbaikan ekonomi Tiongkok tersebut tidak terlalu mempengaruhi politik dalam negeri sehingga poin ini dapat dihiraukan. Meski begitu, karena model segitiga perdamaian ala Kant tersebut saling terkait, faktor-faktor lain akan memiliki bobot atau pengaruh yang lebih besar.
2. Ketergantungan secara Ekonomi
Kedua belah pihak yang bertikai jelas tidak saling bergantung secara ekonomi tapi tidak dengan mitra-mitranya di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Timur Tengah dan Negara-negara lain di dunia.
Sebagai contoh, sekutu dekat Korea Selatan dan Taiwan adalah Amerika Serikat dan hubungan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat mencapai US$692,59 miliar pada 2023 lalu.
Saling ketergantungan secara ekonomi ini dapat memperkuat diplomasi antara negara yang terlibat dalam perdagangan dan menjadi nilai tawar yang niscaya dapat mempertahankan status quo yang telah ada.
3. Mediasi internasional
Mediasi internasional dapat terjadi dalam dua bentuk yakni hubungan diplomatik antar negara dan misi diplomatik di organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Trade Organization (WTO), Group of Twenty (G20) dan lain sebagainya.
Meski perlu diakui hubungan diplomatik negara di Asia Timur sangatlah unik dan kompleks. Sebagai contoh, Korea Selatan tidak memiliki hubungan formal dengan Korea Utara tapi negara tersebut memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Tiongkok dan Rusia, yang merupakan sekutu tradisional Korea Utara.
Di sisi lain, Korea Utara tentu tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Korea Selatan tapi mereka memiliki hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan Rusia. Hal yang sama juga berlaku dengan Taiwan yang sekalipun tidak memiliki kedutaan resmi di Jepang, Amerika Serikat dan Korea Selatan tapi hubungan dagang dan bilateral antar negara sangat erat.
Hal ini menunjukkan bahwa peran pihak ketiga, yang memiliki saluran diplomatik langsung dengan pihak-pihak yang berkonflik sangat diperlukan. Tujuannya adalah untuk tetap mempertahankan komunikasi dan menjadi saluran mediasi negara-negara yang sedang berkonflik sehingga eskalasi bisa dicegah sekalipun hanya sementara.
Penutup
Hipotesis triangulasi perdamaian yang terdiri dari demokrasi, ketergantungan secara ekonomi dan mediasi internasional merupakan kunci diplomasi lintas negara yang dapat mengurangi konflik.
Namun implementasi strategi ini sifatnya terbatas karena negara-negara seperti Tiongkok dan Korea Utara memiliki sistem politik yang berbeda sehingga keterlibatan negara-negara pihak ketiga yang netral sangat diperlukan.
Untuk itu, perlu upaya lebih lanjut untuk membagun dialog konstruktif, memperkuat hubungan antar negara dan memaksimalkan peran organisasi internasional sehingga status quo yang telah ada terus dipertahankan. ***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.