Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Septiyana Razak Priyatna

Maju Kena, Mundur Kena: Taiwan Si Pulau Kecil yang Berharga

Politik | 2024-12-11 07:22:05

Kisah Dua Kakak-Adik yang Terpisah: Tiongkok dan Taiwan

Setelah Perang Dunia II berakhir, Tiongkok menjadi medan pertempuran ideologis yang menentukan arah masa depannya. Dua kekuatan besar, kaum Nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek melalui Partai Kuomintang (KMT) dan kaum Komunis di bawah Mao Zedong, terlibat perang saudara yang tak terhindarkan. Konflik ini memuncak setelah Jepang menyerah pada 1945. Dengan dukungan petani dan strategi militer yang efektif, kaum Komunis merebut sebagian besar wilayah daratan Tiongkok. Pada akhirnya, tahun 1949 menjadi momen krusial: Mao Zedong mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (RRT), sementara Chiang Kai-shek bersama pengikutnya mundur ke Pulau Formosa (sekarang Taiwan) dan melanjutkan pemerintahan Republik Tiongkok dari pengasingan.

Sejak saat itu, hubungan antara Tiongkok dan Taiwan menjadi salah satu isu geopolitik paling rumit di dunia. Tiongkok memandang Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, sementara Taiwan berjuang mempertahankan identitas politiknya. Pada tahun 1971, posisi Taiwan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) digantikan oleh RRT, semakin mempersempit ruang diplomatik Taiwan di kancah internasional. Meski begitu, Taiwan tetap mempertahankan keberadaannya sebagai aktor penting di kawasan Asia Timur.

Taiwan: Pulau Kecil, Pengaruh Besar

Taiwan mungkin kecil secara geografis, tetapi dampaknya terhadap ekonomi global sangat besar. Pulau ini adalah rumah bagi Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), perusahaan yang memproduksi sebagian besar microchip dunia. Teknologi semikonduktor ini menjadi tulang punggung banyak industri, mulai dari perangkat elektronik hingga kendaraan listrik. Ketergantungan global pada TSMC membuat Taiwan menjadi pusat perhatian dalam rivalitas ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Namun, ketergantungan ini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, perdagangan Taiwan dengan Tiongkok memberikan keuntungan ekonomi signifikan, menjadikan Tiongkok mitra dagang terbesar. Di sisi lain, Taiwan harus menghadapi tekanan politik yang datang dari Beijing, yang kerap menggunakan pendekatan ekonomi untuk menegaskan klaimnya atas pulau ini. Dalam dinamika ini, Taiwan terus menjaga hubungan strategisnya dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok.

Ketegangan di Tengah Rivalitas Global

Geopolitik kawasan Indo-Pasifik semakin panas, dan Taiwan berada di tengah pusaran konflik ini. Tiongkok terus meningkatkan kemampuan militernya, termasuk melakukan latihan militer di dekat Taiwan. Baru-baru ini, Beijing bekerja sama dengan Rusia dalam latihan angkatan laut di Laut Jepang, mengirimkan sinyal kekuatan kepada dunia. Langkah ini tidak hanya menunjukkan ambisi Tiongkok sebagai kekuatan global, tetapi juga meningkatkan kekhawatiran negara-negara di kawasan.

Di sisi lain, Amerika Serikat memperkuat aliansi regionalnya melalui kemitraan seperti AUKUS dan Quad, yang bertujuan untuk menyeimbangkan kekuatan Tiongkok. Taiwan, meskipun tidak memiliki kekuatan militer sebesar Tiongkok, memainkan peran aktif dalam diplomasi internasional. Safari politik Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, ke negara-negara mitra menunjukkan keberanian Taiwan untuk memperjuangkan posisinya di tengah tekanan geopolitik.

Strategi Bertahan di Tengah Ancaman

Dalam teori hubungan internasional, dinamika antara Tiongkok dan Taiwan dapat dijelaskan melalui konsep Balance of Threat oleh Stephen Walt. Tindakan Tiongkok untuk menunjukkan kapabilitas ofensifnya (Offensive Capability), seperti latihan militer, menjadi ancaman nyata bagi Taiwan. Sebagai respons, Taiwan menerapkan strategi diplomasi agresif (Aggresiveness of its intentions) untuk menarik dukungan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Namun, strategi ini juga berisiko. Taiwan harus berhati-hati agar tidak memicu eskalasi yang dapat berujung pada konflik militer. Dalam dunia yang semakin multipolar, Taiwan perlu terus membangun hubungan internasional yang kuat sambil menjaga kestabilan domestik. Kombinasi antara kekuatan ekonomi, diplomasi cerdas, dan aliansi strategis adalah kunci bagi Taiwan untuk bertahan di tengah tekanan global.

Taiwan: Masa Depan di Persimpangan

Taiwan adalah simbol keberanian sebuah bangsa kecil dalam menghadapi tekanan dari kekuatan besar. Namun, masa depannya tetap menjadi teka-teki. Apakah Taiwan akan mampu mempertahankan status quo atau akan terlibat dalam konflik besar yang mengubah peta politik dunia? Semua bergantung pada bagaimana Taiwan, Tiongkok, dan komunitas internasional memainkan peran mereka dalam panggung geopolitik.

Dalam situasi ini, Taiwan memberikan pelajaran penting: bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada ukuran wilayah atau kekuatan militer, tetapi pada kemampuan sebuah negara untuk beradaptasi, bertahan, dan tetap relevan di tengah arus perubahan dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image