
Regulasi Sertifikasi Halal 2026 Indonesia Buat AS Waswas: Tantangan Baru Bagi Produk Impor Makanan dan Minuman
Bisnis | 2025-04-07 12:59:33
Jakarta – Kewajiban sertifikasi halal yang diberlakukan secara bertahap oleh pemerintah Indonesia membuat sejumlah importir asal Amerika Serikat (AS) merasa waswas. Aturan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini mensyaratkan seluruh produk yang beredar di pasar Indonesia memiliki sertifikasi halal resmi, termasuk produk impor.
Kekhawatiran tersebut muncul karena implementasi aturan ini dianggap belum sepenuhnya terbuka dan transparan oleh pelaku usaha luar negeri, termasuk eksportir dari AS. Dalam laporan 2025 National Trade Estimate Report, para pemangku kepentingan di Amerika menyatakan keprihatinannya terhadap minimnya notifikasi dari Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai peraturan-peraturan pelaksana sertifikasi halal yang baru.
Menurut laporan tersebut, Indonesia kerap memberlakukan aturan terlebih dahulu sebelum memberikan notifikasi resmi kepada WTO, yang sebenarnya diwajibkan dalam perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (TBT). Kondisi ini dianggap bisa menimbulkan ketidakpastian dan hambatan teknis bagi pelaku usaha luar negeri.
Sejumlah peraturan yang menjadi sorotan antara lain Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 748/2021 dan KMA No. 944/2024 yang merinci daftar produk makanan dan minuman yang wajib memiliki sertifikasi halal. Selain itu, terdapat pula KMA No. 1360/2021 yang menetapkan “daftar positif” bahan-bahan yang dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal.
Peraturan lain yang tak kalah penting adalah KMA No. 816/2024 yang mengklasifikasikan produk pangan berdasarkan kode HS (Harmonized System), serta Peraturan BPJPH No. 3/2023 tentang akreditasi Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN). Di sinilah letak tantangan yang paling dirasakan eksportir AS.
Amerika Serikat mengkritik prosedur akreditasi tersebut karena dinilai kompleks, berulang, dan membebani lembaga asing yang ingin mendapat pengakuan untuk menerbitkan sertifikasi halal. Selain memakan waktu, proses ini dinilai meningkatkan biaya ekspor dan memperlambat masuknya produk mereka ke Indonesia.
Salah satu tahapan krusial dalam proses pengakuan ini adalah penandatanganan Perjanjian Pengakuan Bersama (Mutual Recognition Agreement/MRA) antara LHLN dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Tanpa MRA, sertifikasi yang diterbitkan di luar negeri tidak akan berlaku di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan tahapan kewajiban sertifikasi halal dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021. Tahapan ini diperbarui melalui PP No. 42 Tahun 2024 yang memperpanjang batas waktu penerapan sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman impor hingga 17 Oktober 2026.
Setelah itu, kewajiban akan meluas ke berbagai produk lain seperti kosmetik, suplemen, alat kesehatan kelas A hingga D, hingga obat-obatan. Periode transisi yang panjang ini dimaksudkan agar pelaku usaha baik domestik maupun luar negeri dapat menyesuaikan diri secara bertahap.
Meski demikian, Amerika Serikat terus menyuarakan keprihatinannya dalam forum-forum perdagangan internasional seperti Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO. Mereka berharap agar Pemerintah Indonesia lebih proaktif dalam menyampaikan perubahan regulasi dan membuka ruang dialog dengan negara mitra dagang.
Bagi Indonesia, sertifikasi halal adalah bagian penting dalam perlindungan konsumen Muslim yang menjadi mayoritas penduduk. Namun di sisi lain, keterbukaan informasi dan kemudahan akses bagi pelaku usaha luar negeri tetap menjadi kunci untuk menjaga stabilitas perdagangan internasional dan membangun kepercayaan global. (AL)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook