Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SHAFAA ROSA NABIILAH AZZAHRA

Yogyakarta : Perspektif Imajiner dan Filosofi

Eduaksi | Tuesday, 16 May 2023, 21:41 WIB
Sumber : dokumentasi pribadi

Sistem kebudayaan yang berada di Indonesia dapat dipandang melalui berbagai perspektif. Manusia yang bersifat normatif menganggap bahwa kebudayaan dapat tercermin apabila suatu kelompok memiliki nilai, kepercayaan, dan simbol yang dianut dengan kuat. Kebudayaan dapat ditransmisikan melalui proses alkulturasi. Proses alkulturasi merupakan cara pandang baru yang dapat membuat masyarakat memandang dunia dengan lebih luas. Pembakuan alkulturasi kebudayaan dapat dilakukan atas dasar kesepakatan sehingga kebudayaan dapat memberi peluang terciptanya pilihan hidup yang berjalan dengan sistematik yang diwujudkan dengan peningkatan gaya hidup, gaya seni dan bangunan yang lebih maju.

Menurut Soerjono Soekanto, alkulturasi adalah interaksi yang terjadi jika salah satu kelompok masyarakat dengan budaya yang dipegangnya, berhadapan dengan budaya asing. Dalam arti lain, alkulturasi merupakan percampuran dua kebudayaan atau lebih yang masuk dan bersifat selektif. Artinya sebagian kebudayaan asing dapat diserap dan diterima, dan sebagian berusaha menolak masuknya kebudayaan tersebut.

Yogyakarta sebagai wilayah yang kaya akan seni tidak luput dari adanya alkulturasi kebudayaan yang sedang terjadi. Alkulturasi tidak menyebabkan budaya jawa menjadi hilang atau punah jika masyarakat tetap menjaga kelestarian kebudayaan yang bersifat konkret. Langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kebudayaan dapat diberikan melalui sarana pendidikan formal ataupun non-formal. Masyarakat dapat mengembangkan aspek sarasehan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan berpikir tentang kebudayaan jawa, selain itu pengembangan pusat studi dan kajian kebudayaan jawa patut dipertimbangkan, dilakukan agar masyarakat dapat memiliki sarana untuk bertukar informasi melalui interaksi yang dinamis.

Mengenal sumbu imajiner dan sumbu filosofi Kraton Yogyakarta berawal dari Perjanjian Perdamaian (Traktat Reconciliatie) yang disetujui dan ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh yang mewakili VOC. Perjanjian tersebut dilakkan di Desa Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota kerajaan dilihat dari kepercayaan Pangeran Mangkubumi yang berpegang teguh dengan nilai historis dan filosofis yang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya sebagai raja.

Secara topografi, kota Yogyakarta terletak diantara enam sungai yang berhimpit simetris. Pada ring ke-1 terdiri dari Sungai Code dan Winanga, ring ke-2 terdiri dari Sungai Gajahwong dan Kali Bedog, ring ke-3 terdiri dari Sungai Opak dan Sungai Progo. Bagian selatan kota berdiri Gunung Merapi yang masih aktif dn di sebelah kanan terdapat Laut Selatan. Menurut kitab Hindu, pemilihan lokasi yang ditentukan oleh Pangeran Mangkubumi merujuk kepada wilayah yang memperlihatkan kekuasaan dewa yang menempati wilayah tersebut sehingga sebagian besar dianggap sebagai tempat suci.tempat yang dianggap suci merupakan wilayah dekat dengan kegiatan vulkanik, tepian sungai atau danau yang dianalogikan sebagai tempat bertemunya dua sungai. Menurut mitologi Hindu, lokasi yang terdapat di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang diapit oleh Sungai Opak dan Sungai Progo merupakan representasi tempat bersemayamnya para dewa. Oleh karena lokasi tersebut, maka Pangeran Mangkubumi menciptakan sumbu imajiner.

Sumbu Imajiner yang dicetuskan selaras dengan konsep Tri Hitta karana dan Tri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu-Tengah-Hilir serta nilai Utama-Madya-Nistha). Secara filosofis, poros imajiner yang ditetapkan oleh Raja Mangkubumi memiliki arti keselarasan dan keseimbangan yang berkesinambungan dengan Tuhan YME, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam yang sesuai dengan prinsip lima anasir yang ada di alam, yaitu api (dahana), tanah (bantala), air (tirta), angin (maruta), dan akasa (ether). Folosofi yang berkarakter Hindu kemudian diubah menjadi konsep “Hamemayu Hayuning Buwana” dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”.

Panggung Krapyak, Tugu Golong-Giling, dan Kraton terletak satu garis lurus jika dilihat dari perspektif sumbu filosofis. Tugu Golong-Giling dan Kraton melambangkan kesuburan dan merupakan representasi dari Lingga dan Yoni. Di sisi lain, Tugu Golong-Giling mencerminkan kekuasaan yang dimiliki oleh Raja Mangkubumi yang dituangkan dalam kehidupannya. Tugu Golong-Giling merupakan titik pandang utama bagi Raja untuk melaksanakan meditasi. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang disembah oleh Raja. Tekad Raja untuk membangun Tugu Golong-Giling agar masyarakat dapat hidup secara sejahtera. Panggung Krapyak difilosofikan menuju ke arah utara yang menggambarkan perjalanan manusia ketika lahir yang berasal dari rahim ibu yang akan beranjak dewasa lalu menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi). Keberadaan Kampung Mijen merepresentasikan keberadaan benih manusia yang akan tumbuh menjadi besar. Daun sinom yang ,asih muda melambangkan seorang wanita muda (anom) yang dapat menarik hati (nengsemaken) yang nantinya akan disanjung dengan pohon tanjung. Alun-alun selatan merepresentasikan bahwa manusia yang sudah berkembang menjadi dewasa dan memiliki jiwwa pemberani yang akan meminang seorang gadis. Hal tersebut dilambangkan dengan keberadaan pohon kweni dan pohon pakel. Pagar ringin kurung alun-alun dimaknai sebagai jangkauan lawata muda yang masih panjang.

Pada Sitihinggil bagian selatan terdapat pohon pelem cempora berbunga putih, merepresentasikan bercampurnya benih perempuan dan laki-laki. Pada halaman Kamandhungan menggambarkan benih dalam kandungan ibu. Ditandai adannya pohon pelem yang bermakna gelem (kemauan bersama), lalu ditandai dengan pohon jambu yang memiliki kana kaderesan sihing sasama yaitu bermakna bersatunya benih dengan keinginan bersama yang dilandsi dengan kasih saying kedua mempelai. Regol Gadhung menggambarkan tentang bayi yang terlahir dan tumbuh menjadi manusia dewasa. Tugu Golong-Giling merupakan representasi manusia yang nantinya akan menghadap Tuhan Yang Maha Esa (paraning dumadi). Komplek Kepatihan dan Pasar Beringharja melambangkan godaan duniawi yang ditunjukkan dengan adanya pohon asem. Ujung jalan Pangurakan sebelah selatan terdapat dua pohon beringin yang bernama Wok dan Jenggot, yang dapat drepresentasikan sebagai ilmu merupakan bekal terpenting bagi manusia. Dasar alun-alun berpasir. Jika pada siang hari menjadi panas, dan jika pada malam hari dingin. Hal tersebut menggambarkan di dunia ini hanya ada dua hal yang saling berlawanan.

Shafaa Rosa N.A (413221010)

Fakultas Vokasi / Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image