Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nabila Annuria

Mencegah Perilaku Bunuh Diri dan Kondisi RSJ

Info Terkini | 2023-05-10 12:08:35

Kasus bunuh diri semakin sering terjadi di negeri ini. Kasus itu acap kali juga melibatkan seluruh keluarga. Kasus tragis diatas merupakan indikasi betapa mudahnya masyarakat mengambil tindakan fatal. Ada kerentanan gangguan kejiwaan warga bangsa yakni depresi atau stres yang akut. Ironisnya kerentanan tersebut belum tertangani dengan baik.

Bunuh diri masih menjadi masalah senyap di Indonesia. Insiden bunuh diri kemungkinan besar jauh lebih tinggi dari data resmi. Stigma seputar masalah kesehatan jiwa dan kelemahan sistem pendataan dianggap menjadi penyebab utamanya. Perlu meningkatkan kepedulian terhadap gangguan bipolar di negeri ini terkait angka bunuh diri yang tergolong tinggi. Yakni sudah sebanding dengan Jepang. Pada peringkat angka bunuh diri seluruh dunia, Indonesia dan Jepang menempati posisi yang sama di urutan kesembilan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Selama lima tahun terakhir mencapai 1,8 per 100.000 jiwa atau sekitar 5.000 orang per tahun. Kemudian meningkat jadi 4,3 per 100.000 jiwa atau sekitar 10.000 orang per tahun pada saat ini.

Bunuh diri menjadi penyebab utama kematian secara global nomor lima di antara mereka yang berusia 30-49 tahun. Dari survei WHO disimpulkan bahwa negara-negara yang berpenghasilan tinggi, justru mempunyai tingkat bunuh diri lebih tinggi yaitu 12,7 per 100.000 jiwa. Adapun tingkat bunuh diri di negara berpenghasilan rendah atau menengah sebanyak 11,2 per 100.000 jiwa.

Berdasarkan peristiwa yang terjadi di berbagai daerah dan data angka bunuh diri tersebut, semua elemen bangsa mestinya berupaya menekannya dan memberikan jalan keluar bagi mereka yang tengah menghadapi situasi untuk mengakhiri hidupnya. Para ulama dan rohaniawan dan entitas keluarga sudah saatnya memberi perhatian serius terhadap masalah yang mengerikan ini.

Ada baiknya menyimak premis pakar sosiologi dari Perancis, Emil Durkheim, yang teorinya mengkaji tentang modus bunuh diri. Teori tersebut hingga kini masih relevan. Setiap individu hidup dalam kondisi masyarakat yang oleh Durkheim dinamakan anomik. Yakni suatu masyarakat yang perubahannya terjadi secara cepat sehingga menyebabkan kegelisahan akut dari anggota masyarakatnya. Perubahan itu utamanya memberikan pukulan yang hebat kepada kaum muda yang bisa dilihat pada tingginya kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan pemuda.

Meningkatnya modus bunuh diri yang disertai dengan pembunuhan anggota keluarga yang lain merupakan indikasi semakin seriusnya kondisi gangguan jiwa terhadap warga bangsa ini. Akar penyebab bunuh diri keluarga tidak semata-mata karena himpitan ekonomi. Namun, sudah menyangkut betapa rapuhnya kesehatan jiwa keluarga di negeri ini.

Potensi gangguan kejiwaan yang mengancam kehidupan masyarakat semakin besar. Dilain pihak, layanan psikiatri yang disajikan oleh pemerintah daerah hingga saat ini belum memadai. Hal ini terlihat dengan kondisi beberapa Rumah Sakit Jiwa ( RSJ ) yang kondisinya semakin terpuruk karena tidak kuat menerima beban pasien.

Pada umumnya keberadaan RSJ terutama yang dikelola oleh pemerintah daerah kondisinya masih menyedihkan karena kekurangan berbagai fasilitas, SDM serta biaya operasional. Kurangnya jumlah psikiater, dokter dan tenaga perawat kejiwaan semakin memperparah keadaan.

Masyarakat semakin temperamental, mudah cemas, pemurung serta kehilangan motivasi. Kondisi itu telah menstimulir berbagai gangguan kejiwaan. Kondisi psikososial itu melahirkan bentuk-bentuk gangguan psikis, seperti stress, depresi, trauma, dan gangguan psikosomatik lainnya. Oleh sebab itu pelayanan psikiatri di rumah sakit seharusnya dalam kondisi terbaik namun tetap ekonomis dari sisi kantong masyarakat. Mestinya pemerintah segera membenahi dan menambah kapasitas RSJ.

Fenomena pecahnya gelembung depresi di masyarakat tak dapat dielakkan. Jumlah orang yang putus asa hingga menyakiti diri sendiri sampai bunuh diri mempunyai potensi kian besar. Belum lagi implikasi negatif yang bentuknya tak kentara yakni merosotnya produktivitas kerja dan kekuatan mental masyarakat yang kian rapuh.

Jumlah RSJ kurang memadai sebagai pusat rujukan spesialistik untuk kasus kesehatan jiwa yang saat ini tengah membludak. Sedangkan klinik kesehatan jiwa yang dikelola oleh pihak swasta selain sangat elitis juga sangat mahal tarifnya. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain dari pemerintah kecuali mengkonversi fasilitas serta SDM dari rumah sakit umum dan Puskesmas untuk dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan jiwa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image