Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Bergerak Bersama, Semarakkan Merdeka Belajar

Pendidikan dan Literasi | 2023-05-03 22:17:23

Selasa, 2 Mei 2023 lalu, Indonesia memperingati hari pendidikan nasional. Tahun ini mengambil tema,“Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar.” Dan sudah bisa dipastikan, setiap siswa diminta untuk mengenakan pakaian adat. Setiap tahun tidak berubah, perintah yang sebetulnya tidak mengena pada perubahan kepribadian siswa. Buktinya, mereka menyikapi dengan kalimat "merepotkan" sebab harus sewa, harus ke salon dan lain sebagainya. Anehnya lagi, disebut baju adat tapi hanya digunakan pada hari-hari tertentu saja, bukankah namanya adat semestinya dipakai setiap saat? Dan bagaimana dengan baju adat di daerah lain, semisal Kalimantan atau Papua?

Padahal sejatinya adat bagi seorang Muslimah adalah pakaian taatnya. Sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam Qs an-Nur:31 dan al-Ahzab :59. Mengenakannya wajib setiap saat, terutama di ranah umum yang pasti akan bertemu dan berinteraksi dengan non mahram. Dari pihak sekolah diberi clue siswa atas batik bawah celana panjang berwarna gelap, siswi mengenakan kebaya bawahan batik, jika tidak kebaya maka bawahannya saja yang wajib batik. Sekolah semestinya menjadi sebenar-benarnya lembaga pendidikan yang menanamkan pendidikan kepribadian. Bukan menjadi wadah pamer aurat dan tabaruj.

Kepribadian disini yang dimaksud adalah Islam, dimana ketakwaan individu yang menjadi fokusnya. Bisa jadi model kebaya bisa dimodifikasi sesuai syariat yaitu yang terusan, tidak potongan atas bawah, tidak membalut badan dan bahan tidak transparan. Namun, sejatinya inilah celah masuknya pemikiran asing, salah satunya moderasi beragama. Sekaligus pembodohan generasi dengan jargon melestarikan kearifan lokal. Sebab, pemakaian baju adat ini momen tahunan, tidak banyak yang secara khusus menyediakan waktu untuk memodifikasi. Selain ukuran badan seseorang akan berubah, juga butuh biaya ekstra.

Tahapan ini memang riskan, terutama bagi orangtua dan siswa yang bersekolah bukan di sekolah Islam. Aturan berpakaian pun umum, padahal ada pendidikan agama Islam. Meski hanya seminggu sekali selama dua jam, tetap saja materi pembelajarannya tak bisa mengampu ketaatan seorang anak kepada RabbNya.

Satu sisi orangtua ingin anaknya mengenal agama secara keseluruhan, di sisi lain, peraturan sekolah sangat bebas dari nilai agama. Dan sebenarnya ada PR besar bagi kita untuk lebih teliti melihat persoalan di dunia pendidikan kita hari ini. Benarkah tema besar hari pendidikan nasional sudah sesuai dengan target pendidikan nasional dan solusi bagi persoalan generasi?

Jika diteliti lebih dalam lagi, bukankah pakaian adat suku Jawa adalah kemben sebagaimana yang dipakai para abdi dalam di keraton Yogyakarta dan Solo? Sedangkan kebaya sendiri masih diragukan dari mana asalnya, sebab ada beberapa pendapat yaitu dari Arab, India juga Cina. Kesannya lebih kepada memaksakan diri, hasilnya justru semakin menjauhkan solusi dari persoalan mendasar generasi, yaitu sekulerisme dan kapitalisasi pendidikan.

Beberapa sumber menyebutkan tentang asal muasal kebaya, Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata kebaya memiliki arti sebagai jenis pakaian (atasan/blus) pertama yang dipakai perempuan Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi.

Versi lain, kata kebaya diambil dari cambay, yakni sebuah daerah di India. Kemudian, ada juga yang berpendapat kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa Kekasiran Ming di China. Budaya mengenakan kebaya ini ditularkan setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.

Yang jelas dalam perkembangannya , kebaya menyebar hampir ke seluruh negara ASEAN, karena dianggap melambangkan spirit feminisme. Hingga ada empat negara yang mendaftarkan kebaya ke UNESCO seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand. Indonesia sebenarnya juga ikut "memperjuangkan" kebaya menjadi budaya nasional, namun tidak ikut dalam rombongan empat negara tersebut untuk mendaftarkan kebaya ke UNESCO (solopos.com, 28/11/22).

Kebaya pada akhirnya menjadi alat pendidikan kepada siswa tentang nasionalisme. Sebuah ikatan yang sangat rapuh karena sifatnya insidental, temporer dan benar-benar tidak layak dijadikan sebagai ikatan menuju perubahan hakiki atau kebangkitan berpikir benar. Dimana ikatan ini hanya mengedepankan batasan negara (nation state) sebagai bukti persatuan dan kesatuan. Sedang ide nation state sendiri adalah buatan kaum penjajah, yaitu saat ditandatanganinya sebuah perjanjian yaitu Skyes Picot.

Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani pada tahun 1916 adalah perjanjian rahasia antar pemerintah Britania Raya dengan pemerintahan Prancis yang diikuti dan disetujui oleh Kerajaan Rusia, di mana dalam perjanjian ini ketiga negara mendiskusikan pengaruh dan kendali di Asia Barat setelah jatuhnya Kerajaan Utsmaniyah pada Perang Dunia I yang telah diprediksi sebelumnya. Perjanjian ini secara efektif membelah daerah-daerah Arab dibawah Kerajaan Otoman di luar Jazirah Arab sehingga di masa depan dapat ditentukan di mana kendali atau pengaruh Inggris atau Prancis akan berlaku. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 16 Mei 1916[3] dan diberi nama sesuai dengan diplomat Prancis François Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes (Wikipedia).

Di saat kejayaan Islam meredup dan junnah kaum Muslimin dihancurkan, terpecah belah dalam banyak negara, banyak bendera, banyak tanggal "kemerdekaan" , banyak pimpinan, banyak pemerintahan. Hal ini hanya untuk semakin kuat mencengkeram negeri-negeri Muslim, melemahkan kaum Muslim agar tidak bersatu lagi dan terakhir agar Islam tak lagi menjadi tujuan perjuangan generasi Muslim berikutnya. Wajar jika kemudian nasionalisme menjadi standar perjuangan dan pendidikan.

Pendidikan di Indonesia juga tak lepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara yang dinobatkan sebagai bapak pendidikan nasional. Beberapa tulisan Ki Hadjar Dewantara sebagian besar adalah bentuk kritiknya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu yang terkenal yaitu pendidikan yang tidak merata dan hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya dan keturunan Belanda saja. Namun sebenarnya selain ketidakmerataan akses pendidikan, Ki Hadjar juga mengkritisi kurikulum pendidikan yang diambil dari Belanda dengan hanya fokus pada intelektualitas, individual dan materialistis, dan ketiga adalah penilaian dan penghargaan yang hanya berfokus pada intelektualitas. Dimana murid-murid hanya dididik untuk tahu banyak hal tapi sebatas untuk memperoleh dunia.

Kemudian beliau terinspirasi untuk menggabungkan antara pendidikan Maria Montessori dari Italia dan Rabindranath Tagore dari India. Yang kemudian beliau terapkan ketika mendirikan Taman Siswa yang ada di Yogyakarta. Semboyan dari pria kelahiran 26 April 1959 yang hingga saat ini masih tersohor di dunia pendidikan yakni “Ing ngarso sung Tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani”. Artinya seorang guru ketika di depan memberi contoh, di tengah membangun kemauan, dan ketika di belakang memberi semangat.

Dengan kurikulum merdeka hari ini sangat tidak relevan, sebab selain guru dibebani dengan banyak tugas juga diminta siswa lebih aktif. Dan lebih mendasar lagi, kurikulum pendidikan di negeri ini sangat dipengaruhi oleh kapitalisme yang asasnya sekuler. Tak menghasilkan sosok yang berani membela agamanya saat banyak bermunculan pelecehan. Bahkan lebih takut tak mendapatkan harta daripada memiliki predikat sebagai manusia bertakwa.

Mirip sekali dengan kurikulum Belanda yang pada masa itu dikritik oleh Ki Hadjar, namun untuk kemudian menerapkan gaya pendidikan Ki Hadjar juga kurang relevan, sebab tidak berasal dari pemikiran yang mendasar dan jelas, melainkan hanya gabungan dari gaya pendidikan barat dan timur. Yang asasnya juga sama-sama sekuler. Memisahkan agama dari kehidupan.

Lantas, bagaimana seharusnya? Bukankah tidak cukup dengan hanya memberi pendidikan tentang baju adat, sebab masalah generasi hari ini sudah sangat mengkhawatirkan. Terutama kerusakan moral, pendidikan hari ini hanya menghasilkan pemuda pemudi yang pandai secara teknologi namun sangat liberal dan hampir-hampir yang Muslim tak mengenal agamanya. Individualis, hedonis dan pragmatis. Agama yang semestinya bisa mengendalikan dianggap tak sesuai zaman. Agama hanya ada di ranah pribadi, negara pun tak menekankan penjagaan akidah umat.

Sukses hanya sebatas kacamata materi, populer dan memiliki jabatan. Padahal, semua itu dilatar belakangi sikap tidak jujur, korupsi, suap, kolusi, nepotisme bahkan tak segan meminta tolong asing yang jelas-jelas dilarang dalam agama.

Maka, tak bisa tidak, jika pendidikan bertujuan membentuk kepribadian sempurn dan tangguh. Adalah mengembalikan pada tujuan awal manusia diciptakan di dunia ini, yaitu menjadi Khalifah, pengatur bumi dan seisinya. Dan itu hanya bisa diwujudkan jika manusia sadar bahwa ia adalah hamba Allah, misi hidupnya tak hanya berhenti di dunia melainkan di akhirat, sebab masih ada hari dimana semua perbuatan dipertanggungjawabkan. Lantas, bagaimana bisa mewujudkan itu semua jika landasan pendidikannya tidak berasas Islam?

Sejatinya Islam bukan saja pengatur ibadah seseorang, namun ia adalah sistem hidup. Yang jika berpegang teguh pada apa yang diajarkan Islam, yaitu Wahyu Allah SWT dan hadis Rasulullah maka manusia akan selamat dunia akhirat. Mengelola bumi dengan bijak dan menjadi hamba Allah yang konsisten dimana pun kapan pun. Wallahu a'lam bish showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image