Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Albert Rafael

Aborsi dan Pendidikan Seks? Tabu Banget Loh

Eduaksi | Tuesday, 02 May 2023, 11:23 WIB
Sumber: Bing Image Creator

Aborsi? TBL TBL TBL (Tabu Banget Loh!). Bukankah kita seringkali menutup pembicaraan yang berkaitan dengan hal ini karena mayoritas masyarakat masih menganggap tabu. Stigma terkait aborsi masih erat dengan seks bebas, kehamilan dini, ketidaksiapan finansial, rendahnya pengetahuan, tidak memiliki iman yang teguh hingga seorang wanita yang tak punya akal sehat. Sayangnya meskipun kata maupun perilaku aborsi ditabukan, nyatanya aborsi di Indonesia terjadi hingga sebanyak 2,5 juta kasus per tahun.

Bukankah ini menjadi sebuah angka yang sangat mengejutkan? Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat—dengan budayanya yang jauh lebih liberal dan pelegalan aborsi dengan beberapa syarat tertentu—tindak aborsi terjadi sekitar 620 ribu kasus per tahun (CDC Survey, 2018).

Berdasarkan beberapa kajian, di Indonesia terjadi 43 kasus aborsi per 100 kelahiran hidup. Padahal, bukankah kita sedang tinggal di sebuah negara dengan tingkat religiositas tertinggi di dunia (The Global God Divide, 2020)? Bukankah mayoritas dari masyarakat kita memandang bahwa nyawa dari seorang manusia—termasuk janin—sangatlah dihargai karena ialah pemberian Tuhan? Lalu mengapa kasus ‘pembunuhan janin’ dapat dikatakan marak terjadi di negara yang seperti ini?

Survei yang dilakukan oleh The Guttmacher Institure pada tahunn 2017 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 96,50% praktik aborsi dilakukan untuk menghindari stigma negatif masyarakat serta permasalahan yang berkaitan dengan perekonomian, hanya sekitar 2% yang berkaitan dengan alasan medis, serta 0,39% yang berkaitan dengan korban pemerkosaan. Dari hal ini kita dapat berkaca bahwa alasan utama tindak aborsi adalah menghindari stigma negatif dari masyarakat terkait dengan kehamilan yang tidak direncanakan. Kini, kehamilan yang tidak direncanakan banyak terjadi pada remaja. Salah satunya dapat terlihat data di kota Ponorogo pada tahun 2021 dimana 266 remaja mengajukan pernikahan dini karena terjadi kehamilan pra-nikah.

Masyarakat kita mungkin seringkali menutup mata dan telinga terhadap pembahasan seks itu sendiri, menganggap pembahasan semacam ini adalah hal yang berdosa dan tabu untuk dibicarakan. Namun, ketika terjadi kehamilan di usia dini yang tidak direncanakan, mereka justru menjadi kelompok yang paling keras dalam mengujarkan berbagai hujatan kejam. Umumnya, kehamilan dini terjadi karena kurangnya pengetahuan terkait permasalah seks dan seksualitas remaja, ketidaktahuan tindakan seks yang aman dengan alat kontrasepsi yang tersedia.

Dari hal di atas, bukankah hal semacam ini bisa diminimalisir dengan melakukan sosialisasi penggunaan kontrasepsi ketimbang menghujat dan mengancam pelaku maupun perilaku seks itu sendiri? Mayoritas dari masyarakat kita terlalu fokus mengecam dan berusaha menutup diri, namun melupakan bahwa pada hakikatnya seks adalah kebutuhan manusia dan hakikat sebagai makhluk hidup. Pada akhirnya, euforia semacam ini membutakan kita dan justru menyukseskan tindakan seks bawah tanah yang tak kasat mata namun berdampak luar biasa, layaknya tindak aborsi yang kian menjamur.

Selain itu, pembekalan pendidikan seks pada anak dianggap kurang penting dan cenderung diabaikan. Di era digitalisasi saat ini, dimana berbagai informasi dapat diakses secara instan, sebagian remaja akan mulai mengeksplor melalui berbagai sumber yang kurang bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Lalu, pornografi yang dikekang peredarannya dari dunia maya justru menjadi kenikmatan dan dorongan untuk melakukan hubungan seks bagi remaja dibawah batas usia seharusnya. Pornografi tanpa pendidikan seks yang memadai, akan membawa remaja ke dalam perilaku seks yang tidak aman, yang akan memicu berbagai hal yang tidak diinginkan, seperti penularan penyakit seksual, kehamilan pra-nikah, hingga mengarah pada tingginya tingkat aborsi.

Kemudian, apa solusinya? Bukankah sudah tertebak dari beberapa paragraf di atas? Jawabannya adalah keterbukaan dan kesadaran masyarakat kita untuk berhenti menabukan pembahasan seks itu sendiri, memulai perbincangan dan edukasi seks kepada anak-anak dan remaja sejak dini. Memunculkan kesadaran dalam penggunaan kontrasepsi dan melakukan hubungan seks yang aman jauh lebih penting ketimbang menanamkan paradigma dosa dan neraka, hal yang suci dan tabu. Generasi muda jauh lebih kritis dalam menghadapi segala hal, jawaban yang cenderung subjektif akan dipertanyakan lebih jauh, termasuk alasan-alasan klasik perihal edukasi seksualitas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image