Korupsi, Mafia, Budaya Buruk di Indonesia Sudah Mendarah Daging?
Pendidikan dan Literasi | 2025-01-07 08:17:16Korupsi di Indonesia, seakan sudah bukan hal tabu lagi untuk diucapkan. Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baik di skala nasional hingga ke daerah. Kasus yang muncul dari korupsi seolah terus berganti, dari kasus satu ke kasus berikutnya, bahkan dengan nominal yang tidak kecil lagi, mulai dari puluhan juta, dan baru–baru ini terdapat terdakwa kasus korupsi yang nilai kerugiannya jika total mencapai angka 300 Triliun.
Selain korupsi, kasus mafia juga tidak sedikit dibicarakan di negeri ini, kasus yang terjadi juga tak kalah banyaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, ada 6,4 juta hektar lahan yang memiliki sertifikat tanah, tetapi tidak tertera di peta sehingga berpotensi tumpeng tindih.
Dari korupsi dan mafia, keduanya merupakan tindak kriminal yang terjadi secara terus-menerus secara berkala, seolah tiada habisnya untuk diberantas di negeri ini. Sehingga muncullah tanda tanya besar, mengapa korupsi dan mafia begitu marak, bahkan sebenarnya bukan hanya itu, kasus kekerasan juga turut mewarnai kasus-kasus yang ada. Seolah ketiga perilaku buruk tersebut sudah membudaya dan mandarah daging di Indonesia.
Peran serta pendidikan dalam kasus-kasus ini tentunya tidak dapat kita kesampingkan begitu saja, mengingat pelaku tindak kriminal tidak sedikit justru berasal dari kaum berpendidikan tinggi. Lantas sebenarnya apa penyebab budaya buruk di Indonesia ini?
Terdapat penelitian menarik dari seorang psikolog berkebangsaan Amerika Serikat, Mc Clelland, yang meneliti bagaimana pengaruh dongeng anak-anak terhadap kemajuan suatu bangsa. Hasilnya dari sekian negara maju yang diteliti, mereka yang konsisten dan terus mengalami kemajuan, seperti Inggris memiliki dongeng atau cerita anak yang mengandung motivasi dan memasukkan nilai-nilai ke dalamnya, yang disebut oleh mereka dengan istilah need for Achievement (nAch).
Jika diteliti lagi, khususnya di Indonesia dongeng yang berkembang justru hanya sebagai angin lalu atau bisa disebut tanpa nilai yang bisa menjadi bekal untuk masa depannya, parahnya secara tidak sadar mengandung nilai yang seharusnya dihindari. Seperti kisah timun mas, yang bercerita tentang janji seorang ibu kepada raksasa untuk mengembalikan anaknya setelah remaja. Namun ketika waktunya tiba ia malah enggan mengembalikannya, dan bersikap seolah raksasa ingin merampas haknya.
Dongeng-dongeng yang berkembang seharusnya lebih menekankan nilai moral, mengingat kasus saat ini bermuara pada kasus moral dan etika. Terlebih dongeng itu dikonsumsi oleh para generasi penerus bangsa, yang seharusnya sedari kecil sudah diajarkan dengan nilai moral dan etika yang benar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.