
Lebaran Syariat, Lebaran Hakikat
Agama | 2025-03-30 22:20:04
Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Founder Edu Sufistik
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dalam kitabnya Sirr al-Asrar, mengkritik orang-orang yang beribadah hanya pada dimensi eksoteris (syariat), namun melupakan dimensi esoteris (hakikat). Padahal, hanya dengan memadukan keduanya, kita akan sampai pada kesejatian ibadah (makrifat).
Sebagai contoh, dalam surat Al-‘Ankabut ayat 45 ditegaskan bahwa shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Ini tidak akan dicapai dengan shalat pada dimensi syariat (fiqh), melainkan harus masuk pada dimensi hakikat (tasawuf). Barulah ayat tersebut akan “bunyi” dalam kehidupan.
Oleh karena itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menasehati, setelah benar pada dimensi syariat dalam beribadah, mari naik pada dimensi hakikat agar sampai pada penghambaan sejati kepada Allah. Dalam Sirr al-Asrar, Syaikh Abdul Qadir membahas shalat, zakat, puasa, dan haji dalam perspektif syariat dan hakikat.
Meminjam metodologi keilmuan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tersebut, pada tulisan ini saya ingin membahas lebaran syariat dan lebaran hakikat. Semoga kita tidak hanya berlebaran secara syariat, namun juga laik berlebaran secara hakikat.
Idul fitri, dalam gramatika Bahasa Arab, berasal dari dua kata, yaitu عيدdan فطر. عيد berasal dari kata عاد – يعود – عودا – عيدا yang berarti kembali. Sementara فطر berasal dari kata فطر – يفطر – فطرا - فطرة yang berarti kejadian asal penciptaan manusia. Derivasi dari فطر adalah أفطر - يفطر – إفطارا yang berarti berbuka puasa (makan dan minum).
Dari uraian makna bahasa tersebut, maka idul fitri memiliki dua dimensi makna; pertama, kembali berbuka (makan dan minum) setelah sebulan berpuasa. Inilah makna idul fitri pada dimensi syariat (fiqh). Pada dimensi ini, setiap muslim sudah pasti merayakan idul fitri setelah berpuasa sebulan selama Ramadhan.
Kedua, kembali pada kejadian asal penciptaan manusia. Inilah makna idul fitri pada dimensi hakikat (tasawuf). Kejadian asal penciptaan manusia adalah bersih dan cenderung kepada Tuhannya (QS. 30: 30). Pada dimensi ini, rasanya belum tentu setiap muslim yang berpuasa laik merayakan idul fitri. Hal ini bergantung pada kualitas puasanya.
Seorang muslim yang berpuasa pada level shaum-lah (silakan rujuk tulisan penulis sebelumnya berjudul Puasa: Dari Shiyam Menuju Shaum) yang laik dan pantas merayakan idul fitri pada dimensi hakikat. Jiwanya telah terbersihkan melalui riyadhah spiritual puasa, sehingga kembali seperti pertama kali penciptaannya. Bersih dari dosa dan cenderung selalu dekat kepada Tuhannya.
Mari kita merefleksi diri kita masing-masing. Apakah puasa Ramadhan yang baru saja kita selesaikan berada pada level shaum ataukah masih shiyam? Jika pada Ramadhan tahun ini kita belum maksimal menjadikan puasa kita berada dilevel shaum, semoga Allah berkenan menyampaikan usia kita pada Ramadhan tahun yang akan datang.
Semoga Allah juga melimpahkan hidayah dan taufik-Nya bagi kita untuk mampu berpuasa pada level shaum. Puasa yang insya Allah akan mengantarkan kita laik berlebaran secara syariat dan hakikat. Berlebaran yang tidak hanya berbuka makan dan minum kembali, namun lebih dalam lagi kembali bersih dari dosa dan cenderung selalu dekat kepada Allah seperti asal mula penciptaan diri kita.
Wallaahu a’lam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook