Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alvin Halashon Sianipar

Paradoks Digitalisasi Kampus: Implikasi dan Pemaknaan yang Semestinya

Pendidikan dan Literasi | Monday, 01 May 2023, 14:56 WIB
Sumber: OpenLearn

Sebagaimana didefinisikan dalam buku The Stanford Encyclopedia of Philosophy pada bagian “Paradoxes and Contemporary Logic”, menurut Cantini (2007), paradoks merupakan pemaknaan yang bersifat kontradiktif atau berlawanan dengan pendapat umum yang orang lain yakini walaupun terdapat kebenaran di dalamnya. Kondisi ini merupakan sesuatu yang sering kali terjadi di keseharian kita sebagai makhluk sosial. Banyak orang berarti juga banyak kepala dengan berbagai macam ide atau gagasan. Dari sana, perbedaan interpretasi akan lebih mudah muncul. Terlebih lagi, ketika fenomena yang sedang terangkat adalah sesuatu hal yang tabu di masyarakat Indonesia yang multikultural. Mulai dari mengidentifikasi letak permasalahan sampai dengan penyelesaian, serta bentuk reaksi lainnya akan sangat beragam sehingga mudah untuk bertentangan. Adapun contoh fenomena yang membawa paradoks pendapat di sekitar kita dan berimplikasi pada evaluasi bidang pendidikan. Misalnya, digitalisasi kampus di Indonesia.

Bersamaan dengan perkembangan teknologi dan informasi, kemudahan yang muncul pada segala macam bidang semakin dapat dirasakan. Hal ini dapat terjadi karena dorongan inovasi orang-orang hebat di bidang atau latar keilmuannya masing-masing. Digitalisasi kampus di era saat ini adalah salah satu contoh paradoks di tengah kemajuan IPTEK. Program digitalisasi yang terselenggara diharapkan dapat mengasah keterampilan dan keahlian seluruh civitas academica kampus agar tujuan dari pemenuhan sarana dapat tercapai (SEVIMA 2022). Tak hanya itu, digitalisasi kampus juga dimaksudkan untuk menjawab tantangan perkembangan berkelanjutan, yaitu sustainable development goals (SDGs) sebagai standar untuk mengukur sumber daya manusia dalam mengakhiri permasalahan, seperti kemiskinan dan kesenjangan, serta kerusakan lingkungan (Falah 2021). Namun, dalam mewujudkan itu semua, terdapat pertentangan pendapat mengenai digitalisasi kampus yang disebabkan oleh (1) Tingkat kesiapan kampus dalam menyediakan sarana dan prasarana yang belum merata; (2) Tidak semua disiplin ilmu dapat diajarkan secara daring, seperti ilmu medis yang membutuhkan pembelajaran teori dan praktik secara bersamaan; (3) Evaluasi pembelajaran dalam menjamin validitas pendidikan yang dilaksanakan secara daring (SEVIMA 2022).

Peluang yang ditawarkan oleh digitalisasi kampus membawa kemajuan terhadap teknologi informasi di bidang pendidikan, juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mengajak masyarakat dalam layanan edukasi dan partisipasi sosial. Terobosan besar ini tentu membawa konsekuensi dari revolusi teknologi informasi pada metode transfer pengetahuan antara lektor dengan mahasiswa. Meskipun demikian, kampus-kampus negeri dan swasta dalam negeri ataupun luar negeri terus berinvestasi pada bentuk transfer pengetahuan digital (Zwaan 2017). Banyak orang setuju bahwa hal ini merupakan salah satu penanda bagi pendidikan kampus untuk terus eksis dalam jangka waktu yang sangat lama. Di samping itu, tak jarang juga yang mempermasalahkan bentuk interaksi secara langsung yang hilang jika pendidikan dilakukan melalui media digital atau daring, terutama saat terjadinya peningkatan besar-besaran pengajaran secara daring akibat Covid-19, tetapi itu tidak akan menjadi ancaman bagi kampus secara fisik. Dibandingkan harus merasa terancam dengan metode pembelajaran daring, penulis berpendapat bahwa kampus seharusnya lebih merasa khawatir akan tujuan serupa kebanyakan mahasiswa dalam meraih gelar sarjana, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan industri dan karir kerja.

Pembangunan kampus digital merupakan salah satu bagian dari tahapan dalam sejarah pendidikan. Hal itu menjadikan digitalisasi kampus sebagai sebuah paradoks yang perlu diperdebatkan untuk memperbaiki apa yang kurang. Berbagai kepentingan yang terlibat memiliki tujuan untuk modernisasi sarana penunjang dari universitas agar meningkatkan tingkat manajemen dan daya saing komprehensif. Konsepsi digitalisasi kampus tidak hanya membawa perubahan konstruksi pada tingkat teknologi informasi dan kultural, tetapi berkaitan dengan banyak aspek. Besarnya cakupan aspek menjadikan perencanaan digitalisasi kampus harus diperhatikan dari waktu ke waktu dan sebagai sebuah perkembangan yang panjang, serta dimaknai sebagai momentum keterhubungan antarlintas koordinasi dari semua departemen dan instansi lain di luar kampus. Jika tidak maka akan muncul permasalahan yang juga akan berdampak pada tenaga pendidik. Contohnya, tekanan yang dialami dosen ketika pembelajaran jarak jauh. Penggunaan teknologi digital pada pengajaran di kampus merupakan masalah yang cukup signifikan bagi dosen sebagai tenaga pendidik karena metode belajar yang dimediasi oleh teknologi (Buchanan 2011). Permasalahan tersebut disebabkan keterbatasan dosen dalam menguasai teknologi dan jarak antara dosen dengan mahasiswa yang membuat dosen tidak dapat benar-benar tahu apakah mahasiswa dapat memahami materi yang sedang disampaikan atau tidak ketika kelas berlangsung. Dengan demikian, sudah menjadi tantangan bagi dosen saat ini untuk beradaptasi pada kondisi yang memaksa mereka agar mengajar secara daring. Jika permasalahan ketika proses belajar dan mengajar tidak segera diatasi, hal itu akan mengancam penilaian kualitas kampus itu sendiri.

Kampus sebagai pendidikan tinggi tidak mungkin dapat menghindar dari fenomena digitalisasi. Banyak calon mahasiswa baru yang menginginkan proses belajar yang mampu memberi mereka digital skill agar mereka dapat mempraktikkan skill tersebut pada studi kasus di dunia nyata. Menurut pakar, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan kampus agar sukses dalam melaksanakan digitalisasi, yakni (1) Melakukan pengembangan infrastruktur yang masih kokoh, tetapi dengan dana yang masih terjangkau. Digitalisasi kampus kerap ditakuti karena permasalahan mahalnya biaya. Hal itu dapat ditangani dengan menggunakan aplikasi atau perangkat digital yang sudah banyak bertebaran di internet; (2) Merancang rencana digitalisasi kampus itu sendiri. Digitalisasi kampus adalah perjuangan yang memerlukan waktu yang cukup lama maka dibutuhkannya sebuah rencana pengembangan; (3) Memastikan data telah terintegrasi dan mengikuti aturan pemerintah yang berlaku. Digitalisasi tidak dapat terlepas dari pengelolaan data. Kampus tentu akan mengelola berbagai macam data, seperti penerimaan calon mahasiswa baru, pembelajaran, serta kelulusan. Pengelolaan data merupakan hal penting yang jika disepelekan dan tidak dikelola secara baik dan benar akan mengakibatkan kebocoran data yang kemudian mengakibatkan kegagalan dalam meluluskan mahasiswanya karena tidak dapat menerbitkan nomor ijazah nasional hingga berujung pada akreditasi yang buruk; (4) Mengarahkan civitas academica kampus agar siap dalam menghadapi digitalisasi. Perubahan budaya yang baru mengharuskan kampus mempersiapkan sumber daya manusianya untuk digitalisasi (medcom.id 2022). Meskipun begitu, penulis berpendapat bahwa pelaksanaannya tidak akan semudah penjabarannya.

Penulis mendapati tiga poin utama mengenai paradoks dalam digitalisasi kampus dan pengajaran digital secara keseluruhan yang berdampak langsung bagi pelajar atau mahasiswa pada artikel The paradoxical future of digital learning oleh Warschauer (2007), yaitu (1) Apa yang perlu dipelajari oleh seorang pelajar atau mahasiswa di kelas serba digital. Pergantian era dari era cetak ke era digital akan membawa perubahan pada literasi informasi dan multimedia. Kebutuhan akan literasi informasi yang sudah ada sebelum era digital telah berkembang. Namun, tidak semua data atau informasi yang dibutuhkan tersedia secara online. Demikian juga dengan literasi multimedia. Posisi dominan multimedia pada dunia komunikasi membuat penempatan dari keahlian pada bidang itu menjadi salah satu yang tertinggi di era digital saat ini. Banyak yang berpendapat bahwa masa depan digital akan membawa kesenjangan antara mereka yang mampu membuat konten multimedia dan dengan mereka yang hanya mampu menjadi konsumen pasif pada informasi yang sudah melalui subjektivitas orang lain sebelumnya, serta hilangnya diskusi dalam literasi membaca dan menulis berbasis cetak yang lebih tradisional. Terlebih lagi, terdapat perbedaan yang sangat jelas terhadap penguasaan teknologi informasi antara pelajar atau mahasiswa yang kaya dengan yang miskin. Perbedaan tersebut timbul karena kesempatan untuk mengakses informasi yang tidak setara. Dari sana, perspektif kritis hadir dalam menempatkan penggunaan media digital sebagai simbol kekuasaan di atas ketidaksetaraan dan memandang teknologi bukan sebagai alat netral yang baik atau buruknya ditentukan oleh hasil, melainkan sebagai ajang pergesekan antarkelas sosial yang menunjukkan kesenjangan secara terang-terangan; (2) Bagaimana caranya pelajar atau mahasiswa belajar. Sering kali dianggap bahwa pembelajaran daring merupakan bentuk pembelajaran yang bersifat mandiri dikarenakan media digital yang telah memberi kesempatan bagi kaum muda untuk belajar secara mandiri. Akibatnya, muncul suatu paradoks ketika pelajar atau mahasiswa yang mengembangkan kemampuannya untuk belajar secara mandiri dan hanya melalui proses instruksi atau arahan dari tenaga pendidik atau dosen, seperti mahasiswa yang cenderung menyontek atau melakukan plagiarisme dari internet, ketidaktahuan mahasiswa dalam menganalisis atau menafsirkan sesuatu yang mereka temui di internet, dan pembelajaran jarak jauh yang memengaruhi kondisi personal pelajar atau mahasiswa. Bacaan dan instruksi yang disediakan oleh dosen secara online terbukti tidak efektif dalam mengajarkan mahasiswa. Ruang kelas yang memiliki ketergantungan pada sumber daya online diduga menawarkan sedikit manfaat. Dosen seharusnya terlibat secara aktif dalam mengajar dan membimbing mahasiswa karena jika pengajaran tidak terarah dapat membuat mahasiswa kehilangan kendali dalam memahami sesuatu; (3) Di mana seorang pelajar atau mahasiswa belajar. Mahasiswa yang belajar secara online dan mandiri tentu bisa belajar di mana saja. Khususnya dengan menggunakan media digital dalam mengakses informasi online. Bentuk pembelajaran mandiri atau di luar kampus dipandang telah membuat pendidikan formal terlihat kurang relevan. Paradoksnya ialah ketika banyaknya data yang telah menunjukkan bahwa pembelajaran di luar kampus yang semakin marak ternyata tidak membuat minat pada pendidikan formal menjadi turun. Walaupun begitu, ini dapat terjadi karena asumsi bahwa semakin tinggi gelar yang diperoleh oleh seseorang maka penghasilan yang didapat tentu akan lebih besar dari mereka yang tidak berkuliah.

Berdasarkan dari apa yang tertulis di atas, penulis menyimpulkan bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan pada fenomena digitalisasi kampus tentu memiliki respons atau reaksi yang variatif sebab dampak yang dirasakan juga berbeda. Digitalisasi kampus tentu memiliki kelemahan dalam penerapannya dan memengaruhi dua individu yang terdampak secara spesifik dan bersifat langsung, yaitu mahasiswa dan dosen. Wajar jika terdapat kekhawatiran akan gagalnya atau bahkan kekecewaan pada kesan gagal yang diberikan digitalisasi kampus. Namun, di samping itu juga banyak yang merasakan manfaat dan kemudahan dari program digitalisasi kampus. Perlu disadari bahwa fenomena ini merupakan sebuah tantangan dan masalah yang membutuhkan perbaikan. Dalam hal ini, penting untuk semua pihak dapat terlibat dalam proses modernisasi dunia pendidikan nasional. Sebuah perubahan tentu saja tidak langsung ideal atau sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebagai fasilitator utama dalam pengembangan institusi pendidikan nasional, pemerintah diharapkan dapat hadir untuk terus memantau, mengidentifikasi masalah, dan melakukan terobosan solusi yang perlu dilakukan untuk mendukung modernisasi pendidikan nasional, terutama pada program digitalisasi kampus.

Referensi:

Buchanan, Rachel, 2011. “Paradox, promise and public pedagogy: Implications of the federal government’s digital education revolution”, Australian Journal of Teacher Education, 36(2):67-78.

Cantini, Andrea, 2007. “Paradoxes and Contemporary Logic”, dalam Zalt, Edward N. (ed.), 2007. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford, CA: Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Falah, Mufti, 2021. “Digitalisasi pada Program Kampus Merdeka untuk Menjawab Tantangan SDGs 2030”, Sultan Agung Fundamental Research Journal, 2(2):87-94.

medcom.id, 2022. “Pakar Sebut Kampus yang Tak Lakukan Digitalisasi Terancam Gulung Tikar” [Daring]. Di https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/8Kyzr4EN-pakar-sebut-kampus-yang-tak-lakukan-digitalisasi-terancam-gulung-tikar [diakses 29 April 2023].

SEVIMA, 2022. “Digitalisasi Kampus; Masalah atau Tantangan?” [Daring]. Di https://sevima.com/digitalisasi-kampus-masalah-atau-tantangan/ [diakses 29 April 2023].

SEVIMA, 2022. “DIGITALISASI KAMPUS MENUJU WORLD CLASS UNIVERSITY PENTINGNYA TEKNOLOGI BAGI PERGURUAN TINGGI” [Daring]. Di https://sevima.com/digitalisasi-kampus-menuju-world-class-university-pentingnya-teknologi-bagi-perguruan-tinggi/ [diakses 29 April 2023].

Warschauer, Mark, 2007. “The paradoxical future of digital learning”, Learning Inquiry, 1(1):41-49.

Zwaan, Bert van der, 2017. Higher Education in 2040: A Global Approach. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image