Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anidah

Green Financing: Skenario Trade-off Kualitas Lingkungan Ala Kapitalis

Bisnis | Thursday, 20 Apr 2023, 07:04 WIB

Green Financing: Skenario Trade-off Kualitas Lingkungan Ala Kapitalis

Oleh: Anidah

Fenomena cuaca ekstrem kembali ramai diperbincangkan pasca cuitan peneliti BRIN di media sosial. Meski badai yang diprediksi menerjang Ibu Kota DKI Jakarta pada 28 Desember 2022 tidak terjadi, namun tak menampik cuaca ekstrem di penghujung 2022 lalu patut dikhawatirkan. Sebanyak 356 wisatawan dikabarkan terjebak di Kepulauan Karimunjawa akibat gelombang tinggi hingga 4 meter (24/12/2022). Badan meteorologi, Klimatologi, dan geofisika (BMKG) juga sempat mengeluarkan peringatan dini potensi cuaca ekstrem selama libur natal dan tahun baru di beberapa wilayah di Indonesia. Tak hanya di Indonesia, berbagai negara lain turut terdampak cuaca ekstrem berupa hujan dengan intensitas tinggi, angin kencang, hingga badai. Bencana hidrometrologi tersebut merupakan dampak nyata dari krisis iklim yang telah terjadi di dunia.

Dunia telah berkali-kali diingatkan ihwal ancaman akibat perubahan iklim & pemanasan global. Konferensi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang digelar tiap tahun, senantiasa melaporkan kondisi bumi yang sedang tidak baik-baik saja. Skenario kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius yang seharusnya baru terjadi di tahun 2100, akan mungkin dicapai dalam 2 dekade mendatang jika tidak ada aksi nyata di tingkat global (www.ipcc.ch).

Salah satu kesepakatan dunia internasional untuk mengatasi krisis iklim adalah transisi energi, yaitu menghentikan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Komitmen pendanaan proyek transisi energi resmi ditandatangani oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) di sela KTT G20 di Bali, Oktober 2022 lalu. ADB dan Indonesia yang diwakili PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) meneken nota kesepahaman untuk membantu program pensiun dini PLTU di Indonesia. Kesepakatan pendanaan lainnya adalah program pembiayaan proyek berbasis energi terbarukan seperti mobil listrik, senilai lebih dari Rp300 triliun, melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) yang merupakan kemitraan 8 negara maju di bawah kepemimpinan Amerika Serikat dan Jepang (Majalah Tempo, 20/11/22).

Kedua komitmen pembiayaan tersebut adalah salah satu bentuk pendanaan hijau atau green financing dari negara-negara maju untuk mendukung pembiayaan proyek berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan Indonesia mampu mengurangi emisi karbon dengan menyetop penggunaan batu bara dan transisi ke energi terbarukan dengan bantuan finansial negara pendonor. Namun banyak pihak khawatir karena ada risiko jebakan utang di dalamnya. Bagaimanakah penerapan green financing selama ini? Mampukah menjadi solusi terhadap Krisis iklim global yang kian mengancam?

Green Financing & Ongkos Tinggi Mitigasi Iklim

Tingginya emisi gas rumah kaca di atmosfir telah disebut para ahli berkontribusi langsung terhadap kenaikan suhu permukaan bumi hingga berdampak pada perubahan iklim. Sektor energi berupa penggunaan bahan bakar fosil pada pembangkit listrik dan panas, kilang minyak, dan proses batubara merupakan sumber emitter tertinggi di skala lokal maupun global. Laporan Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyebutkan sumber emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2019 adalah sektor energi (34%), selaras dengan data emisi sektor energi global yang dikurasi Climate Watch (31,8%) (ditjenppi.menlhk.go.id & www.climatewatchdata.org). Maka tak heran wacana penghentian energi fosil menjadi salah satu fokus yang dilakukan, disertai transisi ke energi terbarukan.

PLTU berbasis batubara masih menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Berdasarkan data Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM sebanyak 63,52% total energi pembangkit listrik nasional menggunakan batubara (CNBC Indonesia, 8/6/21). Indonesia juga menjadi negara dengan pertumbuhan PLTU tertinggi di antara negara G20. Batubara menjadi pilihan karena harganya yang murah dibanding sumber energi lain, meski merupakan energi fosil yang paling tidak ramah lingkungan. Menyetop penggunaan batubara dalam produksi listrik berarti juga menyetop operasional pembangkit listriknya.

Transisi energi fosil ke energi terbarukan nampaknya bukan hal yang mudah dan murah, meski harus segera dimulai. Setidaknya dibutuhkan biaya awal Rp69,12 triliun untuk pensiun dini PLTU hingga 2030, dan Rp422,43 triliun hingga 2050 untuk seluruh PLTU (iesr.or.id, 8/11/22). Tak heran Indonesia menjadi target green financing yang berupa hibah, investasi usaha, utang lunak/bunga rendah. Di sinilah negara-negara maju mengambil “peran” melalui kemampuan finansialnya.

Green financing merupakan konsep pendanaan dari negara, korporasi, dan Lembaga filantropi dunia yang ditujukan mendorong investasi ramah lingkungan serta berfokus kepada pembangunan berkelanjutan. Konsep baru yang mulai diimplementasikan sebagai jawaban negara-negara maju untuk membayar “dosa lingkungan” mereka. Pada Konferensi Iklim COP27 tahun 2022 di Mesir, negara maju menyepakati komitmen global sebesar USD 134 miliar yang akan disalurkan untuk program penurunan emisi di negara berkembang. Green financing dan perdagangan karbon menjadi skema andalan untuk menampung dana tersebut. Namun sesungguhnya green financing tak jauh beda dengan konsep pendanaan luar negeri lainnya, kucuran dananya tetap dibalut dengan skema pinjaman berbunga. Sehingga ada potensi risiko jeratan utang.

Green financing menyimpan risiko siasat negara maju dan Lembaga multilateral untuk mendompleng krisis iklim demi memperoleh keuntungan ekonomi. Hal tersebut terungkap pada skema pembiayaan JETP senilai Rp 300 triliun lebih. Melalui kerangka JETP, nantinya dana akan digerakan melalui dua skema, sebagian lewat pinjaman lunak dan hibah, dan sebagian lagi melalui Glasgow financial Alliance for net Zero (GFANZ), yaitu aliansi Lembaga Pembiayaan beranggotakan 122 bank asing dan Lembaga keuangan dunia yang berkomitmen mendanai transisi energi bersih melalui pinjaman murah.

Di saat negara berkembang seperti Indonesia dituntut untuk menyegerakan transisi energi bersih dengan biaya besar, green financing dihadirkan untuk menutup biaya tersebut. Pembiayaannya telah didesign tetap mengikuti skema pembiayaan utang, bahkan lebih mengkhawatirkan karena dana tersebut dikuasakan melalui aliansi Lembaga Keuangan Global yang notabene para korporat. Negara maju sebagai pendonor merasa telah tunai membayar biayanya, sembari menutup mata dari watak “profit oriented” korporasi Lembaga Keuangan tersebut. Alokasi pendanaan pun tak sebatas kepada proyek ril transisi energi bersih, namun juga mencakup sektor non-ril seperti obligasi hijau.

Business as Usual.

Krisis iklim yang terjadi saat ini sesungguhnya merupakan bukti kegagalan pembangunan industri global. Negara-negara industri yang kecanduan energi fosil dalam menopang produksinya, telah menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, dunia industri yang didominasi negara maju telah berkontribusi sekitar 1 derajat Celsius terhadap pemanasan global sejak era pra-industri. Bagi mereka produksi adalah jantung ekonomi, ketika negara berhenti berproduksi maka tidak akan ada pemasukan ekonomi. Keserakahan Kapitalisme sangat bergantung pada pertumbuhan produksi yang terus menerus.

Ketersediaan bahan baku menjadi faktor kunci agar produksi dapat berlangsung. Sejak zaman kolonialisme tujuan utama pencarian bahan baku menjadi motif utama penjajahan dan penjarahan oleh dunia barat. Ekstraksi sumber daya alam di permukaan bumi seperti kayu, maupun dari dalam perut bumi seperti minyak bumi dan mineral, dilakukan tanpa peduli kerusakan yang ditimbulkan. Padahal faktanya sumber daya yang tersedia di bumi ini terbatas. Tanpa dibarengi dengan upaya pelestarian dan pengendalian dampak lingkungan hanya akan menghasilkan kepunahan dan kerusakan ekosistem. Inilah yang terjadi. Dampak buruk yang muncul kadang tak bisa dikembalikan ke kondisi awal meski dengan kucuran dana miliaran dollar.

Terlebih lagi pola pikir Kapitalis yang memandang segala hal dari aspek ekonomi semata, hanya melahirkan solusi yang tak bisa lepas dari mindset untung-rugi. Bagi mereka fakta Krisis Iklim yang mengancam hanyalah pangsa pasar baru untuk mengucurkan utang, dan negeri berkembang dituntut menerimanya dengan dalih penyelamatan dunia. Pada akhirnya semua hanya Business as usual.

Tanggung Jawab Penyelamatan Iklim

Jika dunia maju benar-benar merasa bertanggung jawab, bantuan finansial yang diberikan kepada negara berkembang akan berupa hibah tanpa embel-embel utang. Tak berhenti sekedar mengucurkan dana, pola kerja industri mereka pun harus segera diubah. Betapa banyak industri yang dimiliki para Kapital global beroperasi di negara-negara berkembang dengan upah rendah, mencemari sungai dan tanah dengan limbah berbahaya, memonopoli pasar SDA bahan baku. Sementara keuntungannya dibawa ke negara maju untuk membiayai pembangunan yang dilabel ramah lingkungan, energi bersih, dan sebagian dikembalikan ke negara berkembang dengan skema green financing. Sungguh menggelikan.

Tanggung jawab terhadap penyelamatan iklim dunia hanya akan lahir dari pemikiran bahwa pengelolaan alam dan seisinya adalah bentuk amanah yang diberikan Sang Pencipta alam semesta kepada manusia. Amanah itu disertai pertanggungjawaban kepada-Nya. Bukan sebatas perkara mengambil manfaat dari alam, namun lupa dengan penjagaannya. Karenanya pola konsumsi manusia pun perlu diatur, karena tingkat konsumsi yang berlebihan akan mendorong tingkat produksi yang tidak terkendali. Mindset ini tidak mungkin dimiliki oleh Kapitalis.

Keberlanjutan pelestarian lingkungan merupakan tanggung jawab seluruh umat manusia di bumi. Pada tingkat individu Islam mengajarkan pola hidup sederhana, larangan menimbun harta, dan tanggung jawab menjaga alam. Pada tingkat yang lebih tinggi, negara mendukungnya dengan regulasi yang berwawasan lingkungan, tidak silau pada kepentingan ekonomi semata. Karena negara harus memastikan sumber daya ekologi yang terbatas wajib dilestarikan demi keberlanjutan untuk generasi berikutnya. Tidak cukup sampai disitu diperlukan kepemimpinan Global yang mampu lantang bersuara dan menyatukan semua potensi yang ada untuk menhentikan eksploitasi alam berlebihan, dan mampu bersikap tegas pada semua bentuk perusakan di tingkat global. Alam yang telah dikaruniakan Allah swt sebagai Pencipta, tak mampu bersuara kala terdzolimi, tugas manusialah sebagai makhluk yang sempurna dan khalifah di bumi untuk mampu mendengar dan menggenapkan segala upaya mencegah kerusakannya.

Referensi:

1. https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/167447/jebakan-utang-ekonomi-hijau-2023

2. https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg1/

3. http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/igrk/LAP_igrk2020.pdf

4. https://www.climatewatchdata.org/key-visualizations?visualization=4

5. https://www.cnbcindonesia.com/news/20210608172422-4-251527/ini-alasan-pltu-batu-bara-masih-jadi-andalan-ri

6. https://iesr.or.id/cop-27-indonesia-perlu-menarik-dukungan-internasional-untuk-transisi-energi-dengan-target-pensiun-dini-pltu-dan-pengembangan-energi-terbarukan-yang-ambisius

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image