Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tyas Chairunisa

Nobar (Perdana) Buya Hamka Vol.1

Info Terkini | Wednesday, 19 Apr 2023, 16:22 WIB

Rabu, 19 April 2023, saya bersama sahabat dan dua siswa menonton "Buya Hamka Vol.I" di salah satu plasa kawasan Bekasi Timur. Kami sengaja menonton film biopik tersebut di hari pertama penayangannya serta di sesi siang, yakni pukul 12.15 WIB. Suasana studio bioskop pun masih sepi. Hanya beberapa orang yang menontonnya. Menurut saya, itu wajar dan dapat dimaklumi karena penayangan di hari pertama dan tentunya pada waktu seperti itu banyak orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Walaupun demikian, prediksi saya, saat libur Lebaran nanti, film ini mungkin banyak yang menontonnya, bahkan bisa saja membludak.

Film berdurasi tak sampai dua jam ini kami--saya, sahabat, dan siswa--nikmati dalam keheningan. Saya pun berusaha fokus terhadap alur cerita serta dialog yang disampaikan oleh tokoh-tokoh yang berperan di dalam "Buya Hamka Vol.I".

Sebagaimana informasi yang diperoleh, diperkuat pula dengan trailer-nya di Youtube, film "Buya Hamka" terbagi menjadi tiga volume. "Buya Hamka Vol.I" berfokus pada cerita Buya Hamka--yang diperankan oleh Vino G. Bastian--saat menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar, menjadi pemimpin redaksi Pedoman Masjarakat, penulis roman terkenal, yakni Di Bawah Lindungan Kabar dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, hingga akhirnya ia diminta mengundurkan diri dari pengurus Muhammadiyah.

Ada berbagai nilai moral dan agama yang saya peroleh dari film tersebut. Tak lupa saya pun mencatat beberapa kutipan dialog yang diucapkan oleh Buya Hamka. Tidak hanya itu, perilaku dan sikap Buya Hamka yang lembut lagi arif bijaksana, terutama terhadap istri dan anak-anaknya, menurut saya layak untuk diteladani. Bagaimana menyikapi istri yang (seolah) cemburu dengan memberikan sindiran sangat halus, memersuasi dan mendidik anak yang sedikit bermalasan untuk salat, serta menghadapi situasi dengan tanpa perlu marah atau emosi yang meninggi ketika para pemuda/anggota Muhammadiyah memintanya untuk mundur sebagai pengurus, semua itu dihadapi oleh Buya Hamka dengan tenang dan tidak pula dengan kata-kata yang memaksa atau menghakimi.

Dalam cerita di film tersebut, saya memperoleh pembelajaran mengenai memaknai kesetiaan serta saling mendukung dan memahami satu sama lain antara istri dan suami (Sitti Raham--diperankan oleh Laudya Cyntia Bella--dan Buya Hamka). Dapat dikatakan bahwa kisah keluarga mereka merupakan contoh perwujudan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Saya pun merasa terkesan dengan itu.

Ketika adegan Buya Hamka menceritakan kekhawatiran dan kegundahan hatinya mengenai orang-orang yang mencemooh dirinya kepada Sitti Raham, istrinya itu pun menguatkan dengan kalimat dialog dengan bahasa Minang kurang lebih seperti ini (maaf jika tidak terlalu mirip), "Mereka tidak tahu seperti apa Engku dan bagaimana (perjuangan) Engku. Ambo yang tahu Engku." Tidak hanya menguatkan, tetapi pernyataan tersebut merupakan bukti kepercayaan seorang istri terhadap suaminya dan betapa dia mendukung serta (berusaha) menyemangati sang suami.

Di samping itu, ada empat kalimat yang diungkapkan tokoh Buya Hamka dalam film tersebut. Pertama, "Tidak ada perjuangan yang sia-sia." Kalimat tersebut mengingatkan saya akan petuah bijak bahwa "perjuangan tidak akan mengkhianati hasil". Ya, dapat dikatakan secara tersirat makna antara kalimat dan petuah tersebut berkorelasi. Tidak menutup kemungkinan, keduanya dapat dijadikan sebagai kalimat motivasi dalam kehidupan ketika kita merasa "lelah" atau "menyerah" dalam berjuang atau memperjuangkan sesuatu. Apakah Anda sepakat?

Kedua, "Apa yang sudah ditetapkan oleh Allah, itulah yang terbaik untuk kita." Kalimat itu diungkapkan Buya Hamka saat adegan kembali bertemu dengan Kang Karta--diperankan oleh Ade Firman Hakim. Pada adegan itu, Kang Karta sempat mengucapkan satu kata, seandainya. Melalui dakwahnya yang secara halus, Buya Hamka mengimbau agar tidak berkata seandainya yang kemudian dilanjutkan dengan kalimat tersebut. Secara tersirat, kalimat itu mengingatkan kepada kita agar percaya dan menerima akan ketetapan dan takdir Allah karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui takdir kehidupan manusia.

Ketiga, "Dakwah saya bukanlah jual beli." Kalimat ini dikatakan oleh Buya Hamka pada adegan setelah dia berdakwah di surau, seorang sahabat hendak memberikan "imbalan" berupa beberapa koin. Namun, Buya Hamka menolak secara halus dengan mengatakan kalimat tersebut. Sahabatnya pun mengingatkan bahwa istri dan anak Buya Hamka juga memiliki kebutuhan yang harus dicukupi. Akhirnya, diperolehlah kesepakatan, yakni Buya Hamka "menjual" karyanya berupa beberapa buah roman kepada sahabatnya. Dengan kata lain, dia tidak menerima "imbalan" tersebut secara cuma-cuma. Sungguh, cara Buya Hamka itu patut diteladani. Dia teguh pada prinsip, "dakwah bukanlah bisnis--jual beli". Masyarakat yang mendengarkan dakwah, menurut Buya Hamka, dia anggap sebagai rezeki dari Allah Swt.

Di samping itu, saya ingat dan mengutip perkataan Sitti Raham kepada Buya Hamka bahwa dakwah bukan hanya melalui ceramah, melainkan juga dapat melalui tulisan. Ya, di film ini pun kita disuguhkan bahwa Buya Hamka begitu gigih menyebarkan serta mendakwahkan ajaran Islam, terutama ilmu tauhid, dan itu tidak selalu dilakukan melalui ceramah atau pidato, melainkan juga melalui tulisan/karya-karyanya.

Keempat, pada adegan terakhir, dengan jiwa yang penuh semangat dan suara yang begitu lantang, Buya Hamka berkata, "... Jangan sampai bangsa ini menjadi bangsa ayam, bangsa yang diperjualbelikan ke bangsa lain! ..." Menurut saya, perkataan tersebut menunjukkan betapa Buya Hamka mencintai tanah air. Setidaknya, cerita film ini berhasil menunjukkan bahwa Buya Hamka merupakan sosok nasionalis yang sejati.

Lain daripada itu, ada satu adegan yang membuat saya berpikir, seharusnya tidak berkata seperti itu. Adegan apakah itu? Ya, adegan ketika Buya Hamka menemui Gubernur Nakhasima--yang diperankan oleh Ferry Salim. Pada adegan ini, Nakhasima begitu fasih berbahasa Indonesia, bahkan logat "khas" Jepang seolah dipaksakan. Menurut saya, ini hal lumrah selagi tidak "mengganggu" alur cerita. Adapun dialog yang dikatakan Nakashima yang membuat saya berpikir itu, yakni "Jadi, Buya maunya apa?" Secara logika, apakah harus menggunakan maunya--yang merupakan ragam nonformal, percakapan sehari-hari--dalam kalimat tersebut? Bukankah seharusnya menggunakan bahasa yang lebih baku, misalnya "Jadi, apa yang Buya inginkan?" atau "Jadi, apa yang diingingkan oleh Buya?"

Secara keseluruhan, film ini layak ditonton oleh masyarakat sebab selain merupakan kisah biopik Buya Hamka, ada berbagai pembelajaran yang dapat kita jadikan hikmah, di antaranya semangat mencari dan menyebarkan ilmu, terutama ilmu agama, tutur kata yang santun dan lembut, keluarga yang penuh dengan rasa cinta dan kepercayaan, hingga nasionalisme dalam membela tanah air. Jujur, saya ingin menonton film tersebut sekali lagi agar "lebih" mendapatkan makna-makna dan/atau pembelajaran dari kisah kehidupan seorang Buya Hamka. Ya, meskipun masih berupa volume 1, kita berharap semoga penayangan sekuelnya, yakni "Buya Hamka Vol.II dan III", tidak berjarak lama dengan film yang saat ini tayang.

Nah, apakah Anda sekalian antusias ingin atau sudah menonton "Buya Hamka Vol.I"?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image