Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Puasa itu Pengembaraan Suci yang Memerlukan Fokus dan Perenungan

Agama | 2023-03-25 04:09:49

Jika kita menelusuri kitab-kitab tafsir al Qur’an seperti Imam ath Thabari dalam karyanya Tafsir al Thabari, Jami’u al Bayan ‘an Ta’wilu Aayu al Qur’an, Juz XII :10; Jalaluddin as Suyuthi dalam karyanya ad Duru al Mantsur fi al Tafsir bi al Ma’tsur, Juz VII : 544; Al Qurthubi dalam karyanya al Jami’u al Ahkami al Qur’an, Juz X : 393, kita akan menemukan istilah lain dari puasa, yakni al saaihuun.

Secara morfologis, al saaihuun berarti orang yang mengembara. Rasulullah saw ditanya tentang kelompok al saaihuun. Ia menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa”.

Orang-orang yang berpuasa adalah mereka yang tengah melakukan kontemplasi setelah melakukan pengembaraan jauh sebelum mereka melakukan ibadah puasa, dan merencanakan aktivitas yang akan dilakukan setelah melakukan ibadah puasa. Sebelum melakukan ibadah puasa mereka mengembara dengan beragam aktivitas.

Tidak semua aktivitas yang mereka lakukan berjalan mulus dan berjalan di atas aturan Allah dan Rasul-Nya, disengaja atau tidak, mereka pernah tergelincir kepada perbuatan dosa. Namun demikian, mereka cepat menyadari akan kekeliruannya, ia pun segera kembali ke jalur pengembaraan yang benar, yakni melakukan taubat. Mereka beristighfar, dan berharap Allah menghapus jejak-jejak kotor dari dosa dan kemaksiatannya.

Kesungguhan ingin meraih ampunan Allah, selain mereka lakukan melalui lantunan istighfar, mereka pun meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Mereka tak melewatkan ibadah wajib dan sunat. Mereka yakin sekali, ketaatannya dalam beribadah akan semakin membuka peluang untuk mendapatkan ampunan-Nya.

Lisannya senanatiasa basah dengan memuji dan mengagungkan Allah. Mereka berupaya merasakan keagungan-Nya dan menyadari kehinaan dan kekotoran diri. Setiap saat, lantunan zikir selalu membasahi lisan dan memenuhi relung kalbu. Sementara matanya sembab, menangis lirih, menyesali atas dosa dan nista yang pernah mereka lakukan.

Tak cukup sampai disana, mereka benar-benar ingin membakar dosa dan kemaksiatannya. Mereka tak lelah melakukan beragam ibadah asalkan perintah Allah dan Rasul-Nya, salah satunya adalah melaksanakan ibadah puasa. Mereka tak takut lelah, tak takut dengan haus dan dahaga yang akan mereka rasakan pada siang hari, hanya ada satu hal dalam benak mereka, yakni mereka ingin meraih ampunan Allah. Prinsip mereka lebih baik menderita di dunia daripada menderita di akhirat, lebih baik tak memiliki apa-apa di dunia daripada tak memiliki apa-apa di akhirat.

Pengembaraan yang mereka lakukan, baik taubat, beribadah, memuji Allah, dan melaksanakan ibadah puasa tidaklah sia-sia, sebab semuanya Allah beli dengan kemuliaan sorga yang sarat dengan keridaan dan nikmat dari-Nya.

“(Mereka itulah) orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (al saaihuun), rukuk dan sujud, menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar, serta memelihara hukum-hukum Allah. Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.” (Q. S. at Taubah : 112).

Dalam melaksanakan ibadah puasanya, mereka benar-benar fokus terhadap nilai-nilai ibadah seraya menjaga akidah dan akhlak selama menjalankannya. Makan dan minum pada waktu berbuka puasa dan sahur bukan fokus utamanya. Mereka hanya menjadikannya sebagai sarana penguat dalam melaksanakan ibadah puasa. Mereka berusaha memperbanyak rukuk dan sujud dalam arti banyak melakukan ibadah shalat sunat menjadi kegiatan selama melaksanakan ibadah puasa seraya tak lupa menyebarkan kebaikan dan mencegah kemunkaran serta berupaya keras melaksanakan segala ketentuan Allah.

Kini kita sudah memasuki hari ke-3 bulan Ramadhan, alangkah baiknya jika kita mampu merasakan pengembaraan diri. Selayaknya kita merenungi jalur-jalur perjalanan kehidupan kita, apakah sebelum memasuki bulan Ramadhan kita berada di jalur yang salah yang menyebabkan kehidupan kita tersesat di belantara rimba dosa dan kemaksiatan?

Jika kita pernah keluar dari jalur kehidupan yang benar dan tersesat di rimba dosa dan kemaksiatan, apakah kita sudah kembali ke jalur yang benar sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadhan? Apakah ibadah puasa yang kita lakukan pada saat ini karena keimanan, keingingan kuat untuk mendapatkan ampunan-Nya, atau hanya karena rutinitas tahunan dan kebanyakan orang melakukannya? Apakah dalam melaksanakan ibadah puasa ini kita hanya fokus kepada aksesoris-aksesoris dunyawiyah khas Ramadhan atau fokus terhadap kualitas ibadah?

Hati nurani kita tak akan bohong dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, sangatlah bijak jika kita selalu menyisihkan waktu sejenak untuk merenungi setiap langkah-langkah kita dalam menempuh jalan pengembaraan kehidupan. Jika langkah yang kita lakukan keluar dari jalur yang benar, hanya satu cara terbaik yakni segera kembali ke jalur pengembaraan yang benar melalui pintu taubat.

Jika selama melakukan pengembaraan dalam kehidupan ini banyak mencari dan mengkosumsi harta haram, sangatlah bijak apabila kita segera mensucikannya, menggantinya dengan cara mencari dan mengkonsumsi harta yang halal. Harta yang haram hanya akan menjadi penghalang terkabulnya do’a dan menjadi pembuka pintu neraka.

Sudah selayaknya kita menjadikan ibadah puasa ini benar-benar sebagai upaya menyucikan jiwa seraya merenungi setiap langkah kehidupan yang telah kita lalui. Dengan cara seperti ini, ibadah puasa yang kita lalui akan benar-benar menjadi pencuci jiwa, pembuka lebar pintu sorga.

Kita harus benar-benar menghindari sikap terhadap ibadah puasa sebagai rutinitas tahunan belaka. Kita pun harus menghindari melaksanakan ibadah puasa yang bersifat sensualitas belaka atau hanya menahan lapar dan dahaga seraya menjalani kehidupan tetap beraksesoris akhlak jelek. Keletihan, kelelahan, dan liku-liku kehidupan yang dialami selama melakukan pengembaraan (al saaihuun) kita serahkan kepada Allah.

Dalam hal menjauhi hal-hal yang bersifat lahiriyah atau sensualitas, Socrates, sang filosof, pernah memberikan nasihat, “Tidak ada yang lebih baik daripada menarik diri dari semua sensualitas, dan serahkan dirimu sepenuhnya kepada Tuhan, dan selalu berupaya merawat semuat umat manusia.”

Salah satu kunci keberhasilan dari ibadah puasa yang kita lakukan adalah kemampuan kita untuk melakukan kontemplasi atau perenungan, berupaya menyadari akan kelemahan dan kekotoran jiwa, selalu mendekatkan diri kepada-Nya, dan selalu memohon kekuatan agar dapat melakukan ibadah dengan niat benar-benar lillahi ta’ala.

Surat Al Baqarah : 186 yang merupakan rangkaian ayat perintah puasa dengan jelas memerintahkan agar kita selalu mendekatkan diri kepada-Nya selama menjalankan ibadah puasa seraya tetap berada pada jalur kehidupan yang benar, memohon dan menitipkan segala laku dan langkah dalam menjalani kehidupan ini.

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q. S. Al Baqarah : 186).

Ibadah puasa yang benar-benar dilakukan lillahi ta’ala akan melahirkan jiwa yang penuh dengan keyakinan kepada-Nya, berakhlak baik seraya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Orang yang ibadah puasanya berhasil akan mampu hidup bersikap toleran dan siap hidup berdampingan dengan siapapun dengan penuh kasinh sayang dan perdamaian.

Ilustrasi : Kontemplasi, perenungan/tafakur (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image