Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hendrawan

Refleksi Pendidik, Peserta Didik, dan Pendidikan

Pendidikan dan Literasi | Friday, 24 Mar 2023, 23:16 WIB
Ilustration From Pinteres

pendidikan merupakan salah satu barometer untuk mengukur tingkat kemajuan suatu negara. Sebab dari pendidikanlah sumber daya manusia bisa diukur. Semakin tinggi tingkat kemajuan pendidikan suatu negara, maka semakin berpotensi pula sumber daya manusianya meningkat. Negara yang memiliki SDM (sumber daya manusia) yang kurang dikaterogikan sebagai negara yang terbelakang. Pasalnya, SDM merupakan elemen yang menentukan kemajuan suatu negara melalui tingkat produktifitas penduduknya. Pendidikan memberikan stimulan pada manusia untuk terus menggali potensi yang ada dalam dirinya. Sehingga manusia yang berpendidikan akan dengan mudah memperoleh apa yang diinginkan berdasarkan kerangka ilmiah yang terus dikembangkan menjadi sebuah aksi nyata.

Manusia yang berpendidikan akan memberikan manfaat bagi dirinya, keluarga, negara dan dunia. Dari rahim pendidikan banyak lahir solusi-solusi bagi persoalan dunia. Sehingga dengan pendidikan manusia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi kapanpun dan dalam keadaan apapun yang dilakukan secara sistematis dan terukur. Manusia yang berpendidikan akan melihat lebih jauh persoalan yang dihadapi sebelum menyimpulkan. Dalam istilahnya, manusia berpendidikan mendiagnosa sebuah persoalan sebelum memberikan obatnya. Dengan begitu, solusi yang diberikan tidak akan jauh melenceng dari persoalan yang dihadapi.

Sejatinya, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menjadikan manusia menuju pada fitrahnya, yaitu menjadi khalifah. Pendidikan menurut imam al-ghazali ialah upaya yang dilakukan untuk menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya, sehingga mampu menjadikan manusia sebagai manusia, alam sebagai alam, umumnya pendidikkan menjadikan siapa yang digodoknya menempatkan sesuatu pada porsinya. Manusia yang seperti ini adalah manusia bijaknya. Artinya pendidikan adalah proses pembentukan manusia menjadi bijak dalam berkehidupan dengan menggunakan rasionalitasnya sebagai bahan penimbang dan hatinya sebagai penuntun.

Namun, pendidikan yang saat ini tengah diganyang di dunia adalah pendidikan yang menginginkan manusia menjauh dari esensinya sebagai manusia. Dalam dunia pendidikan saat ini, manusia yang mencoba mengikuti jalan fikirannya akan mendapatkan satu tanda buruk yang dilekatkan pada dirinya karena tidak sama atau berbeda dengan umumnya. Artinya, pendidikan saat ini menginginkan kesamaan bagi manusia. Konsep keselarasan diciptakan agar manusia yang ada di dalamnya tidak begitu rumit ditertibkan. Sehingga, untuk menghindari asumsi buruk yang akan dilekatkan pada dirinya, manusia yang berpendidikan memilih untuk menjadi sama.

Pendidikan yang seperti ini, adalah pendidikan yang diarahkan para poros industrialisasi. Dimana peserta didik diinginkan menjadi seseorang yang penurut yang hidup sebagai mesin yang mudah diatur sesuai dengan keinginan perusahaan. Kurikulum yang dikembangkan tidak memberikan dampak yang begitu banyak bagi perubahan pendidikan. Pasalnya masih banyak kita temukan peserta didik yang tidak berani mengambil sikap apabila sesuatu yang menyimpan terjadi di depan mata namun yang melakukannya adalah pemegang otoritas. Ini sudah menjadikan peserta didik menjadi tidak bijak. Tidak menempatkan sesuatu pada porsinya.

Pendidikan yang saat ini, selalu menginginkan manusia yang secara lahir merdeka namun secara batin tidak menyadari pendindasan yang dilakukan terhadap dirinya. Pendidikan seperti yang ditegaskan dahulu bahwa alat untuk mencapai pembebasan menuju kemanusiaan secara integral, Manusia yang mampu hidup sesuai dengan keinginan dan karakter dasar dirinya, sudah sangat jauh melahirkan disparitas antara tujuan secara konsep dan praktek pendidikan. Hal ini menimbulkan minimnya pemikir yang melahirkan konsep-konsep dan gagasan yang segar di tengah arus disrupsi yang rentan berubah.

Pendidikan yang seharusnya menjadi rumah bagi berkembanganya manusia-manusia yang membawa arus perubahan bagi zaman, kini sedikit kita temukan. Hal ini disebabkan karena peserta didik yang hanya berani mengambil langkah pada apa yang kebanyakan orang inginkan. Sehingga daya untuk menerima perubahan dalam dirinya pun cenderung minim. Manusia yang lahir dari rahim pendidikanpun cenderung apatis dengan realits-realitas yang seharusnya menuntut manusia terididik untuk menyelesaikannya. Akibatnya, banyak kita temukan manusia yang bermental seperti mesin/benda. Yang bekerja atau melakukan sesuatu harus berdasarkan keinginan atasannya.

Pendidikan yang saat ini diimplementasikan di indonesia adalah pendidikan yang melahirkan manusia yang kekurangan sumplemen inisiatif untuk berbuat, atau supmlemen daya kreatifitas dari manusia yang menghirup pendidikan ini dimatikan. Hasilnya adalah manusia yang tingkat kepeduliannya pada sesama semakin minim dan kepeduliannya pada dirinya sendiri semakintinggi. Pendidikan yang seperti diutarakan sebelumnya adalah wadah bagi manusia untuk belajar bijaksana dengan menggunakan nalarnya dan hatinya malah menjadi pendidikan yang melahirkan manusia dengan tingkat egoisitas yang intens berkembang. Produk pendidikan semacam ini menjauhkan manusia dengan manusia dengan alam. Inilah produk pendidikan industrialisasi yang selalu menanamkan nilai rupiah sebagai pusat kemanfaatan. Manusia yang mengenyam dan terus melanjutkan nafas pendidikan semacam ini mendasarkan perbuatan dan perlakuannya hanya berdasarkan rupiah/materi.

Artinya, apabila kita cermati maka pendidikan yang kebanyakan diterapkan diindonesia begitu jauh dengan filosofi pendidikan yang dahulu dicetuskan Ki Hajar Dewantara “ing ngarsa sung tolodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” bahwa seharusnya manusia terdidik adalah suri tauladan dan apabila di tengah-tengah membangun semangat lingkungannya untuk berbuat baik lalu ketika manusia terdidik di belakang atau tidak terlibat dalam satu niatan perbuatan baik maka harus memberikan dorongan moral. Asas dari pendidikan yang dicetuskan ki hajar dewantara adalah asas kegunaan bagi khalayak, filosofi pendidikannya tidak didasarkan pada materi. Maka kesenjangan antara pendidikan ki hajar dewantara dan pendidikan saat ini sangat bertolak belakang.

Yang kita dapatkan dari pendidikan industri adalah kecemasan yang berlebihan yang lahir dari hasil pengamatan yang dilakukan secara liar terhadap kenyataan. Sehingga, kita kurang jauh menempuh jalan yang menuju pada nurani kita untuk menemukan kebijaksanaan. Maka apa yang kita lakukan hanya akan menjadi satu rutinitas yang tidak memberikan makna. Dari pendidikan semacam ini, seperti yang kita lihat di amerika dan jepang yang dikategorikan sebagai negara maju adalah negara yang memiliki tingkat kehampaan penduduk dalam memaknai hidup. Artinya, mereka tidak menemukan kebijaksaan dalam dirinya sehingga mereka tiba pada kekosongan makna atau seperti yang dikatakan friederich nietchze “nihilisme”. Untuk menjadikan manusia terdidik hidup dalam nilai maka perlu ada konsep yang ditawarkan kaum terdidik untuk terlepas dari belenggu sistem yang secara masif menindas kita satu persatu.

Kekosongan nilai membuat manusia hidup tanpa arah. Sehingga dengan tidak menemukan makna hidup, manusia akan secara liar hidup tanpa tujuan yang dimana hal itu akan menjadi boomerang bagi manusia, bagi kelangsungan hidup manusia, bagi kebijaksanaan manusia. Maka perlu dobrakan yang nyata dari kaum terdidik yang berani menerobos tikar-tikar kapitalisme yang disebarkan dalam dunia pendidikan.

Hal ini harus di mulai sejak dari pengenalan konsep dan penyadaran yang dilakukan mulai dari sekolah dasar hingga ke tinggat perguruan tinggi. Kaderisasi, kajian, dan bedah buku beberapa hal yang bisa dijadikan pemantik untuk mengubah stigmatisasi yang sudah mendarah daging dalam diri kaum terdidik. Melalui kaderisasi, para pengkader menghilangkan sistem kelas yang selalu di bangun dalam lingkup mahasiswa dan sebagainya. Sebab perbedaan kelas inilah yang membuat seseorang atau beberapa kelompok merasa lebih superior dan merasa memiliki hak untuk mengintimidasi kelas yang dianggap sebagai inferior. Melalui kajian/diskusi dilakukan untuk melihat lebih jauh filosofi-filosofi kaum intelektual, sehingga dengan aktifnya diskusi kemungkinan akan membuka ruang bagi peserta didik untuk menemukan aliran pemikiran mereka yang relevan dengan yang mereka yakini. Ini juga bisa menjadikan peserta didik lebih membawa fikirannya yang orisinil ke dalam ruang-ruang kelas dan masyarakat karena didasarkan pada hasil abstraksi yang dilakukan dengan penuh penghayatan dan pemikiran yang rasional. Dalam ruang diskusi peserta didik diberikan kebebasan menemukan jalan fikirannya sendiri. Sementara melalui pembedahan buku, peserta didik dilatih untuk melihat nilai/hikmah yang terkandung dalam setiap peristiwa. Sehingga hal itu mampu melatih pemikiran peserta didik untuk melakukan pemetaan terhadap persoalan yang sedang di hadapi. Agara dalam perumusan solusi, peserta didik mampu merunutkannya secara komprehensif berdasarkan indikator-indikator yang telah diporsikan.

Dengan upaya-upaya kecil semacam itu, penulis yakin akan mampu mengembalikan pendidikan kita kepada filosofinya. Model-model gerakan yang kita bangun haruslah kita pelajari juga dari gerakan-gerakan kaum terdidik terdahulu untuk dijadikan preseden gerakan kita hari ini. Pendidikan yang saat ini kita anggap sebagai upaya meningkatkan kualitas manusia sejatinya tidak bekerja demikian, maka kita harus perlu dobrakan yang lebih segar dari kaum-kaum terdidik untuk melakukan revolusi dalam dunia pendidikan menuju arah perubahan yang mampu mengantarkan kita pada gerbang kemerdekaan dan perdamaian abadi yang berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan serta keadilan bagi seluruh manusia. Dengan begitu, kita mampu hidup atas nama manusia dan untuk manusia secara integral tanpa ada penindasan kelas yang satu terhadap kelas yang lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image