Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Makkinuddin

Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan

Eduaksi | Sunday, 19 Feb 2023, 09:12 WIB

Pulau itu hanya sebesar satu titik di peta. Banyak orang menjuluki pulau itu ”Sang Penjaga Utara”. Sayangnya, selama puluhan tahun, sang penjaga itu makin tertinggal. Warganya tak bisa mengakses listrik sepanjang hari, kesulitan mengakses air bersih, dan kapal hanya melintas seminggu sekali.

Nama sang penjaga itu Pulau Sebira. Letaknya di ujung utara Jakarta, bahkan secara geografis lebih dekat dengan Pulau Sumatera daripada ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Mungkin banyak orang akan menganggapnya jauh.

Jarak kilometernya dari Monas memang jauh. Namun, perspektif jauh-dekat semacam itu perlu kita ubah. Semua pulau di Indonesia jaraknya adalah nol kilometer dari Ibu Pertiwi.

Beranjak dari perspektif tak ada yang dinomorduakan, kita mewujudkan hak-hak dasar di Pulau Sebira. Layanan listrik hadir, air bersih mengalir, akses pasar pangan dan kapal bisa melintas tiap hari.

Dalam hitungan matematis, pemberian layanan semacam itu bisa dianggap tak menguntungkan. Namun, Republik ini hadir bukan untuk memilah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Republik ini tak dibangun dengan logika untung rugi. Republik ini berdiri dengan sebuah janji: menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali! Janji keadilan sosial bukan saatnya hanya jadi dokumen sejarah.

Kami ingin memanifestasikan keadilan sosial melalui gagasan yang konkret. Gagasan yang bisa meluruskan jalan bagi masa depan Republik ini.

Kita ingin mendorong penguatan demokrasi melalui beberapa prinsip utama: menjalankan amanah reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum, mendorong masyarakat sipil yang kritis, menguatkan landasan demokrasi elektoral.

Demokrasi dan kesetaraan hukum

Demokrasi adalah sebuah jalan panjang yang perlu terus kita rawat. Keliru jika kita memandang demokrasi sebagai sesuatu yang bisa tumbuh dan bertahan begitu saja (taken for granted). Kita memilih jalan demokrasi bukan sebagai jalan pintas pembangunan, kita memilih demokrasi sebagai ikhtiar mewujudkan manusia yang bermartabat. Manusia yang merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan tindakan.

Basis dari demokrasi adalah trust.Wis wayahe, mengembalikan kepercayaan itu!

Kepercayaan bukan muncul dari fanatisme buta. Layaknya sebuah pertandingan sepak bola, wasitnya harus adil, aturan mainnya harus jelas dan berlaku sama pada semua, baru kepercayaan akan muncul.

Kepercayaan akan tumbuh dengan adanya penguatan demokrasi. Kita ingin mendorong penguatan demokrasi melalui beberapa prinsip utama: menjalankan amanah reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum, mendorong masyarakat sipil yang kritis, menguatkan landasan demokrasi elektoral.

Pemerintah akan melanjutkan program perlindungan sosial untuk mendorong tingkat kemiskinan pada 2023 menurun di kisaran 7,5-8,5 persen, tingkat pengangguran terbuka sekitar 5,3-6,0 persen, dan perbaikan ketimpangan (gini ratio) menjadi 0,375-0,378.

Esensi demokrasi adalah memberikan ruang yang setara bagi semua. Menghadirkan kepastian hukum dan rasa aman dengan menjamin hak-hak warga negara, terutama ruang yang aman bagi perempuan, anak, difabel, masyarakat adat, dan kelompok marjinal.

Demokrasi yang sehat dan kesetaraan hukumlah yang akan mendorong kemajuan ekonomi berkeadilan. Kemajuan ekonomi tanpa perspektif keadilan sosial akan terasa semu.

Ekonomi untuk semua

Ketika bicara pertumbuhan ekonomi, kerap kali yang kita lihat hanya berhenti pada angka-angka makro. Angka-angka itu ibarat sebuah potret dua dimensi. Menunjukkan yang di permukaan, tetapi tidak selalu menggambarkan kedalaman dampak yang dirasakan warga.

Prinsip yang ingin kita dorong: pertumbuhan ekonomi harus berkualitas. Bukan sekadar melihat dari aspek makro, lebih dari itu dampaknya bisa menjangkau semuanya. Kualitas pertumbuhan itu adalah pada jangkauannya. Semakin merata, maka semakin tingi kualitas pertumbuhannya.

Selama ini pembahasan ekonomi kerakyatan hanya berhenti di level filosofis. Akibatnya, cara pandang kita terhadap ketimpangan tak berkembang, sekadar ditopang program Jaring Pengaman Sosial. Perspektif ini perlu kita ubah!

Urusan ketimpangan tidak boleh lagi sekadar diselesaikan lewat jaring pengaman sosial, tetapi diselesaikan melalui instrumen-instrumen ekonomi.

Perekonomian perlu kita rancang untuk memperhitungkan mereka yang miskin dengan mengakomodasinya melalui kesempatan-kesempatan yang setara dalam sistem perekonomian. Kita terus berupaya membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar.

Urusan ketimpangan tidak boleh lagi sekadar diselesaikan lewat jaring pengaman sosial, tetapi diselesaikan melalui instrumen-instrumen ekonomi. Cara pandang ini akan membuat masalah ketimpangan bukan menjadi masalah sektoral semata.

Masalah ketimpangan perlu diintegrasikan melalui instrumen ekonomi, seperti moneter, kredit, perdagangan, perpajakan, investasi, dan kebijakan sosial, untuk menciptakan perekonomian yang memberikan kesejahteraan semua warga, bukan hanya sebagian warga.

Konsep semacam itu kerap dikenal dengan social market economy yang belakangan ini menjadi alternatif baru. Jika ditelaah lebih dalam, konsep itu sebenarnya senyawa dengan ekonomi kerakyatan yang sudah digaungkan para pendiri Republik ini sejak lama.

Ketika pemikiran itu diturunkan dalam bentuk kebijakan, diaplikasikan secara konkret, dan dieksekusi untuk kepentingan warga, hasilnya dahsyat. Ini yang kita rasakan ketika tahu usaha mikro kecil yang mendominasi Jakarta sehingga kita menggunakan ragam instrumen untuk memberi kesempatan yang setara.

Dahulu, gerbang kesetaraan itu tertutup rapat. Bayangkan, ketika izin usaha kecil harus menggunakan alamat kantor, belum lagi kredit permodalan minimal Rp 50 juta. Sejak lama, peraturan itu dianggap wajar. Ketika peraturan itu kita pandang dari kacamata pengusaha kecil, akan terlihat bias ketimpangan yang begitu besar.

Kami ingin kesetaraan tak berhenti di tataran filosofis. Maka, izin usaha mikro kecil (IUMK) kita dorong agar relevan dengan kebutuhan pegiat usaha kecil. IUMK diterbitkan sebagai gerbang awal insentif bagi para pengusaha pemula.

Perizinan semacam ini perlu kita pandang bukan sekadar kebutuhan administrasi, melainkan kita gunakan sebagai terobosan untuk kesetaraan. Skala pinjaman, misalnya, sebelumnya besarannya memberatkan pengusaha pemula sehingga terjadi ketidaksetaraan akses permodalan.

Kita berinovasi agar bisa lebih relevan dengan kebutuhan usaha pemula, pinjaman bisa dilakukan mulai dari Rp 5 juta-Rp 10 juta. Ini juga didukung layanan perizinan yang dipercepat dan alamat rumah bisa diakui sebagai domisili usaha. Upaya-upaya itu merupakan manifestasi agar ketimpangan tidak sekadar ditopang jaring pengaman sosial, tapi melalui instrumen yang basisnya kesetaraan.

Ekosistem ekonomi yang setara perlu didukung dengan ekosistem sosial yang lestari. Keduanya harus saling menguatkan, bukan meniadakan.

Jika Pancasila dilihat tujuan akhirnya, terlihat bahwa keadilan bagi semua adalah tujuan utamanya.

Masyarakat guyub dan sejahtera

Jika Pancasila dilihat tujuan akhirnya, terlihat bahwa keadilan bagi semua adalah tujuan utamanya. Sejak awal, para pendiri Republik ini menyadari betul kekuatan ekosistem sosial warga yang kokoh jika ditata di atas rasa keadilan.

Keberagaman manusia Indonesia adalah karunia Allah, tetapi mendorong masyarakat bersatu dan guyub adalah ikhtiar bersama. Guyub berarti mewujudkan interaksi yang saling menguatkan antara warga dan penyelenggara negara.

Kuncinya ada pada dua aspek: kolaborasi dan meritokrasi! Perspektif kolaborasi dan meritokrasi meyakini pembangunan sebagai kesempatan bagi semua untuk berkiprah.

Penyelenggara negara perlu rendah hati dengan tidak memonopoli kebenaran, tetapi justru menggelar tikar yang nyaman agar warga bisa duduk bersama dan terlibat.

Pendekatan pembangunan tak bisa lagi sekadar penyelenggara negara menjadi administrator. Pendekatan konvensional itu harus berubah dengan menjadikan penyelenggara negara menjadi kolaborator dan warga menjadi ko-kreator sehingga bisa memunculkan beragam kolaborasi. Inilah yang kita lakukan di Ibu Kota dengan mengusung konsep ”Jakarta, Kota Kolaborasi!”

Syarat utama pemerintahan yang kolaboratif adalah tata kelola pemerintahan yang benar (good governance). Suka tidak suka, seluruh dunia menuju ke arah good governance. Ini seperti saat seluruh dunia bergerak menghapus perbudakan.

Satu cara mewujudkan good governance adalah dengan meritokrasi. Para pendiri Republik ini merancang sebuah negara yang memungkinkan siapa pun yang memiliki karya dan gagasan bisa menjadi pemimpin. Kemerdekaan telah menggulung konsep aristokrat dan monarki, sebuah bukti Indonesia lahir dengan prinsip meritokrasi.

Keberagaman manusia Indonesia adalah karunia Allah, tetapi mendorong masyarakat bersatu dan guyub adalah ikhtiar bersama.

Hari ini, pemerintahan yang bisa menjalankan meritokrasi akan mengirimkan pesan tegas bahwa pemerintahannya berintegritas. Kita berikhtiar menyelenggarakan pemerintahan dengan cara-cara berintegritas. Meluruskan jalan, menghadirkan kesetaraan, dan meraih kemajuan yang berkeadilan.

Gagasan ini ditulis dengan keyakinan bahwa setiap kita punya mimpi besar untuk masa depan Indonesia. Kami mengundang setiap warga negara Republik ini untuk berkolaborasi mewujudkan gagasan ini. Bismillah, kolaborasi ini bisa meluruskan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!

Anies Rasyid Baswedan,Gubernur DKI Jakarta 2017-2022

Ditulis ulang oleh Makkinuddin

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image