Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adhyatnika Geusan Ulun

Titisan Sahabat Nabi

Sastra | Thursday, 16 Feb 2023, 09:33 WIB
Dhysa Humaida Zakia. (istimewa)

Oleh: Dhysa Humaida Zakia)

“Ya, jangan lupa nanti ba’da Magrib kita ke rumah si Joko. Kita tahlilan di rumahnya,” kata Gibran kepada teman ngajinya, Cahya.

“Mmm...tapi Gib, apa tidak sebaiknya kita tanya dulu ke pak ustad, kalau-kalau keluarga Joko tidak mengadakan tahlilan?” kata Cahya.

“Oh iya, baiklah, nanti aku tanya ke pak ustad Jajang. Memang sih, setahuku selama ini keluarga si Joko kurang bergaul dengan tetangganya,“ pungkas Gibran.

***

Gema azan terdengar dari sebuah masjid kecil dekat sungai Cihujung yang sudah lama mengering karena hampir tiga bulan tidak ada hujan. Suara Bilal yang mendayu merdu mengajak semua muslimin untuk bersegera menunaikan salat Ashar. Dahulu di kampung ini sebelum azan disuarakan selalu ditabuh terlebih dulu bedug, pertanda masuk waktu salat. Kini seiring waktu, bedug pun tergerus zaman, sisa-sisa kejayaannya terongok di pinggir masjid berdampingan dengan keranda jenazah. Tidak ada yang berani mendekati pinggiran masjid itu selain orang-orang yang akan membawa keranda jenazah kalau ada yang meninggal. Dan, sore itu keranda terparkir kembali menemani bedug tua berkarat dengan kulit sapi sobek setelah menunaikan tugas membawa jenazah ayah Joko ke pemakaman.

Gibran dan Cahya bergegas pulang untuk mengambil air wudu, karena memang tidak ada air di sumur masjid. Sudah diniatkan mereka, selepas salat Ashar akan bertanya kepada ustad Jajang tentang acara tahlilan malam nanti. Namun sayang, ustad Jajang tidak kelihatan. Kemungkinan sang ustad salat di tempat lain selepas memimpin acara pemakaman. Mereka kecewa karena dipastikan tidak segera mendapat jawaban.

Setelah usai menunaikan salat Ashar mereka duduk-duduk di teras masjid. Gibran mengajak Cahya ke rumah ustad Jajang. Ustad Jajang sebetulnya adalah guru sekolah menengah pertama di luar kota, dan bukan guru agama. Tetapi karena keaktifannya di masyarakat dalam urusan sosial keagamaan, pak Jajang pun dipanggil ustad.

***

Rumah ustad Jajang tampak sepi dan sepertinya para penghuni sedang tidak ada. Kekecewaan di raut muka Gibran dan Cahya tampak jelas. Mereka tidak dapat masuk ke

pekarangan rumah ustad karena gerbang dikunci. Mereka pun pulang dan berjanji akan bertemu di masjid waktu Magrib nanti.

***

Di rumah, bapak dan ibu sedang menonton acara TV. Adik perempuannya belum pulang dari bermain bersama teman-temannya. Waktu masih pukul setengah empat, berarti satu jam lebih jelang Magrib. Gibran pun masuk kamar dan rebahan di kasur kapuknya. Kantuk pun datang menyerang, Gibran tertidur pulas.

“GIBRAN! Bangun !...Magrib! Magrib!...” teriak bapak sambil menggedor pintu kamar Gibran. “ Pamali tidur Magrib-Magrib...” sambung bapak.

Gibran tersentak bangun. Sambil mengucek-ngucek matanya dia melihat jam dinding.

“ASTAGFIRULLAH! Aku ketiduran, mana sudah azan lagi,” gerutu Gibran seakan tidak percaya bahwa dia ketiduran demikian pulasnya. Secepat kilat Gibran pergi ke kamar mandi.

“Gibran! Jangan dihabiskan airnya!...yang lain belum mandi!” teriak ibu.

***

Tergesa benar Gibran menuju masjid. Sudah dua rakaat rupanya, tetapi masih sempat masbuk. Dilihatnya Cahya berada di shaf paling depan, dan yang menjadi imam adalah ustad Jajang. Alhamdulillah, katanya dalam hati.

Selesai salat semua berzikir. Lama benar zikir itu, dan tidak biasanya ustad Jajang berdo’a lama, lebih lama dari biasanya, padahal kalau ada acara tahlilan selalu dipersingkat zikir dan do’anya.

Zikir selesai, jamaah pun salat sunat. Gibran dan Cahya tidak. Mereka menunggu ustad. Lama menunggu, bahkan sekarang terlihat ustad Jajang berzikir kembali. Selesai itu, ustad mengambil al-quran dan membacanya. Gibran pun heran, diliriknya Cahya, sama bingung.

“Gibran, Cahya, Ucup, dan yang lainnya... ayo ambil al-quran kalian, kita ngaji!” kata ustad Jajang setelah selesai membaca alquran.

“Hei ayooo!...kok, malah bengong begitu,” sambung ustad Jajang, karena anak-anak malah terlihat kebingungan saat ustad Jajang berucap seperti itu.

“Tapi pak ustad, bukankah sekarang kita mau tahlilan?” tanya Gibran memberanikan diri. “Kata siapa?...dan tahlilan dimana?” ustad Jajang balik tanya.

“Di rumah Joko pak ustad!” sambut Gibran dan teman-temannya kompak.

“Ooohhh itu, dengar ya semua, tahlilan itu tradisi baik yang diajarkan para ulama terdahulu, namun tidak semua orang menjalankannya, semua kembali kepada keyakinan masing- masing,” terang ustad.

“Maksud pak ustad, keluarga Joko tidak melaksanakan tahlilan? Terus kebaikan apa yang mereka lakukan untuk almarhum kalau tidak melaksanakan tahlilan?” tanya Gibran penasaran.

“Gibran,...sesungguhnya kita tidak usah ambil pusing akan hal ini. Bagi kita yang terpenting adalah bahwa kita tidak bisa memaksakan semua orang untuk sama dengan keyakinan yang kita miliki, tentu saja masih banyak cara untuk berbuat kebaikan,” terang ustad Jajang “Ayoo!...sini ngaji, mumpung waktu Isya belum datang!”

Setiap selesai mengaji dan salat Isya, Gibran dan kawan-kawan biasanya tidak pulang, mereka menginap di masjid sambil mengerjakan PR sekolah. Bapak-bapak menemani sambil mengobrol dan ngopi. Beberapa diantara mereka ada juga yang mengaji kitab kuning bersama ustad Jajang. Pukul sembilan malam setelah ustad dan bapak-bapak pulang, barulah anak- anak melakukan kegiatan masing-masing. Ada yang langsung rebahan tidur. Ada yang masih ngobrol, ada juga yang bermain tebak-tebakkan menunggu kantuk datang. Kebiasaan ini adalah tradisi yang dibangun ustad Jajang agar anak laki-laki mencintai masjid. Karena di zaman milenial ini banyak sekali laki-laki yang sudah melupakan masjid, padahal masjid adalah satu-satunya tempat yang harusnya dimakmurkan. Subuh, selesai salat barulah pulang untuk sekolah. Tetapi saat ini, air di masjid sedang bermasalah. Mereka tidak menginap di masjid. Ustad Jajang pun memaklumi dan menghentikan kegiatan ini untuk sementara.

***

Waktu merambat malam, dan siap mengantarkan semua makhluk istirahat. Tahrim dan azan awal pun mulai sayup-sayup dilantunkan dari beberapa masjid. Bergegas orang- orang salat. Seperti biasa mereka berwudu di rumah masing-masing. Sementara Gibran lagi- lagi kesiangan. Segera diambilnya sarung dan kopiah. Dengan berlari dia menuju masjid, berharap tidak ketinggalan salat berjamaah. Untungnya baru iqomah. Gibran menuju tempat wudu, dan membuka kerannya. Air pun mengalir dengan derasnya, berwudulah dia.

Selepas salat dan zikir, aki Daud bertanya siapa yang tadi ke tempat wudu. “Siapa yang baru saja wudu?” tanya aki.

“Saya aki...memangnya kenapa ki?” jawab Gibran.

“Mmm...berarti ada yang mengisi bak air wudu...setahu aki, sumur masjid kita ini kan belum ada airnya, apalagi sekrang sedang musim kemarau. Lagian warga disini yang tidak kehabisan air cuma satu, keluarga Joko saja.” kata Aki heran.

Gibran baru sadar bahwa di masjid tidak ada air, tapi kenapa tadi bak wudu penuh? Jamaah yang lain pun kebingungan. Bergegas mereka menuju tempat wudu. Benar saja! Bak ukuran 3 x 1 meter dengan kedalaman 1 meter itu penuh dengan air. Tampak bekas percikan wudu Gibran tadi. Ditengoknya sumur di samping bak wudu itu, tampak sumur belum ada airnya, kering.

“Alhamdulillah ini adalah berkah, siapa pun yang mengisi bak wudu masjid ini akan mendapat pahala berlipat karena memberi kelapangan bagi orang yang mau berwudu,” kata ustad Jajang kepada jamaah, sembari memberikan senyuman.

***

Kejadian penuhnya bak wudu di masjid menjadi perbincangan orang-orang sekitar masjid. Memang, hujan yang belum kunjung datang membuat para penghuni kampung sangat menghemat persediaan air mereka. Sebetulnya ada jatah air dari sebuah pabrik tekstil sekitar kampung, tetapi karena pabrik pun sedang menerapkan kebijakan untuk menghemat air, warga pun ikut terdampak.

Lagian di kampung tersebut hanya satu yang tidak kurang persediaan air, hanya keluarga Joko. Joko? Hm rasanya tidak mungkin. Lagian Joko kurang berbaur dengan warga sekitar.

Penuhnya bak wudu di masjid seakan menjadi berkah tersendiri bagi jamaah. Mereka jadi tidak usah repot-repot berwudu dari rumah saat salat subuh. Namun Gibran tetap penasaran, siapa yang sudah mengisi bak wudu itu. Setiap subuh pasti penuh bak itu. Rencana pun disusunnya. Dihubunginya Cahya sahabatnya. Gibran menyusun rencana untuk mengintip siapa orang yang sudah mengisi bak wudu masjid itu.

***

Selepas salat Isya, Gibran dan Cahya tidak pulang. Mereka sudah meminta izin kepada orang tua masing-masing, untuk mondok di Masjid. Malam itu mereka sepakat untuk melaksanakan rencananya. Setelah menutup pintu gerbang masjid, mereka pun mulai mengatur strategi bagaimana caranya supaya tetap terjaga, dan rencananya berhasil. Akhirnya

mereka pun bermain catur. Permainan dimulai, seru dan saling mengalahkan. Tidak terasa sudah enam babak mereka lalui. Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam. Rasa kantuk mulai menyerang, ditahannya sekuat tenaga. Dena membuka termos yang dibawanya dari rumah dan mulai menyeduh dua gelas kopi. Itu kopi yang ketiga mereka. Tapi kantuk tak jua hilang. Entah siapa yang duluan, mereka tertidur.

***

“MASYA ALLAH!,... kalian lagi ngapain? Orang-orang sudah salat kalian masih tidur! Mana berantakan lagi tempat ngaji!” hardik ustad Jajang sambil mengibaskan sorbannya ke arah Gibran dan Cahya.

Gibran dan Cahya gelagapan bangun. Dilihatnya ustad Jajang melotot ke arah mereka. Belum pernah ustad Jajang marah sehebat itu kepada mereka.

“JAM BERAPA SEKARANG?!...pantas saja aku lihat lampu sudah menyala tadi... rupanya kalian ya?” tegur ustad Jajang. “ Apa yang kalian lakukan?...salat cepaaatt!!!” sambung ustad Jajang masih marah.

Gibran dan Cahya bergegas ke tempat wudu. Ustad Jajang melihat kelakuan murid- muridnya itu sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda kesal.

Selesai salat, Gibran dan Cahya dipanggil ustad Jajang. Ditanyanya alasan kejadian tadi. Dengan malu-malu Gibran dan Cahya pun menceritakan duduk permasalahannya. Ustad Jajang tidak kuat menahan tawanya.

“HAHAHA...kalian yang aneh-aneh saja. Orang berbuat baik malah mau diintip, apa kalian tidak malu kalau orang itu melihat kelakuan kalian? Bukannya mencontoh perbuatan baik itu,” kata ustad Jajang sembari tersenyum.

“Tapi kami memang benar-benar penasaran pak ustad,” kata Gibran.

“Gibran, Cahya...dengarkan! Dahulu ada seorang sahabat Nabi yang setiap malam di saat penduduk kota terlelap tidur secara sembunyi-sembunyi memikul sekarung gandum demi menolong orang yang kelaparan. Dipikulnya karung itu menuju rumah si fakir yang anaknya terus menangis karena sudah beberapa hari belum makan. Demi menenangkan anaknya, si ibu miskin itu merebus batu. Seoalah-olah dia memasak makanan. Karena lama masaknya, anak itu pun tertidur ” cerita ustad Jajang tentang kisah sahabat nabi.

“Dan tahukah kalian siapa yang mengisi bak wudu masjid kita itu, dan apa hubungannya dengan kisah tadi?”tanya ustad Jajang. Gibran dan Cahya pun menggelengkan kepalanya.

“Dia adalah titisan sahabat Nabi...titisan akhlak sahabat Nabi yang tidak mau perbuatan baiknya diketahui oleh orang lain.” Kata ustad sembari tersenyum.

“Siapa orang itu pak ustad? “ tanya Gibran dan Cahya sangat penasaran..

“Orang itu adalah Joko, teman kalian. Aku sendiri melihatnya tidak percaya, Joko pulang pergi memikul ember berisi air dari rumahnya. Kita sering berburuk sangka kepada keluarganya. Dia yang kalian anggap tidak berbuat baik untuk almarhum ayahnya. Setiap menjelang Subuh, dia angkut beberapa ember air untuk mengisi bak wudu masjid kita. Sumur kepunyaan keluarga dia adalah satu-satunya yang tidak pernah kering di kampung ini, walaupun tidak hujan berbulan-bulan. Karena dulu waktu membuat sumur itu, penggali menemukan benda yang sering disebut urat cai, sumber air. Entah benar atau tidak cerita itu, kenyataannya memang sumur Joko tidak pernah kekurangan air. Sungguh Joko sudah berbuat sesuatu yang akan mengalirkan pahala kebaikan bagi almarhum ayahnya. Sebagai amal jariyah anak saleh,” pungkas ustad Jajang.

Gibran dan Cahya saling bertatapan. Tidak terasa kedua mata mereka berkaca-kaca begitu mendengarkan penjelasan ustad Jajang. Apalagi waktu dijelaskan bahwa Joko mengambil air dari rumahnya dengan memikul ember sangat mirip layaknya seorang pemikul karung gandum sahabat Nabi yang dikisahkan ustad Jajang. Latar belakang keluarga yang berasal dari etnis lain, membuat Joko masih malu untuk berbaur dengan warga sekitarnya.

***

Amanat yang bisa diambil dari cerita ini adalah, seperti halnya yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, jika kita memberi dengan tangan kanan, maka tangan kiri jangan sampai tahu.

Penulis adalah Dhysa Humaida Zakia Tempat. Lahir di Cimahi, 11 Desember 2005. Kelas XI IPS 4 SMAN 4 Cimahi. email: [email protected]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image