Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shopia Maya

Gak Percaya Diri? Hush, Jauh-Jauh!

Sastra | Tuesday, 14 Feb 2023, 12:10 WIB

Di hari yang cerah itu seorang lelaki memisahkan dirinya dari segerombolan orang yang diketahui teman seperkumpulannya. Sibuk dengan gawai di tangannya, ia tampak acuh dengan sekitar dan tenggelam akan dunianya sendiri, seakan tidak berniat untuk masuk ke dalam percakapan penuh semangat dari teman-temannya.

“Woy, Ren!” Lelaki yang dipanggil Ren itu mengalihkan pandangannya dari gawai ke seseorang yang memanggilnya. Ia mengangkat tangan kanannya seakan membalas sapaan tersebut.

“Diem-diem bae lo, nimbrung ngapa,” ucap Adam. Rendi yang mendengarnya hanya tersenyum kecil, dan berkata, “ngga ah males, gue gak ada niat gabung juga.”

“Lo kenapa kaga mau ikut nongkrong sih? Giliran ikut malah sibuk sendiri.” Mendengar pertanyaan Adam, Rendi meletakkan gawainya di meja yang berada di hadapannya.

“Ntahlah, gue gak minat aja, dan emang males aja ngobrol gitu, kecuali kalau penting.”

Adam yang mendengar jawaban Rendi menghela nafasnya seketika. Sebenarnya tidak ada masalah untuk tidak ikut nongkrong. Hanya jika sampai malas untuk ketemu orang itu sudah cukup parah. Adam mendudukkan dirinya tepat di sebelah Rendi yang sedang menyesap kopi pesanannnya itu.

“Ren, lo punya harapan buat sirkel temen lo kaga?” Rendi bingung dengan pertanyaan itu, namun ia tetap menjawab.

“Yang jelas saling menghargai lah, terus harus nyambung satu sama lain, dan lingkungan pertemanan gue harus sehat.”

Adam menganggukkan kepalanya tanda setuju. Siapa yang tidak mau lingkungan pertemanannya sehat? Semua orang pasti mau. Begitu pula dirinya. Namun melihat Rendi yang tidak memiliki usaha untuk mewujudkan harapan pertemanannya itu membuatnya mengusak rambut dengan frustasi.

“Lo sebenernya percaya diri ngga sih sama eksistensi lo?” Rendi lagi-lagi dibuang bingung dengan pertanyaan Adam, ia merasa dirinya seperti sedang diintrogasi oleh detektif kriminal, hahaha.

“Ya kinda off, gue lebih ke nunggu mood kalau mau kumpul gini, dan yang jadi masalahnya adalah mood itu jarang banget muncul.”

“Jangan gitu, Sob. Lo gak tau apa benefit lo ikut bersosialisasi?” Adam merangkul temannya itu dan melanjutkan, “Yang pertama dan paling banyak bermanfaat, lo bisa punya banyak temen dan menukar informasi yang lo butuhkan dan lo punya, yang kedua lo bisa mengalin kepribadian diri lo sendiri dan orang lain, yang ketiga lo bisa mengembangkan keahlian diri lo waktu bareng temen, siapa tau mereka punya sebuah keahlian dan lo tertarik, bisa jadi investasi buat masa depan tuh.”

Adam melihat temannya diam menundukkan kepala. Adam merasa bahwa Rendi merasa dirinya inferior dan tidak punya kepercayaan diri untuk menunjukkan sisi lain dalam dirinya yang bisa dieksplor lebih jauh lagi.

“Bro, gue tau Allah hanya menerima shalat dan ibadah dari orang yang merendahkan diri keagungan-Nya dan tidak sombong terhadap makhluk sesama. Tapi bukan berarti lo boleh merendahkan diri lo dari sesama makhluk-Nya. Dalam Islam, manusia itu setara dan sederajat. Lo itu sama kaya yang lain, jadi harus percaya diri akan diri lo dan mulai hidup dalam kehidupan sosial, karena lo gak akan bisa hidup sendiri.” Adam menepuk bahu Rendi dengan cukup kuat, bermaksud untuk menyemangatinya.

“Apa lagi lo anak Ahmad Dahlan, lo punya panutan tuh, anjay panutan. Maksudnya lo bisa lah liat beliau dan ngambil sikap sama sifatnya yang oke itu buat jadi acuan lo bersosialisasi.”

“Udah, segitu aja dari gue. Lo pikirin dan tuh benefit apa yang lo dapet dari diem aja misah sendiri. Semangat, bro.” Adam mengakhiri pembicaraannya dan kembali masuk ke dalam obrolan bersama teman-temannya.


Di sisi lain, seorang gadis yang berada di sudut ujung sana sibuk tenggelam dalam rangkaian demi rangkaian kata-kata yang berjejeran rapi dalam sebuah novel berjudul “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori. Seakan orang-orang yang berada di sekelilingnya tidak nampak dan bukan bagian dari dunianya pada saat itu.

Sheila yang tengah sibuk berbincang dengan yang lain menoleh dan melihat Milla, temannya tidak ikut untuk ngobrol bareng yang lain, ia takut bila Milla merasa bahwa ia dikucilkan, atau mungkin tidak cocok dengan topik obrolan yang sedang didiskusikan. Merasakan langkah kaki mendekat, Milla mengangkat kepalanya dan melihat Sheila yang memegang minumannya berdiri tepat di hadapannya. Milla seketika menutup novel tersebut setelah menyisipkan pembatas buku pada halaman terakhir ia membaca—agar tidak lupa.

“Kamu kenapa gak ikut nimbrung, Mil?" Usai duduk di samping Milla, Sheila melontarkan ujarannya pada Milla yang kini sedang menatapnya.

“Aku ngga bisa ikut alur topiknya, terlalu cepet buat aku, dan kayanya emang bukan topik yang cocok buat aku. Daripada aku bikin suasana jelek, aku misah aja.”

“Keadaan kaya apa sih yang bisa bikin kamu nyaman dalam lingkungan pertemanan?” Sheila lagi lagi melontarkan pertanyaan pada Milla.

“Kaya gini udah cukup nyaman buat aku, main handphone, baca novel, dan gak berinteraksi. Yang jelas kalau mau kumpul gini aku mau yang satu frekuensi sama aku, mulai dari hal kecil sampai topik ngobrol.”

“Terus kamu sendiri kenapa gak suka ikut nongkrong? Padahal kalau kamu sering kumpul bareng kita, bisa aja lama-lama kamu ikut jadi satu frekuensi?”

Milla berdiam sebentar lalu meneguk es teh miliknya yang esnya kini sudah kian mencair, menandakan bahwa ia sudah cukup lama berada di sana namun tidak ikut nimbrung dan hanya asik dalam bacaannya saja. Sejujurnya Milla merasa tidak enak karena sudah diundang namun ia malah memisahkan diri dari rombongan.

“Bukannya gak suka, cuma kadang kalian kalau nongkrong terlalu malam, dan aku gak bisa ikut kalau terlalu malam, dan aku agak gak percaya diri. Terus aku tetep mau cari yang satu frekuensi, gak perlu yang telalu besar dan banyak orang, dua atau tiga orang cukup asal gak bikin aku diem aja karena gak bisa ikut pembahasannya.” Milla menghembuskan nafasnya setelah menjawab pertanyaan Sheila. Sejujurnya ia takut bila jawabannya menyinggung salah satu temannya itu.

“Yah, satu frekuensi emang hal paling wajib dalam temenan, Cuma gak percaya diri kamu salah tuh.” Milla memiringkan kepalanya seakan bertanya pada Sheila maksud dari ucapannya itu.

“Nih ya, dalam surah Ali Imran ayat 139 Allah nyinggung soal kepercayaan diri, ‘Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang paling tinggi (derajatnya), jila kamu orang-orang yang beriman.’ Dan kamu orang yang beriman kan, jadi buat apa gak pede dan insecure?”

“Kamu tau gak kalau gak percaya diri bisa menghalangi untuk dapat hal-hal baik? Contohnya, kamu gak bisa mengembangkan kemampuan dengan maksimal. Dengan percaya diri kamu bisa mendapatkan hal-hal baik, seperti hasil dari belajar dengan maksimal, ramah terhadap orang lain, berpegang teguh dengan pendirian, dan terus berjuang di jalan kebenaran.”

“Insecure bukan untuk orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam seperti kita, apalagi kita anak Muhammdiyah yang merupakan generasi muda berakhlak mulia. Tentu harus percaya diri bahwa kita itu derajatnya tinggi, tapi bukan berarti sombong. Bersosisalisasi itu sangat banyak manfaatnya, Mil.”

“Makasih, La,” ucap Milla ketika mendengar ucapan Sheila yang benar adanya.

“Semangat, Mil. Aku yakin kok, kalau kamu percaya diri kamu bakal lebih bersinar dari siapa pun dan akan terus berguna bagi sekitar dan diri sendiri, yuk gabung ngobrol sekarang,” ujar Sheila mengakhiri pembicaraannya dan kembali masuk ke grup diskusi bersama dengan Milla di sampingnya.

Percaya diri menjadi kunci sukses untuk hidup di kehidupan sosial. Bukan hanya dalam berpendapat, menegakkan kebenaran dan keadilan, namun dengan menghargai diri sendiri dan cinta akan diri sendiri dapat membuat kehidupan menjadi lancar, sehingga bisa fokus untuk meraih cita-cita, menjalani kehidupan yang sudah jalan, dan melewati ujian serta rintangan dalam hidup yang diberi oleh Allah dan bertahan dalam kehidupan yang keras dan menjadi manusia yang sukses.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image