Guru, Joki Skripsi, dan Plagiasi
Politik | 2023-02-12 22:54:15Seiring maraknya kasus penjiplakan karya ilmiah di perguruan tinggi, praktik joki skripsi, tesis, dan disertasi juga terus berkembang. Dalam era digital, penyedia jasa pembuatan karya tulis untuk meraih gelar sarjana, master, dan doctor semakin berani berpromosi.
Karya akademis yang seharusnya dibuat sebagai tolok ukur pemahaman mahasiswa kini tidak lagi dianggap menjadi hal krusial yang harus dikerjakan sendiri.
Namun fenomena seperti itu marak ditemui. Hanya dengan menggunakan kata kunci ‘joki skripsi’ di mesin pencarian google, masyarakat akan mudah mendapatkan seluruh informasi, lengkap dengan biaya yang harus dikeluarkan.
Dengan menggunakan joki, mahasiswa sudah melakukan kebohongan dan tidak jujur atas apa yang diperbuat. Sekarang yang terjadi nggak usah capek sekolah karena dapat gelar gampang (dengan jasa joki),
Guru, bisa digugu lan ditiru. Jika mengikuti jarwa dhosok, permainan makna kata dalam bahasa Jawa, guru diartikan sebagai sosok yang bisa dipercaya dan diteladani.
Namun, posisi guru yang tinggi itu seperti terhempas, jatuh ke titik nadir, kala membaca laporan investigasi harian ini, dengan judul "Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah". Praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia terjadi masif dan sistematis. Praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar terjadi di kampus negeri dan swasta.
Perjokian itu melibatkan pejabat struktural kampus, dosen dan mahasiswa. Dosen dan mahasiswa yang perlu karya ilmiah bisa menggunakan jasa calo dari pihak luar kampus pula. Bahkan, banyak dosen hingga calon guru besar tertipu, karena menggunakan jasa pengelola jurnal ilmiah internasional abal-abal Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI), yang ternyata berkantor di pinggiran Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. (Kompas, 10/2/2023).
Modus perjokian itu adalah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal interna- sional bereputasi. Tim menyematkan nama dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat sebagai penulis di karya ilmiah itu, meskipun tak memiliki kontribusi aktif dalam pembuatan karya yang akan dipublikasikan. Langkah ini diduga untuk mendongkrak angka kredit dan meningkatkan akreditasi kampus.
Memang tidak semua orang dilahirkan dengan bakat menulis. Kelemahan menulis mahasiswa terlihat saat membaca makalah karya mahasiswa, dari semester pertama bahkan saat mereka semester ketujuh.
Meski hampir semua mata kuliah selama tujuh semester mewajibkan mahasiswa membuat makalah, keterampilan menulis mahasiswa masih rendah. Jika dalam satu semester mahasiswa menulis dua makalah saja, maka di semester tujuh, mereka sudah menulis 14 makalah. Seharusnya, menulis skripsi di semester delapan bukan masalah besar bagi mahasiswa.
Skripsi dan makalah dengan tema apa pun mudah didapat mahasiswa dari internet. Besar kemungkinan, mahasiswa tidak terlatih menulis karena mereka mendapatkan makalah dari internet. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan saat menulis skripsi.
Jasa pembuatan skripsi sangat mudah ditemukan oleh mahasiswa di sekitar kampus. Ketika skripsi menjadi syarat kelulusan, mahasiswa memanfaatkan jasa pembuatan skripsi tersebut karena tidak mau lama-lama kuliah atau terkena drop out.
Plagiasi dan joki skripsi merupakan peristiwa luar biasa yang mengarah pada budaya instan dan ketidakjujuran di kalangan mahasiswa. Apa pun alasannya, mahasiswa jelas terjangkit budaya instan. Dengan kata lain, meraih tujuan atau sukses tanpa mau bersusah payah. Maka, tidak bisa menulis bisa jadi bukan alasan tunggal mahasiswa melakukan plagiasi dan memakai joki skripsi, melainkan budaya instan tadi.
Mahasiswa juga sudah terbiasa dengan ketidakjujuran. Mengklaim makalah dan skripsi sebagai karya sendiri, padahal mengunduh dari internet. Kesibukan dan keterbatasan waktu dosen membuat praktik plagiasi di kalangan mahasiswa tidak terdeteksi. Jika dosen mengajar empat kelas dan setiap kelas ada 40 mahasiswa, maka ia harus memeriksa 160 makalah (minimal sekali) dalam satu semester.
Karena itu, diperlukan gerakan budaya antiplagiasi dan kejujuran di kampus. Selain penerbitan buku antiplagiasi dan papan peringatan, setiap dosen menanamkan pentingnya karakter jujur kepada mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa memiliki kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk tidak melakukan plagiasi dan menggunakan joki, meskipun kesempatan terbentang di hadapannya.
Memang tidak mudah mendapatkan gelar guru besar. Keberadaan seorang guru besar akan menaikkan pamor sebuah perguruan tinggi. Oleh sebab itu, bisa dipahami jika pimpinan lembaga pendidikan tinggi berkeinginan memiliki banyak profesor di kampusnya. Namun, upaya itu seharusnya tetap tak boleh mengabaikan etika. Apalagi, posisi guru sangat berharga di masyarakat. Tak ada bangsa yang bisa memiliki penduduk yang cerdas, terdidik, jika tak menghargai guru.
Dalam sejarah kependidikan di negeri ini, bukan kali ini saja sosok guru, termasuk dosen dan guru besar, tercoreng. Harian ini berulangkali mengabarkan guru yang terlibat kekerasan di sekolah, dan mayoritas korban itu muridnya. Di perguruan tinggi pun berulangkali diwartakan terjadinya kasus perjokian untuk seleksi masuk; jual beli "bangku"calon mahasiswa di kampus; perjokian untuk penulisan skripsi, tesis, atau disertasi; dosen atau guru besar mendaku karya mahasiswanya, dan plagiarisme oleh dosen, termasuk yang bergelar profesor.
Pelanggaran dan kejahatan etika itu dilakukan demi status berpendidikan tinggi, bergelar akademik tinggi, atau jabatan. Ingatlah, guru bukanlah jabatan politik. Guru, merupakan mata air tempat warga menemukan inspirasi kebaikan dalam hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.