Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Imam Wahyudin

Dari NU untuk DUNIA

Lomba | 2023-02-09 23:55:46

Menjadi bagian dari bangsa yang hidup di Negara majemuk dengan berbagai macam suku, agama, ras dan antargolongan sudah seharusnya kita dapat memaknainya sebagai rahmat pemersatu dalam naungan kebhinekaan, sesuai amanat butir-butir Pengamalan Pancasila sila ke-3 , Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan”.

Stigma negatif tentang perbedaan sangat bertolakbelakang dengan jati diri bangsa sesungguhnya yang ejak awal, cita-cita pembentukan wilayah nusantara adalah untuk menyatukan perbedaan (sumpah palapa) dan itu semua tidak akan terwujud apabila masing-masing kelompok mementingkan kultus kesukuan dan kelompok.

Umat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna dan sangat yang terang dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan negara Indonesia, utamanya dalam perlawanan menetang penjajahan Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia.

Begitu mendalamnya torehan sejarah yang dipahat umat Islam sepanjang masa Imperialisme di bumi Nusantara ini, sehingga kemanapun kita mencoba melacak jejak perjuangan dimasa penjajahan maka senantiasa pula akan kita temukan pijaran api semangat perjuangan Islam dimana-mana.

Mempelajari tentang sejarah perjuangan perlawanan umat Islam Indoneisa melawan penjajah Belanda, maka dalam perjalanannya akan kita temukan periode dimana bermunculan berbagai macam lembaga atau organisasi sosial dan keagamaan yang berjuang mewadahi kekuatan ummat sebagai salah satu potensi yang menopang untuk tegaknya kedaulatan negara.

Perjuangan umat Islam dan organisasi yang mewadahinya dapat dilihat mulai dari lahirnya SDI (Serikat Dagang Indonesia) tahun 1911 M yang kemudian pada tanggal 10 September 1912 menjadi wadah Serikat Islam (SI), kemudian muncullah organisasi Muhamadiyyah tahun 1912, kemudian disusul Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada 16 Rajab 1344 H (bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M) di Kota Surabaya oleh ulama besar, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai tonggak meneruskan perjuangan Wali Songo menegakkan dan mempertahankan syari’at agama, di sisi lain kondisi sosial dan politik saat itu sangat membutuhkan peran para ulama.

Nahdlatul Ulama (NU) dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan senantiasa dilandasi oleh dasar sharī’at Islam dan nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari atas nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi, hal ini dapat kita lihat bagaimana latar belakang Nahdlatul Ulama ini lahir, bagaimana peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan keutuhan NKRI. NU pimpinan KH. Hasyim Asy'ari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang berdasarkan atas syari’at Islam

Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas dan aman.

Pandangan Nahdlatul Ulama bahwa perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah yang Mahakuasa. Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang dimaknai sebagai jihad fi sabilillah. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam.

Menurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad merupakan satu amalan besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali, tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakanya bila suatu saat diserang oleh orang kafir. Oleh karena itu menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks melawan penjajah Belanda, memberikan fatwa jihad mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir Belanda, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah yang artinya:“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas.“

Dari dasar al-Qur’an ini maka Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat bahwa jihad memerangi penjajah Belanda wajib hukumnya, disinilah pimpinan NU terutama KH. Hasyim Asyari sebagai komandan organisasi NU ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad, Hasilnya pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama di kantor NU Jawa Timur mengeluarkan keputusan resolusi jihad itu. Karena itulah KH. Hasyim Asy’ari diancam hendak ditangkap Belandal, namun KH. Hasyim Asy’ari tidak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah. Bahkan ketika Bung Tomo meminta KH. Hasyim mengungsi dari Jombang, Kiai Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan, hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional NU; hubbul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).

Semangat dakwah anti kolonialisme sudah melekat pada diri KH. Hasyim sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. KH. Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan. Sikap anti penjajahan juga sempat membawa KH. Hasyim masuk bui ketika masa penjajahan Jepang.

Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan Saikerei yaitu menghormati Kaisar Jepang Tenno Heika dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB. Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Namun KH. Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya haram dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ruku dalam shalat, hanya diperuntukkan menyembah Allah. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu Dewa Langit. Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, KH. Hasyim Asyari yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang.

Kemudian dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari kedua tangannya remuk tak lagi bisa digerakkan. Itulah pemikiran NU yang sangat gigih menentang segala bentuk penjajahan hukumnya wajib karena perintah agama, hal ini sejalan dengan garis perjuangan ulama-ulama pendahulunya yang senantiasa memberikan hukum wajib jihad untuk mengusir Belanda, sebagaimana di kutib pendapat dari ulama Palembang yaitu Syekh Abd al-Shamad al-Palimbany, yang mengatakan bahwa perang melawan orang kafir hukumnya farḍu ‘ain berlaku apabila orang-orang kafir menginvasi wilayah kaum Muslimin.

Seluruh penduduk berkewajiban mempertahankan wilayahnya semaksimal mungkin. Bahkan, bila terpaksa siapapun tanpa terkecuali baik anak-anak, perempuan, faqir miskin wajib ikut jihad sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Haram hukumnya bagi prajurit lari dari medan perang bila telah berjumpa dengan pasukan.

NU menganut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menyebarkan syiar dengan memilih pola pikir jalan tengah (washatiyah) antara ekstrim rasionalis dan ekstrim skripturalis yang termaktub dalam visinya, “Berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat, dan demi terciptanya rahmat bagi semesta”.

Berbeda dengan Organisasi Islam di Indonesia yang lain, NU sangat melekat dengan kondisi kultur sosial-tradisionalnya. Para kiyai menempatkan dirinya sebagai pengayom dan pendamping masyarakat hingga pada tingkat kampung-kampung, dengan tujuan agar pesan-pesan dakwah mampu dinikmati seluruh warga hingga daerah terdalam yang notabene adalah kalangan menengah ke bawah.

Dalam melaksanakan tugas keumatan, NU menaruh perhatian mendalam pada kondisi sosial, budaya, dan politik tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Aktifnya Organisasi Islam yang berbasiskan Pesantren ini dalam perjuangan merebut kemerdekaan NKRI dari para penjajah juga menjadi bukti bahwa NU dari awal pendiriannya murni dari segala kepentingan kecuali untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Berkat konsolidasi aktif yang dilakukan KH. Hasyim dengan banyak tokoh-tokoh muslim dunia seperti, Muhammad Ali Jinnah (Pakistan), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Sulta Pasha Al-Athrasi (Suriah), dan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko) yang kemudian dalam konferensi para ulama (Jam’iyah NU) tercetuslah fatwa fenomenal pada tanggal 22 Oktober 1945 dan dikenal sebagai resolusi jihad yang menekankan wajibnya perang melawan penjajah.

Spirit perlawanan hasil dari konferensi itu benar-benar menyulut semangat seluruh komponen bangsa untuk turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Kolonial Belanda pada masa Agresi Militer II, utamanya adalah para santri dari berbagai Pesantren di banyak daerah yang tergerak untuk terlibat dalam aksi turun ke medan perang. Puncaknya, terjadilah perang pada 10 November 1945 di Surabaya yang dipimpin oleh Pemuda bernama Sutomo alias Bung Tomo dan kemudian membakar semangat arek-arek Surabaya dengan pekikan kalimat takbirnya.

Di tengah era globalisasi yang melahirkan ideologi kapitalisme, kedaulatan wilayah KRI menghadapi tantangan dari upaya-upaya pencaplokan pulaupulau terpencil oleh karena itu negara dituntut ekstra sensitif untuk menjamin keamanan negaranya dari ancaman kedaulatan bangsanya. Dengan segala dampak yang menguntungkan dan merugikan dari globalisasi, negara diwajib- kan untuk lebih memperhatikan keamanan dari perspektif non-konvensional. Dimana aspek-aspek ideologi, ekonomi, budaya, sosial-politik, teknologi, militer, dan pertahanan negara sebagai dimensi yang bisa terancam sewaktu-waktu oleh siapapun dan negara manapun.

Ancaman yang harus kita tanggulangi dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa harus segera ditangani secara serius, dikarenakan wilayah Indonesia baik darat maupun perairan memiliki kekayaan alam yang melimpah sehingga menjadi sasaran negara lain untuk memiliki dan menguasainya.

Bahaya pencaplokan pulau-pulau terpencil yang dilakukan oleh negara lain, dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU), bahwa hubungan antara bangsa baik di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan harus dilakukan berdasarkan atas prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan serta membuang segala bentuk eksploitasi dan penjajahan. Karena itu segala bentuk investasi dan bantuan asing haruslah diletakkan sebagai upaya emansipasi rakyat bukan sebaliknya untuk menciptakan ketergantungan dan mematikan kreativitas bangsa.

Nahdlatul Ulama (NU) menolak liberalisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya yang sangat gencar menjajah bangsa lain atas nama pasar bebas dan globalisasi, karena prinsip ini telah digunakan untuk menguasai bangsa lain, sehingga merusak tatanan sosial bangsa lain.

Selain itu kehidupan negara dan rakyat menjadi sangat tergantung pada negara besar sehingga mengakibatkan kehidupan rakyat makin sengsara. Nahdlatul Ulama (NU) menolak segala bentuk pengambil alihan aset strategis negara baik sektor ekonomi atau sektor pendidikan dan kebudayaan oleh pihak asing, dengan alasan privatisasi, divestasi atau pun komersialisasi. Demikian juga pengambil alihan aset strategis yang bersifat geografis seperti pencaplokan pulau terpencil sampai soal penggeseran tapal batas Negara Republik Indonesia yang marak belakangan ini adalah merupakan bentuk kolonialisme yang harus ditolak dan segera dihentikan operasinya, karena tindakan tersebut benar-benar telah melanggar kedaulatan Negara dan menghina martabat rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Perspektif Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan menjaga kedaulatan bangsa dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NU menganjurkan untuk senantiasa memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural dengan cara menanamkan sikap menghargai perbedaan lewat komunikasi dialog dalam konteks mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.

Merespons berkembangnya upaya disintegrasi dan perpecahan antara bangsa kita sendiri yang mengakibatkan hilangnya komitmen kebangsaan terhadap integritas dan kesatuan bangsa yang disebabkan oleh dampak negatif globalisasi, kebebasan berpendapat dan ekspresi tanpa batas, yang mengakibatkan munculnya gerakan separatism, radikalisme, konflik ras dan agama yang mengancam kesatuan negara Republik Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan di negara ini. Menurut NU disintegritas bangsa, gerakan separatisme, radikalisme, konflik ras dan agama ini akan menghancurkan tertib dan struktur sosial yang sudah mapan, sehingga merusak relasi sosial, yang kemudian memunculkan rasa saling curiga dan saling membenci yang berujung pada konflik sosial.

Dalam situasi sekarang penguatan komitmen kebangsaan tidak bisa dijalankan dengan cara paksaan apalagi kekerasan tetapi perlu strategi kebudayaan baru untuk menata hubungan sosial dan hubungan antar bangsa berdasarkan kesetaraan dan kesukarelaan, sehingga solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan bisa diwujudkan dengan baik penuh kedamaian, oleh karenanya bagi warga Nandliyin bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan. Menanggapi bahaya pencaplokan pulau-pulau terpencil oleh negara lain, menurut KH. Chalid Mawardi (mantan Ketua PBNU yang juga mantan Dubes RI untuk Syria) berpendapat bahwa Nahdlatul Ulama (NU) akan berusaha secara maksimal untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dari pencaplokan negara lain, seperti kasus pencaplokan pulau Natuna oleh China, kasus kawasan blok Ambalat yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, menurut Chalid Mawardi untuk menyelesaikan masalah pulau Natuna, blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia, pemerintah Indonesia sebaiknya menempuh jalur diplomasi bilateral.

Sedangkan menurut Rozi Munir (mantan Ketua PBNU bagian hubungan luar negeri yang juga mantan Menteri BUMN), bahwa Nahdlatul Ulama (NU) mengharapkan agar diutamakan penyelesaian diplomasi atas masalah tersebut. NU telah terbukti sejak dahulu berupaya mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang dilakukan oleh para sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) seperti KH. Wahab Hasbullah, KH Munasir, KH. Sullam, dan lainnya. Dalam hal ini, masih menurut Rozy Munir bahwa Nahdlatul Ulama (NU) akan berusaha secara maksimal berperan aktif untuk mempertahankan kedaulatan bangsa ini dari pencaplokan negara lain, seperti kasus kawasan Ambalat yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, maka menurut Nahdlatul Ulama (NU) kawasan blok Ambalat harus dipertahankan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara menjalin komunikasi antar ormas dan ulama, baik di Indonesia maupun dari Malaysia.

Namun demikian, juga mengingatkan bahwa konflik ini sudah melibatkan pihak ketiga, yaitu para perusahaan minyak yang mengeksplorasi kawasan tersebut, oleh karena itulah kedua belah pihak harus berhati-hati agar tidak dimanfaatkan oleh pihak ketiga demi kepentingan mereka untuk memperkaya diri. Berbeda menurut Maksum Zuber mantan Koordinator Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU) bahwa dia siap mengamankan kepulauan Indonesia walaupun harus mengerahkan massa, dan dia menghimbau agar pemerintah dan DPR mengambil langkah tegas dengan melayangkan sikap protes ke Kedubes Malaysia di Jakarta untuk menghentikan pencaplokan kawasan blok Ambalat ini.

Prinsip NU (Nahdlatul Ulama) tentang mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI adalah prinsip utama bagi umat Islam untuk menjaga keutuhan negara Indonesia pada saat ini. Hal ini semakin penting karena Indonesia tengah menghadapi persoalan serius yaitu kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional, dimana muncul adanya keinginan dari beberapa daerah untuk memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut KH. Syaifuddin (Wakil Katib Syuri’ah NU Jawa Timur) pemerintah perlu berupaya untuk penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Daerah sehingga aturan tersebut nantinya tidak mengilhami suatu daerah untuk memisahkan diri dari negara nasional dan aturan tersebut dibuat harus didasari atas semangat menjaga kedaulatan, keutuhan NKRI serta untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karenanya menurut NU bahwa konsistensi menjaga persatuan untuk memperkokoh integritas bangsa, keutuhan NKRI dan Pancasila adalah hal yang mendasar bagi rakyat Indonesia secara umum dan bagi warga nahdliyyin secara husus. Karena keutuhan NKRI dan falsafah bangsa “Pancasila” selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas. Pertumbuhan muslim di kawasan-kawasan mayoritas non muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan

Tantangan perjuangan pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan pun berbeda dengan era globalisasi sekarang ini karena faktor digitialisasi di berbagai sektor memberikan dampak serius bagi islam dan bangsa. Persoalan kemiskinan, kesehatan, pangan, energi, keamanan yang merupakan imbas dari ketegangan antar-negara juga perlu mendapatkan perhatian serius.

Sebagai Organisasi Islam terbesar, banyak kader-kader jempolan yang tersebar hampir di seluruh lapisan instansi negeri ataupuns swasta. Jaringan yang dibangun dalam unsur pendidikan, eksekutif dan legislatif maupun di berbagai parpol dan organisasi kemasyarakatan lain menjadi kekuatan mendasar bagi pondasi NU agar lebih kokoh dan mudah dalam mengakselerasikan isu-isu kemanusiaan yang kini menjadi fokus perjuangan.

Struktural NU dan badan otonomnya seperti, Muslimat (lahir pada 29 Maret 1946) dan Fatayat NU (lahir 24 April 1950) banyak memberikan sumbangsih dalam rangka mengangkat derajat dan peradaban manusia di bidang pendidikan-sosial keagamaan misalnya, dalam bentuk pembinaan terhadap 59.600 da’iyah majelis ta’lim yang dilakukan oleh Himpunan Daiyah dan Majelis Taklim (HIDMAT) NU, 16.600 Taman Pengajian Al-Qur’an, 16.300 Roudlatul Athfal/Taman Kanak-kanak, serta menghidupkan 144 Panti Asuhan untuk anak-anak yatim piatu dan terlantar yang tersebar di beberapa daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Rembang, Denpasar, Jepara, Probolinggo, Pekalongan, Bone, Kudus, Kendal, dan daerah-daerah lain.

Gerakan Pemuda Ansor, Banser, IPNU dan IPPNU juga berkontribusi aktif dalam misi kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial lain serta solusi atas berbagai problematika kebangsaan. Kolaborasi NU dengan berbagai elemen lintas kelompok, agama, bahkan negara untuk menggalakkan aksi bersama akan lebih efektif, terlebih NU yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan konsep washatiyahnya ini menjadi nilai tambah dan terlepas dari segala macam hambatan perbedaan.

Perluasan dan penguatan relasi NU dengan mendirikan PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) di luar negeri tidak hanya sekadar formalitas administratif. Walaupun PCINU di beberapa negara belum terlihat maksimal, namun PCINU di Korea Selatan berhasil menginspirasi Cabang lain dengan kemampuannya menghimpun pergerakan ekonomi seperti pembentukan koperasi dan penyediaan sembako.

Selain itu juga, keberhasilan membangun tujuh buah Masjid di sana menjadi basis dalam berdakwah memberikan kesan positif dan daya tarik bagi warga lokal Korea Selatan untuk berikrar syahadat, hasil dari keberkahan metode dakwah yang dikembangkan warga nahdliyin di sana sekaligus menjadi agen-agen perdamaian dengan pondasi aqidah dan konsep amaliyah yang berkarakter.

Di bidang kesehatan, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan klinik yang berafilisai dengan Nahdlatul Ulama di berbagai wilayah di Indonesia saat ini diantaranya, RSNU Tuban, RSU Syubanul Wathon (Magelang), RSU Muslimat (Ponorogo), RS Islam Darus Sifa (Surabaya), RSI Sultan Agung (Semarang), Klinik Pratama NU (Tegal), Klinik NU Mranggen (Demak), Klinik Khasanah Medica NU (Indramayu) dan hampir di 50 daerah lainnya.

Di bidang ekonomi, sejak tahun 2011 NU menunjukkan langkah kongkrit dengan membentuk Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) untuk menghimpun dan memperkuat soliditas pengusaha Nahdliyin yang juga turut berperan dalam menggeliatkan roda perekonomian nasional, hingga kini tercatat sudah terbentuk cabang HPN di Inggris, Hongkong, dan Jepang.

Keaktifan Fatimah (Ketua HPN Mandataris di Hongkong) dalam mengedukasi dan memberikan advokasi terhadap para WNI di Hongkong terutama buruh migran wanita akan maksimalkan untuk kemudian melakukan pemberdayaan kewirausahaan. Ekspo-ekspo seperti di Samarinda, Bali yang diadakan oleh HPN Cabang menjadi media pemulihan dengan pemberdayaan untuk 300 UMKM agar para pengusaha UMKM memilik gairah kembali untuk pulih dari situasi buruk semasa pandemi.

Dengan kiat-kiat strategis yang dilakukan seluruh kaum Nahdliyin, bukan tidak mungkin Indonesia di tahun Pasar Bebas ini akan mampu bertahan dan memaksimalkan segal potensi yang dapat menopang keberlanjutan peranannya di perekonomian dunia.

Oleh karenanya, tidak berlebihan jika Negara menjadikan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional karena tekat beliau mengeluarkan fatwa resolusi jihad yang dengan itu mampu mengobarkan semangat para pejuang untuk melawan dan merebut NKRI dari tangan para penjajah. Sudah sepantasnya juga, mendapatkan apresiasi dari negara sebagai wujud penghormatan dengan menjadikan Hari Santri pada 22 Oktober sebagai momentum semangat kemerdekaan yang diisi dengan berbagai kegiatan keguyuban bangsa Indonesia.

Sebab jasa beliau dan para ulama besar lain Nahdlatul Ulama ada sampai sampai saat ini mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam persoalannya, hingga di moment satu abad NU kini telah mencapai masa keemasannya dengan mulai memasuki gerbang abad kedua.

Stigma negatif tentang perbedaan sangat bertolakbelakang dengan jati diri bangsa sesungguhnya yang ejak awal, cita-cita pembentukan wilayah nusantara adalah untuk menyatukan perbedaan (sumpah palapa) dan itu semua tidak akan terwujud apabila masing-masing kelompok mementingkan kultus kesukuan dan kelompok.

Merespon berbagai peristiwa di masa pra-kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada 16 Rajab 1344 H (bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M) di Kota Surabaya oleh ulama besar, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai tonggak meneruskan perjuangan Wali Songo menegakkan dan mempertahankan syari’at agama, di sisi lain kondisi sosial dan politik saat itu sangat membutuhkan peran para ulama.

NU menganut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menyebarkan syiar dengan memilih pola pikir jalan tengah (washatiyah) antara ekstrim rasionalis dan ekstrim skripturalis yang termaktub dalam visinya, “Berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat, dan demi terciptanya rahmat bagi semesta”.

Berbeda dengan Organisasi Islam di Indonesia yang lain, NU sangat melekat dengan kondisi kultur sosial-tradisionalnya. Para kiyai menempatkan dirinya sebagai pengayom dan pendamping masyarakat hingga pada tingkat kampung-kampung, dengan tujuan agar pesan-pesan dakwah mampu dinikmati seluruh warga hingga daerah terdalam yang notabene adalah kalangan menengah ke bawah.

Dalam melaksanakan tugas keumatan, NU menaruh perhatian mendalam pada kondisi sosial, budaya, dan politik tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Aktifnya Organisasi Islam yang berbasiskan Pesantren ini dalam perjuangan merebut kemerdekaan NKRI dari para penjajah juga menjadi bukti bahwa NU dari awal pendiriannya murni dari segala kepentingan kecuali untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Berkat konsolidasi aktif yang dilakukan KH. Hasyim dengan banyak tokoh-tokoh muslim dunia seperti, Muhammad Ali Jinnah (Pakistan), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Sulta Pasha Al-Athrasi (Suriah), dan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko) yang kemudian dalam konferensi para ulama (Jam’iyah NU) tercetuslah fatwa fenomenal pada tanggal 22 Oktober 1945 dan dikenal sebagai resolusi jihad yang menekankan wajibnya perang melawan penjajah.

Spirit perlawanan hasil dari konferensi itu benar-benar menyulut semangat seluruh komponen bangsa untuk turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Kolonial Belanda pada masa Agresi Militer II, utamanya adalah para santri dari berbagai Pesantren di banyak daerah yang tergerak untuk terlibat dalam aksi turun ke medan perang. Puncaknya, terjadilah perang pada 10 November 1945 di Surabaya yang dipimpin oleh Pemuda bernama Sutomo alias Bung Tomo dan kemudian membakar semangat arek-arek Surabaya dengan pekikan kalimat takbirnya.

Tantangan perjuangan pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan pun berbeda dengan era globalisasi sekarang ini karena faktor digitialisasi di berbagai sektor memberikan dampak serius bagi islam dan bangsa. Persoalan kemiskinan, kesehatan, pangan, energi, keamanan yang merupakan imbas dari ketegangan antar-negara juga perlu mendapatkan perhatian serius.

Sebagai Organisasi Islam terbesar, banyak kader-kader jempolan yang tersebar hampir di seluruh lapisan instansi negeri ataupuns swasta. Jaringan yang dibangun dalam unsur pendidikan, eksekutif dan legislatif maupun di berbagai parpol dan organisasi kemasyarakatan lain menjadi kekuatan mendasar bagi pondasi NU agar lebih kokoh dan mudah dalam mengakselerasikan isu-isu kemanusiaan yang kini menjadi fokus perjuangan.

Struktural NU dan badan otonomnya seperti, Muslimat (lahir pada 29 Maret 1946) dan Fatayat NU (lahir 24 April 1950) banyak memberikan sumbangsih dalam rangka mengangkat derajat dan peradaban manusia di bidang pendidikan-sosial keagamaan misalnya, dalam bentuk pembinaan terhadap 59.600 da’iyah majelis ta’lim yang dilakukan oleh Himpunan Daiyah dan Majelis Taklim (HIDMAT) NU, 16.600 Taman Pengajian Al-Qur’an, 16.300 Roudlatul Athfal/Taman Kanak-kanak, serta menghidupkan 144 Panti Asuhan untuk anak-anak yatim piatu dan terlantar yang tersebar di beberapa daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Rembang, Denpasar, Jepara, Probolinggo, Pekalongan, Bone, Kudus, Kendal, dan daerah-daerah lain.

Gerakan Pemuda Ansor, Banser, IPNU dan IPPNU juga berkontribusi aktif dalam misi kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial lain serta solusi atas berbagai problematika kebangsaan. Kolaborasi NU dengan berbagai elemen lintas kelompok, agama, bahkan negara untuk menggalakkan aksi bersama akan lebih efektif, terlebih NU yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan konsep washatiyahnya ini menjadi nilai tambah dan terlepas dari segala macam hambatan perbedaan.

Perluasan dan penguatan relasi NU dengan mendirikan PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) di luar negeri tidak hanya sekadar formalitas administratif. Walaupun PCINU di beberapa negara belum terlihat maksimal, namun PCINU di Korea Selatan berhasil menginspirasi Cabang lain dengan kemampuannya menghimpun pergerakan ekonomi seperti pembentukan koperasi dan penyediaan sembako.

Selain itu juga, keberhasilan membangun tujuh buah Masjid di sana menjadi basis dalam berdakwah memberikan kesan positif dan daya tarik bagi warga lokal Korea Selatan untuk berikrar syahadat, hasil dari keberkahan metode dakwah yang dikembangkan warga nahdliyin di sana sekaligus menjadi agen-agen perdamaian dengan pondasi aqidah dan konsep amaliyah yang berkarakter.

Di bidang kesehatan, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan klinik yang berafilisai dengan Nahdlatul Ulama di berbagai wilayah di Indonesia saat ini diantaranya, RSNU Tuban, RSU Syubanul Wathon (Magelang), RSU Muslimat (Ponorogo), RS Islam Darus Sifa (Surabaya), RSI Sultan Agung (Semarang), Klinik Pratama NU (Tegal), Klinik NU Mranggen (Demak), Klinik Khasanah Medica NU (Indramayu) dan hampir di 50 daerah lainnya.

Di bidang ekonomi, sejak tahun 2011 NU menunjukkan langkah kongkrit dengan membentuk Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) untuk menghimpun dan memperkuat soliditas pengusaha Nahdliyin yang juga turut berperan dalam menggeliatkan roda perekonomian nasional, hingga kini tercatat sudah terbentuk cabang HPN di Inggris, Hongkong, dan Jepang.

Keaktifan Fatimah (Ketua HPN Mandataris di Hongkong) dalam mengedukasi dan memberikan advokasi terhadap para WNI di Hongkong terutama buruh migran wanita akan maksimalkan untuk kemudian melakukan pemberdayaan kewirausahaan. Ekspo-ekspo seperti di Samarinda, Bali yang diadakan oleh HPN Cabang menjadi media pemulihan dengan pemberdayaan untuk 300 UMKM agar para pengusaha UMKM memilik gairah kembali untuk pulih dari situasi buruk semasa pandemi.

Dengan kiat-kiat strategis yang dilakukan seluruh kaum Nahdliyin, bukan tidak mungkin Indonesia di tahun Pasar Bebas ini akan mampu bertahan dan memaksimalkan segal potensi yang dapat menopang keberlanjutan peranannya di perekonomian dunia.

Oleh karenanya, tidak berlebihan jika Negara menjadikan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional karena tekat beliau mengeluarkan fatwa resolusi jihad yang dengan itu mampu mengobarkan semangat para pejuang untuk melawan dan merebut NKRI dari tangan para penjajah. Sudah sepantasnya juga, mendapatkan apresiasi dari negara sebagai wujud penghormatan dengan menjadikan Hari Santri pada 22 Oktober sebagai momentum semangat kemerdekaan yang diisi dengan berbagai kegiatan keguyuban bangsa Indonesia.

Sebab jasa beliau dan para ulama besar lain Nahdlatul Ulama ada sampai sampai saat ini mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam persoalannya, hingga di moment satu abad NU kini telah mencapai masa keemasannya dengan mulai memasuki gerbang abad kedua.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image