Melampaui Argumen AI sebagai Ancaman Eksistensial Manusia
Teknologi | 2023-09-01 00:01:20Sekitar Juli lalu, agenda Artificial Intelligence (AI) for Good Global Summit 2023 tuntas diselenggarakan oleh International Telecommunication Union, Lembaga Riset naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Konon, tidak hanya para ahli di bidangnya yang rembug di sana, sembilan Robot Humanoid tak ketinggalan mendampingi. Robot-robot tersebut diminta urun gagasan guna menyelesaikan persoalan global.
Momentum yang bagi beberapa kalangan cukup “mencengangkan” itu, di kala “kini” dan ke “depan” berpotensi makin bersemi. Terlebih diskusi tentang AI yang seakan tak pernah surut, penelitian bertajuk AI yang terus berkembang, juga hiruk pikuk netizen di media sosial kian melekatkan AI dalam jagat kehidupan kita.
Perkembangan AI: Momentum Penyadaran Manusia
Meski istilah AI dicetuskan dan populer via Konferensi Dartmouth, 1956, di mana nama John McCarthy menjadi sorotan, praktik terkait AI sebetulnya sudah beroperasi sejak sedia kala.
Sependek AI dipahami semacam program komputasional yang memungkinkan hadirnya otomatisasi teknologi, al-Jazari (Abu al-Izz Ismail ibn al-Razzaz al-Jazari) sebenarnya telah menelurkannya dalam bentuk pompa air, jam terlebih robot humanoid, kisaran Abad ke-12. Termasuk, kreasi matematikawan ulung, Alan Turing, yang digelari “Mesin Turing” tahun 1930 adalah sebentuk implementasi AI yang konon juga mencikalbakali komputer. Interaksi manusia-AI tersebut terus berlanjut dan semarak lewat penggunaan kalkulator, jam tangan, radio, televisi, komputer dari masa ke masa dan lain-lain.
Barulah, perjumpaan dengan produk AI, sebut saja smarthpone, menayangkan guncangan psikologis yang seakan makin membuncah. Fenomena Gen Z Amerika yang meninggalkan smartphone, disinyalir terkait erat dengan kesehatan mental. Spesifiknya, menurut Guru Besar Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya, Prof Nurul Hartini adalah agar terhindar dari gangguan mental, fisik dan aktivitas sosial (Kompas.com, 23/05/2023).
Cuittan Elon Musk di twitter yang berbunyi “ChatGPT is scary good,We are not far from dangerously Strong AI” adalah dengung kewaspadaan tentang perkembangan AI. Founder dari Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi juga ikut menyoal keamanan dan batasan aktualisasi AI yang harapannya tidak menerjang tapal batas pikiran manusia.
Bahkan, ketika Bos ChatGPT sekaligus OpenAI, Sam Altman menyambangi Indonesia, Nadiem Makarim mengutarakan kekhawatirannya terhadap ChattGPT sebab berpotensi mengikis peran guru. Di sisi lain, pencanggihan robot-robot humanoid pun menggeliatkan isu perihal lenyap dan munculnya suatu pekerjaan dan atau pengalihan pekerjaan-pekerjaan tertentu dari manusia ke robot.
Hemat saya, bertebarannya produk AI dibarengi pelbagai dampaknya, justru merupakan (salah satu) momentum sekaligus neraca bagi penyadaran manusia akan eksistensinya.
Sejenak Memaknai Kita “Manusia” dan Teknologi
Sebelum justifikasi tentang AI sebagai ancaman eksistensial manusia ditegakkan, mari sejenak, menilik eksistensi kita, “manusia” berikut teknologi.
Dimulai dari tujuan penciptaan manusia, yang hakikatnya tidak dimaksudkan untuk menghancur-leburkan tatanan kehidupan. Misal saja, dalam Islam tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah yang dikonkretkan setidaknya menjadi dua peran, sebagai “hamba” dan “khalifah” dengan muara tegaknya kebenaran, keadilan, kebaikan dan pencegahan serta perlawananan atas kezaliman. Pun dalam bahasa agama atau keyakinan-keyakinan spiritual lain, mestinya (secara umum) “pro terhadap keadilan dan kontra dengan kezaliman” meski pendalaman dan perluasannya tentu bersifat khas.
Kesadaran manusia atas tugas atau perannya tersebut, secara konsekuen mensyaratkan peningkatan kapasitasnya. Kapasitas yang dimaksud meliputi, spiritual, intelektual maupun moral seraya berharap Rahmat Sang Pencipta. Peningkatan kapasitas ini, selain berupa usaha memumpuk perbekalan juga menampakkan peneguhan otentisitasnya sebagai manusia dengan beragam anugerah-Nya, yang terbedakan dari lian. Lantaran, ketika perangkat epistemiknya (pengetahuan) tidak berfungsi dengan benar, ia tak ubahnya seperti hewan bahkan lebih rendah yang barang tentu tidak karuan.
Juga yang tak boleh luput diinsafi, sejauh AI sebagai teknologi merupakan produk dari buah pikir manusia, secara logis posisi manusia tetap pada “penunggang” dan teknologi menjadi tunggangngannya. Ke arah mata angin mana ia menuju tentu berkelindan dengan yang menunggangi. Eksistensi AI dan segenap perkembangannya seperti menyingkapkan pengetahuan dan pemaknaan manusia atas “sesuatu” sebagai yang mengasasi “ke-ada-aan” dan kiprah AI.
AI bukanlah Ancaman, Asalkan...
AI bukanlah ancaman, asalkan AI sebentuk (salah satu) peneguh tujuan penciptaan manusia. AI ibarat instrumen yang turut andil menyukseskan peran manusia dalam merealisasikan kehendak penciptaannya. Manusia yang insaf atas tujuan penciptaannya mesti memahami, minimal bersama AI, ia tidak berbuat kerusakan, kezaliman di muka bumi dan malah menebar manfaat (maslahat) hingga taraf mengkalkulasi, kiranya di kawasan mana penerapan AI mampu terhindar dari “malapraktik”.
AI bukanlah ancaman, asalkan manusia menginsafi hakikat “ke-ada-annya”. Selagi konsekuen dengan pengembangan kapasitasnya diiringi pendalaman terus-menerus terhadap otentisitasnya sebagai “hamba” dan “khalifah”, AI sukar menjadi momok, terlebih “senjata makan tuan”. AI tetaplah tunggangngan manusia, yang dapat “liar” serta menggilas jika dan hanya jika manusia terlempar dari hakikat kemanusiannya yang otentik.
AI adalah teknologi yang semestinya berelasi konstruktif dengan manusia.
#hutrol28 #lombanulisretizen #republikawritingcompetition
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.