Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Hari Wardhana

Kebangkitan Ulama Membangkitkan Peradaban

Lomba | Thursday, 09 Feb 2023, 11:47 WIB

Secara harfiah, nama Nahdlatul Ulama (NU) memiliki makna kebangkitan ulama. Sebagai pewaris perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ulama adalah ujung tombak dalam upaya membangun peradaban Islam. Ada sebuah pertanyaan reflektif yang bisa diajukan dalam suasana peringatan 1 abad NU. Peradaban Islam seperti apa yang dibangun oleh organsiasi Islam terbesar di Indonesia itu?

Lahirnya Nahdlatul Ulama tidak bisa dilepaskan dari suasana kolonialisme asing di atas bumi Indonesia. Dengan membawa misi triple G (Gold, Gospel, Glory), para penjajah hadir bukan hanya untuk mengeruk kekayaan alam dan mendirikan kekuasaan atas Indonesia tetapi juga secara massif menyebarkan agama di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim.

Membaca situasi tersebut, NU didirikan untuk mempertahankan peradaban Islam yang anti penjajahan. Sentuhan pemikiran ulama seperti KH Wahid Hasyim dan KH Masykur yang menjadi anggota BPUPKI ikut mewarnai perumusan Undang-Undang Dasar 1945. Preambule konstitusi negara Indonesia itu secara tegas mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Pemikiran Islami juga tersurat pada kalimat pengakuan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Pasca proklamasi kemerdekaan, tokoh besar NU juga menjadi figur penting dalam jihad kebangsaan untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah membaca gelagat bahwa Belanda berupaya menguasai kembali Indonesia melalui pasukan Sekutu, KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, berinisiatif mengumpulkan ulama pada tanggal 21 – 22 Oktober 1945. Selama dua hari itu para kyai membahas status hukum negara Indonesia dan merespon kedatangan pasukan Sekutu di Surabaya serta beberapa daerah lainnya. Dari musyawarah para kyai inilah lahir Resolusi Jihad yang memfatwakan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban setiap muslim.:

Selain peradaban anti imperalisme, tokoh-tokoh besar NU memahami sepenuhnya bahwa Islam hanya bisa bangkit jika dibangun di atas peradaban ilmu. Kesadaran ini dilandasi oleh turunnya wahyu pertama dari Allah berupa surah Al Alaq yang ayat pertamanya “Iqra’ bismirabbikalladzi khalaq.” (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan).

Berdasarkan penafsiran para mufassirin, ayat ini memerintahkan manusia untuk mempunyai kemampuan membaca, baik yang tersurat maupun tersirat melalui berbagai fenomena alam. Dengan membaca yang dilanjutkan dengan proses berpikir, setiap hambaNya akan memperoleh banyak ilmu bermanfaat.

Pembangunan peradaban ilmu ini telah dimulai oleh KH Hasyim Asy’ari sebelum jauh NU didirikan. Sejak usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari sudah mulai mengembara untuk nyantri ke berbagai pesantren di Jawa. Salah satu gurunya adalah Kyai Kholil di Bangkalan, Madura.

Ketertarikannya yang kuat terhadap ilmu Islam membulatkan tekadnya untuk berguru ke tanah suci Mekkah selepas menunaikan rukun Islam kelima. Disana beliau belajar ilmu hadits kepada Syekh Mahfudh At Tarmisi, seorang ulama dari Tremas Jawa Timur yang mengajar ilmu hadits di Makkah. Selain itu selama di Mekkah Hasyim Asy’ari juga belajar ke banyak ulama. Salah satunya adalah Syaikh Ahmad Khatib yang mengajarkan fiqh Mazhab Syafii.

Perjalanan panjangnya sebagai santri itulah yang menjadikan KH Hasyim Asy’ari dikenal luas sebagai salah satu ulama besar dengan keluasan ilmu Islam. Berbekal ilmunya itulah beliau berkontribusi untuk melawan penjajah. Tekad untuk mengabdikan keilmuannya untuk kejayaan Islam dan masyarakat di negaranya bahkan telah diikrarkan sejak di Multazam bersama teman-temannya dari Malaysia, Brunei, Afrika dan Timur Tengah.

Penguatan peradaban ilmu di lingkungan pesantren kemudian dilakukan oleh KH Wahid Hasyim. Beliaulah yang mengemukakan gagasan inovatif untuk memodifikasi sitem pembelajaran di pesantren kepada ayahnya sendiri.

Berawal dari pandangannya bahwa sistem di pesantren sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, beliau mengusulkan beberapa perubahan mendasar. Perubahan pertama adalah memasukkan pelajaran umum yang semula dianggap tabu dalam kurikulum pesantren. Kedua adalah mengubah metode pembelajaran dari bandongan menjadi tutorial yang sistematis. Dengan motode ini diharapkan santri bukan hanya pasif mendengar, menulis catatan dan menghafal pelajaran, tetapi juga aktif berdiskusi. Untuk menghidupkan metode tersebut, didirikanlah perpustakaan pesantren sehingga guru tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya sumber belajar. Boleh dibilang, KH Wahid Hasyim adalah pelopor pembudayaan literasi di lingkungan pesantren.

Jejak peradaban yang dibangun kedua tokoh besar NU itulah yang bisa dijadikan cermin. Bisa ditarik pemahaman bahwa NU didirikan dengan misi idealis bukan pragmatis.

Sumber foto: https://www.republika.co.id/

#lombanulisretizen, #lombavideorepublika. #satuabadnu, #akudannu

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image