Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Vivi Nurwida

Naiknya Biaya Haji, Ibadah Dikapitalisasi?

Agama | Friday, 03 Feb 2023, 09:13 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jamaah haji menjadi sebesar 69 juta rupiah. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara itu 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar 29,7 juta rupiah. Yaqut beralasan kebijakan ini diambil demi menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan (Cnnindonesia.com, 20-01-2023).

Kaum Muslim tentunya berupaya untuk bisa melaksanakan rukun Islam kelima ini. Namun, biaya haji ini terus mengalami kenaikan, bahkan tahun ini melonjak dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Lantas, benarkah ini mengindikasikan bahwa ibadah tengah dikapitalisasi?

Kapitalisasi Ibadah

Kenaikan biaya haji ini tentu hal yang disayangkan banyak pihak. Bahkan, kenaikan biaya haji ini mengindikasikan bahwa pemerintah hanya menganggap haji hanyalah terkait ibadah ritual belaka. Kebijakan yang ditelurkan juga hanya berorientasi pada materi belaka. Semakin banyak kuota haji, berarti akan makin banyak keuntungan yang diperoleh. Pemerintah berlindung dibalik dalih menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.

Paradigma Kapitalisme ini telah menjadikan dana haji sebagai dana yang sayang jika tidak untuk dimanfaatkan. Keinginan untuk menjalankan ibadah haji harus bergesekan dengan paradigma bisnis dan kemanfaatan yang dimainkan negara. Untung rugi menjadi pertimbangan dalam perjalanan ibadah yang semestinya tidak terjadi.

Padahal, sejatinya tidak diperkenankan menjadikan dana jamaah sebagai investasi, sebab tidak memenuhi prinsip pengembangan harta dalam kacamata Islam. Sudah semestinya, pengelolaan dana haji menjadi sesuatu yang transparan. Prinsip yang mesti dilakukan pemerintah semestinya adalah pengaturan urusan umat, melayani dan membantu penduduknya bisa melaksanakan ibadah dengan baik, tanpa embel-embel bisnis.

Antrean yang panjang juga semestinya diselesaikan pemerintah. Semestinya pemerintah menyediakan kuota yang realistis, tidak ada pembagian perjalanan ibadah haji khusus dan regular. Kemudahan setoran awal yang ringan juga menyebabkan antrian memanjang dan tata kelola yang tidak pas.

Tata kelola yang baik, dan biaya haji seharusnya harus riil, kuota per tahun juga harus jelas. Pemerintah semestinya tidak membiarkan antrean semakin memanjang hingga harus menunggu puluhan tahun lamanya.

Paradigma Sistem Islam Terkait Ibadah Haji

Dalam Islam, ibadah haji bukanlah ibadah ritual-spiritual belaka, ibadah haji adalah ibadah yang memiliki sisi politis ideologis. Ibadah haji adalah simbol persatuan umat, yang semestinya tidak dikomersialisasi. Maka penting, bagi umat adanya sistem pemerintahan Islam yang akan mengatur ibadah ini dengan sebaik mungkin.

Khalifah akan memberikan pengaturan kuota jamaah haji dan umrah, negara akan menggunakan data kependudukan untuk menentukan prioritas keberangkatan. Selain itu, pemerintah akan menegaskan aturan ibadah ini hanya wajib satu kali bagi yang mampu dan memenuhi syarat.

Biaya haji juga dihitung bukan dengan paradigma bisnis, melainkan dengan hitungan jarak wilayah asal jamaah tersebut. Tidak diperlukan lagi paspor ataupun visa, bagi jamaah yang asal wilayahnya tergabung dengan daulah Islam, sedangkan visa digunakan oleh jamaah yang masih tinggal di luar wilayah daulah Islam.

Pembangunan infrastruktur untuk memudahkan para jamaah haji dibangun oleh Khalifah bukan untuk mencari keuntungan, melainkan dengan prinsip melayani urusan umat. Tidak diperkenankan pula bagi negara menggunakan dana haji dari umat untuk pembangunan infrastruktur.

Khalifah Sultan Hamid II, pernah membangun sarana transportasi massal jalur kereta api dari Istambul, Damaskus hingga ke Madinah. Khalifah Harun ar-Rasyid juga pernah membangun jalur haji dari Irak ke Hijaz , di masing-masing titik tersebut dibangun pos pelayanan umum yang menyediakan logistik, termasuk di dalamnya memberikan dana zakat bagi yang tengah kehabisan bekal. Semua itu dibangun bukan dari sana yang disetorkan jamaah untuk berhaji, melainkan dari dana Baitul mal negara.

Sudah semestinya, negara memfasilitasi kerinduan penduduknya yang beragama Islam, akan tanah suci dengan baik. Karena seorang pemimpin adalah pengatur urusan umat, dan akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk dalam urusan ibadah haji.

Wallahu a'lam bisshowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image