Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghofiruddin Alfian

Kemunafikan Negatif

Sastra | Thursday, 16 Dec 2021, 13:27 WIB
mohamed matar dari Pixabay" />
Gambar oleh mohamed matar dari Pixabay

Baiklah, seberapa banyak yang ingin terungkap akhir-akhir ini sebenarnya tidaklah seberapa. Berapa dalam arti kuantitas dan bukan dalam hal kualitas. Karena saat bicara kualitas ternyata pengungkapan rahasia-rahasia kecil itu begitu banyak menguras tenaga. Dan kalau bicara tentang kuantitas, sebenarnya mereka hanyalah satu atau dua. Hanya saja kemungkinan konsekuensinya saja yang bisa tidak terkira, yang ketika dipikirkan terlalu serius bisa menimbulkan bentuk-bentuk kualitas tegangan di dalam pikiran yang terkadang orang-orang yang terlalu berbudaya dengan semena-mena menyebutnya sebagai bentuk kegilaan.

Baiklah permasalahan yang pertama muncul di dalam sebuah cerita sederhana ketika seorang 'saya' mengunjungi kakak perempuannya untuk menemani anak bungsunya belajar Matematika. Malam itu tidak seperti biasa, karena mereka kedatangan seorang tamu istimewa yaitu paman mereka yang memiliki semacam aura positif untuk mempengaruhi pikiran orang-orang di sekitarnya. Setelah mendiskusikan perihal acara arisan rutin yang akhirnya 'saya' masih sangat enggan untuk datang itu, sang paman beralih kepada 'saya'.

Sang paman memberikan informasi perihal seorang ibu yang sedang mencarikan seorang calon suami untuk anak perempuan semata wayangnya. Ibu ini adalah teman ibu 'saya' dulu, kata sang paman. Dan anak perempuannya itu adalah petugas perpustakaan di salah satu sekolah menengah negeri yang ada di kabupaten tempat tinggal mereka. Ibu itu memberikan syarat kepada calon suami anak perempuannya itu bahwa dia adalah seorang lelaki yang bisa adzan dan juga mampu menjadi imam shalat berjamaah.

Tentu saja karena informasi itu diberikan kepada 'saya', maka sang paman pun bertanya kepada 'saya', apakah dia bisa adzan dan menjadi imam shalat. Dalam hati kecil 'saya' dia sungguh tidak bisa, bukan dalam hal urusan teknis sebenarnya alasan 'saya'. Namun karena dalam hal yang bersifat religius bagi 'saya' harus ada keterpaduan antara hal yang bersifat eksistensial dengan yang esensial. Atau, dengan kata lain segala ucapan yang dikumandangkan, yang bisa didengar oleh telinga-telinga yang tidak tuli serta gerakan-gerakan yang bisa diikuti, yang bisa dilihat dan dicermati oleh mata-mata yang tidak buta itu harus berpadu dan bersatu penuh dengan hati yang menjadi esensi jatidiri terdalam.

Memikirkan itu 'saya' merasa tidak sanggup. Hanya saja karena saat itu terpercik kesombongan di dalam diri 'saya' yang menanggapi informasi itu sebagai sebuah tantangan, maka dia pun hanya mengiyakan dengan sangat penuh keraguan yang mendalam. Saking ragunya dia tidak sampai berani memandang mata sang paman ketika berbicara.

Sebenarnya di dalam keraguan tersebut masih terasakan sebuah keyakinan dengan kata ‘tidak’ yang lantang dan jalang di dalam pikiran. Namun karena sebuah perasaan sungkan, perasaan takut menyakiti hati orang lain yang telah dengan sukarela memberikan kebaikan, akhirnya yang muncul di atas permukaan adalah ungkapan-ungkapan ‘iya’ yang superfisial disertai dengan senyuman palsu yang aneh untuk sekejap menghindar dari beban perasaan karena dialektika di dalam yang terlalu kurang ajar.

Akhirnya pada titik tertentu ketika kesunyian kembali datang, lahirlah sebuah kesimpulan tentang adanya sebuah kemunafikan negatif, yaitu sebuah kemunafikan yang dalam persetujuannya yang bersifat permukaan ditujukan untuk menjaga perasaan orang lain, meskipun hanya sementara. Dan kesungguhannya adalah penolakan yang merajalela agar dirinya sendiri tetap bebas seperti apa adanya, bahkan jika harus ketinggalan jaman dan terasingkan dari gemerlap keuntungan material.

Kemunafikan negatif ini berbeda dengan konsep kemunafikan yang biasanya, katakanlah sebut saja dengan kemunafikan positif. Jika dalam kemunafikan negatif, konsep kemunafikan yang sebenarnya mengandung nilai rasa negatif tersebut dinegasikan, sehingga justru memiliki tujuan dan maksud yang positif. Kemunafikan positif sebaliknya.

Dalam kemunafikan positif, nilai negatif dari kemunafikan justru dipertegas sedemikian rupa dengan cara melakukan suatu tindakan yang dianggap baik oleh orang lain sebagai kamuflase dari maksud dan tujuan jahat yang bersemayam di dalam hati dan pikiran. Di titik tertentu kebaikan jenis ini akan meminta tumbal berupa seduhan hangat kenikmatan duniawi yang jika tidak direalisasikan akan terus menagih hingga keterdesakan dan ketersedakan adalah titik akhir yang paling pantas.

Bahkan sebenarnya, tidak ada yang final dari sebuah realisasi parsial kehidupan dunia yang didasari dari tingkah kemunafikan. Seorang munafik miskin yang bercita-cita menjadi orang kaya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Seperti pada cerita-cerita klise, mungkin orang munafik miskin itu akan melakukan banyak sekali perbuatan baik yang kasat mata sehingga citra sebagai orang baik itu akan melekat di pandangan orang lain. Citra yang baik ini akan memudahkannya untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan dari pihak lain, terutama dari orang-orang berhati terlalu baik yang seringkali berpikiran terlalu naif.

Ketika simpati dan kepercayaan sudah didapatkan, di titik tertentu kebaikan yang sedari awal ditunjukkan tersebut akan bertransformasi menjadi segumpal parasit yang akan menggerogoti tubuh inangnya. Pada akhirnya, parasit tersebut memiliki tubuhnya sendiri, dan inang yang semula menjadi tempatnya mendapatkan kecukupan akan disingkirkan karena sebuah kekhawatiran inang yang telah dikalahkannya itu akan menjadi parasit yang akan numpang di tubuh yang telah didapatkannya dan akan menggerogotinya balik. Dan, kekhawatiran yang menyebabkan tiadanya kedamaian ini akan selalu menjadi stimulus prasangka seorang munafik tadi dalam mengarungi sisa hidupnya. Sebuah finalitas hanya akan benar-benar didapatkannya saat berhadapan dengan maut.

Sesungguhnya, tentang yang positif dan yang negatif ini selalu terjadi tumpang tindih di dalam jiwa seorang manusia. Tidak ada seorang manusia pun yang pada saat di dalam dirinya sendiri maupun saat dihadapkan dengan orang-orang lain selalu berada pada sebuah nilai yang positif.

Seseorang yang menganggap dirinya sendiri hanya diisi dengan sebuah nilai positif, kemungkinan besar orang seperti itu adalah orang yang sedikit sekali atau bahkan tidak pernah melakukan refleksi di dalam hidupnya. Pikiran dan hatinya telah tertimbun oleh tanah keegoisan yang menyebabkan relung-relung di dalamnya tidak tertembus cahaya dan tidak terdapati udara-udara luar yang memberikan sensasi elektromagnetik dari dunia luar yang berbeda.

Di sisi yang sebaliknya, seseorang yang menganggap dirinya sendiri dipenuhi oleh sebuah nilai negatif, justru dapat dikatakan sebagai orang yang berkesadaran tinggi. Hanya saja energi dari sebuah kesadaran itu akan diarahkan ke mana. Tetap dalam kenegatifan di mana orang tersebut akan menetapkan sebuah keterkungkungan depresif untuk dirinya sendiri, atau justru dia akan mengarah kepada sebuah titik cahaya yang berpendaran di kejauhan untuk memanfaatkan energi tersebut demi sebuah kemashlahatan hidup bersama. Hanya diri sendirilah yang sanggup menemukan sebuah jalan yang terbuka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image