Ada Murid Bertanya Kepada Gurunya, Buat Apa Kami Susah-Susah Sekolah?
Curhat | 2023-01-20 12:44:18Saya masih bekerja sebagai pengajar di sekolah kejuruan kala itu, ketika ada seorang murid yang bertanya, jika lulus nanti kami menemukan fakta bahwa pekerjaan manusia sudah digantikan oleh robot, lantas buat apa hari ini kami sekolah?
Harapan mereka sederhana saja setelah lulus sekolah. Bisa mendapatkan pekerjaan, tidak jadi beban orang tua, dan mampu hidup dengan layak secara mandiri. Orang tuanya pernah berharap, begitu anak-anak mereka lahir, berdoa agar anak-anak ini dapat berguna bagi nusa dan bangsa.
Alangkah berat bagi seorang bayi yang masih rapat matanya, sudah mengemban amanat undang-undang. Tapi begitu selesai menempuh pendidikan, mendapatkan pekerjaan dan tak jadi beban orang tua dan masyarakat, itu sudah cukup berguna bagi mereka.
Saya mencoba memahami kecemasan di balik pertanyaan itu. Bagi saya memang terdengar ironi. Kita tahu, kemajuan teknologi selalu dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sejarah robot AI misalnya, diawali pada 1900. Ditandai dengan perkembangan teori dari para pakar matematika sekaligus filsuf seperti George Boole, Bertrand Russel, dan Alfred North Whitehead. Pada 1930, tercetus pemikiran untuk memberikan pengetahuan ke dalam mesin. Penggagasnya adalah Alan Turing, penemu Turing Machine dan Teori Tes Turing.
Ilmu pengetahuan terus berkembang dan ikut mempengaruhi kemajuan zaman. Hingga pada 1950, para ilmuwan seperti John McCarthy, Herbert Alexander Simon, Allen Newel, Marvin Lee Minsky, dan Edward Albert Feigenbaum, mulai merumuskan istilah AI (Kecerdasan Buatan).
Istilah AI muncul pertama kali pada 1956 di Konferensi Dartmouth. Perkembangannya terus berlanjut, hingga ditemukannya mesin yang dapat mengolah data pada era 1980-an dan penemuan internet di era 2000. Hari ini kita merasakan sendiri manfaat dari penemuan itu. Tak hanya untuk kehidupan sehari-hari dalam mengakses informasi, tetapi juga di dunia industri.
Akan tetapi di sisi lain, anak ini telah menyadari kerugian dari kemajuan zaman itu sendiri. Kita bisa membayangkan secara imajinatif, anak-anak ini nantinya harus bekerja jauh lebih keras lagi dibandingkan kita hari ini. Banting tulang hingga seremuk-remuknya, berpikir sampai otak meleleh.
Baca Juga: Guru Tanah Merah
Karena sebagai manusia, ia harus lebih unggul dari robot-robot itu. Dengan cara apapun, yang penting hidup. Anak ini mungkin tak sanggup membayangkan jika dirinya harus bertahan hidup sebagai gembel di sebuah kota metropolis.
Di lain hari, saya sempat membaca sebuah artikel yang tampaknya merupakan hasil rekomendasi Google. Muncul begitu saja di beranda penelusuran. Judul artikel ini menarik perhatian saya, meski kontennya bukanlah sesuatu yang baru.
Isinya membeberkan sepuluh pekerjaan yang kelak bakal diambil alih robot dengan kecerdasan buatan. Dan sialnya, pekerja pabrik menjadi salah satu jenis pekerjaan yang bakal direbut robot.
Mungkinkah murid ini menyadari kenyataan itu? Bisa jadi, cepat atau lambat. Fakta bahwa kebutuhan industri semakin meningkat pesat, sementara kecepatan manusia tak mampu melampauinya. Maka hadirlah robot dengan kecerdasan buatan ini. Dengan program tertentu, secara otomatis dapat bekerja lebih cepat dan efisien membantu memenuhi kebutuhan industri untuk mencapai target perusahaan.
Akankah keterampilan dan kemampuan murid ini berujung sia-sia? Ada ribuan peserta didik di sekolah kejuruan yang berharap ketika lulus nanti, mereka telah mumpuni di bidangnya. Dengan penuh semangat mereka melamar kerja, dari barat ke timur dan dari timur ke barat.
Baca Juga: Yang Penting Sehat, Supaya Kita Bisa Kembali Lagi Mengobati Nasib yang Sakit
Mereka mencetak ratusan aplikasi dan membungkusnya di map coklat, mengirimnya satu persatu ke setiap perusahaan. Masih kurang, mereka mengirim ratusan email dengan tujuan yang sama. Ribuan map dan email itu masuk ke perusahaan, bertindihan selama berbulan-bulan bagai tumpukan berkas usang di perpustakaan tua.
Sebagian orang tua mungkin berpikir, menyekolahkan anak masih menjadi alternatif investasi yang menguntungkan bagi anak-anak itu sendiri. Mereka merasa, tak jadi masalah anak-anak sekolah dengan kurikulum seperti apapun dan seburuk apapun. Mereka bakal bayar berapapun harganya. Yang penting begitu lulus, anak-anak bisa mendapatkan pekerjaan dan bisa hidup dengan normal.
Sebenarnya, apakah tujuan sekolah hanya segitu saja? Masalahnya bukan terletak pada tujuan. Ada banyak orang bijak yang menyatakan bahwa proses lebih penting dari tujuan. Dengan kata lain, tak ada masalah dengan tujuan pendidikan seperti yang tertera pada UU No. 4 tahun 1950 (Pasal 3 dan 4), UU No. 2 tahun 1985, atau UU No. 20 tahun 2003.
Jika proses belajar mengacu pada kurikulum, maka kita dapat melihat apakah prosesnya hari ini dapat berjalan dengan baik. Seorang praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, dalam dialognya bersama anggota dewan pernah memberikan pernyataan bahwa tak ada salahnya gonta-ganti kurikulum, sekadar pertanda ketidakwarasan saja. Pernyataan beliau sudah cukup mewakili kegelisahan saya sebagai pengajar kala itu.
Pertanyaan murid tentang robot yang bakal menguasai pekerjaan manusia di masa depan itu, hanya bisa saya jawab dengan enteng: kamu bisa bekerja di pabrik robot. Hari ini saya tidak lagi bekerja sebagai pengajar dan mencoba menanyakan topik yang sama kepada diri saya sendiri. Sialnya, seperti murid itu, saya malah menemukan diri saya sedang menghadapi kecemasan yang sama akan hari-hari mendatang.
Bekasi, 2023
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.