Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gilang Ramadhan

Guru Tanah Merah

Curhat | Friday, 20 Aug 2021, 20:26 WIB
Diedit di Canva

Biarkan orang yang telah lama mati memberikan ruang kepada orang yang baru mati. Lebih kurang begitulah saur Kundera. Kalimat itu melekat di ingatanku. Jika kau pernah membaca buku cerita berjudul Cinta yang Mengundang Gelak Ngakak, tentu saja kau tahu kalau kalimat yang kukutip itu merupakan salah satu judul pada babnya. Tetapi yang ingin kubicarakan bukanlah perkara seorang lelaki yang hendak pulang ke rumahnya dengan menyusuri sebuah jalan di kota kecil Bohemia itu. Ketertarikanku tertuju pada bagaimana kalimat itu dengan entengnya bicara soal kematian

Dulu sekali, salah seorang guru mengajiku pernah memberi wejangan. Aku lupa topik apa yang tengah diaji saat itu, seingatku ini hanya sebuah momen refleksi sesudah membaca Iqra’. Tapi aku takkan lupa apa yang ia katakan, bahwa kematian merupakan guru terbaik bagi kita. Aku masih ingusan waktu itu. Dan yang kutahu tentang guru adalah orang yang mengajari kita kebaikan dan kebijaksanaan hidup. Aku bingung bagaimana kematian mengajari kita hal itu, sementara ia sendiri selama berabad-abad telah membunuh banyak makhluk hidup. Aku bingung di mana letak kebaikan dan kebijaksanaannya. Bentuk lain dari kematian adalah kesedihan. Ia membuat ibuku menangis ketika kehilangan ayahnya selama-lamanya. Ia juga membuat ayahku menangis ketika kehilangan ibunya selama-lamanya. Begitulah kiranya yang kusadari, hingga kelak aku mengalaminya sendiri.

Apa yang diajari oleh kematian yang belakangan ini terjadi nyaris setiap hari? Ia merenggut kehidupan ribuan manusia dengan penuh rasa nyeri tanpa memandang usia. Aku tahu, kematian memang terjadi setiap hari. Kita menerimanya sebagai takdir tak terelakkan. Penyebab kematian hari-hari ini, seperti yang kau tahu, juga bukanlah sesuatu yang baru. Kurasa ini melampaui ironi seorang wanita atau lelaki tua yang ditinggal sendirian begitu saja di hari-hari terakhir dalam hidupnya, dan terkurung keheningan dan imobilitas. Orang lain yang lebih muda darinya menyadari kenyataan kelam itu. Apalagi yang dinantinya selain kedatangan malaikat maut? Anak-anak muda ini tetap menikmati kehidupan sebagaimana mestinya mereka menjalani hidup

Setiap guru mengajari kita kebijaksanaan hidup melalui ilmu pengetahuan. Perlu kugarisbawahi, yang kumaksud sebagai guru ialah manusia sejati dengan kehendak luhur memanusiakan manusia. Bukan mereka yang semata-mata bertugas mengisi ribuan lembar kertas kosong dengan bayang-bayang dunia tanpa imajinasi. Jika bentuk lain dari kematian ialah guru, maka demikiankah ia mengajari kita hari ini? Kita pandangi bentangan tanah merah yang merupakan sebuah sekolah. Di sanalah mereka berkumpul dan berada, guru terbaik bagi kehidupan. Aku tahu, sebetulnya mereka ada di mana-mana. Tetapi ingatanku akan kematian selalu ditandu ke pemakaman. Selama pagebluk ini terjadi, di sanalah guru kita melakukan rapat akbar untuk membahas soal ujian hidup. Bunyi sirine menggantikan bunyi bel masuk sekolah, menggema melalui ambulan sebagai mobil antarjemputnya. Sementara, seandainya kita semacam kertas kosong itu, kitalah peserta didik yang mencoba membuka-buka kembali lembar demi lembar halaman pelajaran menjelang ujian.

Seseorang pernah mengatakan ini kepadaku, “Apa yang ditinggalkan kematian bukanlah masa lalu, melainkan masa depan”. Itu pernyataan sekaligus pertanyaan yang mengetuk hatiku setiapkali aku melewati jalan tengah di tanah merah itu. Masa depan seperti apa yang ditinggalkan oleh kematian? Sebagaimana yang sudah-sudah, seringkali aku melupakan pertanyaan genting itu. Apa bedanya jika kau menerima segalanya? Hidup tetap berlangsung, sementara kematian bagi kita semua, hanya caranya yang berbeda. Dan, apapun yang terjadi, hidup atau mati: matahari tetap menghangatkan tulang-tulang kita. Kita masih bisa menikmati hari ini seperti kita menikmati segelas kopi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image