Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Puspa Kenanga

Tunaikan Fardu Kifayah untuk Muslim Rohingya

Agama | Wednesday, 18 Jan 2023, 10:52 WIB

Muslim Rohingya telah lama teraniaya di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Selama bertahun-tahun banyak yang melarikan diri ke negara tetangga seperti Thailand dan Bangladesh, ke Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim. Terutama ketika laut tenang di bulan November dan April.

Satu juta orang hidup dalam kondisi penuh sesak di Bangladesh dan ratusan ribu melarikan diri dari penumpasan mematikan oleh militer Myanmar pada tahun 2017. Tetapi militer Myanmar selalu menyangkal melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hingga saat ini, Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, serta belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan demikian, Pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia (https://www.unhcr.org/id/unhcr-di-indonesia).

Catatan lembaga PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR, hingga September 2021 jumlah pengungsi dari Myanmar yang mayoritas etnis Rohingya di Indonesia mencapai 707 orang. Tapi sejumlah warga Aceh mengaku terganggu dengan kehadiran mereka. Beni Murdani yang tinggal di Lhokseumawe mengatakan, mereka resah karena beberapa kali para pengungsi membuat ulah.

Hingga sekarang masalah pengungsian dunia termasuk muslim Rohingya belum juga teratasi. PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR terkesan tidak serius untuk menyelesaikan masalah pengungsian. PBB sampai sekarang tidak mendorong negara lain untuk membantu pengungsi Rohingya, atau bahkan memaksa dan menekan negara lain mengingat posisi PBB di dunia. Seharusnya dengan kekuasaannya, PBB mampu memaksa suatu negara atau beberapa negara untuk menampung pengungsian.

Indonesia sendiri sudah menerima cukup banyak pengungsi. Tetapi dengan status belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967), maka Indonesia merasa kurang memiliki tanggungjawab terhadap para pengungsi tersebut. Adapun yang dilakukan Indonesia menampung pengungsi Rohingya semata karena alasan kemanusiaan.

Di sisi lain PBB tidak menekan pemerintah asal pengungsi Rohingya, yaitu Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negeri yang membuat warga muslim rohingya diusir dari negerinya sendiri. Inilah sikap hipokrit lembaga dunia ini. Apalagi justru mendorong adanya solusi pragmatis dengan menampung pengungsi dari Rohingya. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa solusi persoalan Rohingya tidak akan terselesaikan secara tuntas dan pengungsi Rohingya akan terus terlunta-lunta.

Dalam pandangan Islam, menolong sesama manusia baik muslim atau non muslim merupakan fardlu kifayah. Fardhu kifayah, menurut Imam an-Nawawi:

ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِعٍ لاَيَعْلَمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَتِهِ إِلاَّ هُوَ

Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia.

Dengan kata lain, fardhu kifayah itu bisa tetap menjadi fardhu kifayah, dan bisa juga berubah menjadi fardhu ‘ain. Menjadi fardhu ‘ain ketika kewajiban tersebut hanya bisa dikerjakan oleh orang, atau sekelompok orang tersebut. Atau, kemungkinan kedua, tidak ada orang lain, yang ada hanya orang atau sekelompok orang itu. Dalam kondisi seperti ini, hukumnya fardhu ‘ain. Sebabnya, kalau mereka tinggalkan, atau tidak mereka kerjakan, fardhu kifayah tersebut tidak akan terlaksana. Inilah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di atas.

Di sisi lain, sifat kewajiban, baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, dinyatakan gugur, atau selesai, jika sudah dilaksanakan dan kewajiban tersebut terlaksana. Jika sudah dilaksanakan, tetapi belum selesai, maka kewajiban tersebut belum gugur. Jadi, dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim. Semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban tersebut hingga benar-benar terwujud.

Dalam konteks inilah, fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain. Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:

خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّه وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ.

(Fardhu Kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, ketika mereka langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. (https://al-waie.id/soal-jawab/betulkah-menegakkan-khilafah-fardhu-kifayah/)

Dalam kasus pengungsi Rohingya, jika sudah ada yang menolong mereka hingga mereka diakui sebagai warga negara suatu negara dan mendapatkan kehidupan yang layak, maka InsyaAllah sudah tertunaikan fardlu kifayah tersebut dengan sempurna. Faktanya sampai sekarang mereka masih terlunta-lunta meskipun ada PBB sebagai badan dunia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa fardlu kifayah tersebut belum tertunaikan, bahkan menjadi fardlu ‘ain bagi seluruh kaum muslimin. Sedangkan kewajiban ini tidak bisa ditunaikan oleh seseorang atau sekelompok orang saja karena terkait dengan status kewarganegaraan.

Yang dibutuhkan pengungsi Rohingya adalah sebuah negara yang mau menerima mereka sebagai warga negara dan mau memberikan perlindungan kepada mereka. Negara tersebut tidak lain adalah negara khilafah. Hanya negara khilafah yang mampu menggugurkan kewajiban seluruh kaum muslimin dalam menolong pengungsi Rohingya. Allahu’alam bishawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image