Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Konflik Etnis dan Tragedi Manusia: Etnis Rohingya di Myanmar

Politik | 2024-06-03 11:42:47

Oleh: Nurul Hichmah, Gregory Henry Erari*

Siapa orang Rohingya? Sumber: https://www.thejournal.ie/explainer-rohingya-myanmar-3588151-Sep2017/

Rohingya dan Konflik Etnis

Etnis adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas, budaya, perbedaan fisik hingga agama yang berbeda yang tak jarang menimbulkan konflik. Kelompok etnis Rohingya telah sejak lama menghadapi diskriminasi oleh pemerintah Myanmar. Awal mula konflik ini terjadi ketika pemerintahan Militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1962. Pada masa itu juga terjadi diskriminasi politik terhadap etnis minoritas yang dilakukan oleh pemerintah terutama terhadap etnis Rohingya yang dianggap bukan berasal dari Burma. Di bawah kekuasaan militer Ne Win yang berkuasa hingga tahun 2000, masyarakat Rohingya mengalami situasi yang sulit, hingga konflik mencapai puncaknya pada tahun 2012 tepatnya ketika media internasional mulai mengungkap kebenaran konflik yang terjadi di kalangan masyarakat Rohingya. Konflik etnis yang dilatarbelakangi perbedaa agama antara Rakhinne (Budhhis) dan Rohingya (Muslim) telah menimbulkan banyak pelanggaran kemanusiaan seperti pembunuhan, pembakaran rumah dan melakukan diskriminasi dengan tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar.

Lalu, siapa sebenarnya etnis Rohingya? Secara sederhana, etnis Rohingya merujuk pada orang-orang Muslim yang tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang secara historis dikenal sebagai Arakan. Myanmar merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Buddha, namun Rohingya yang sebagian besar beragama Islam telah tinggal di Rakhine sejak berabad-abad yang lalu. Keberadaanya telah menimbulkan kompleksitas di negara tersebut. Etnis Burmese sebagai etnis mayoritas tidak menerima keberadaan etnis Rohingya yang kemudian hal tersebut memicu penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah Myanmar. Di sisi lain, kaum nasionalis Buddha menuntut bahwa Rohingya bukan bagian dari sejarah Myanmar yang telah berusia 2.200 tahun, dan mengklaim bahwa Rohingya adalah imigran ilegal dari Bengali (Ullah, 2c017). Meskipun telah tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine selama berabad-abad, Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982 menyepakati bahwa Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan namun memberikan kewarganegaraan kepada 135 kelompok etnis kecuali Rohingya.

Perbincangan mengenai etnis Rohingnya mendapatkan pusat perhatian dunia pada tahun 2012, ketika tindakan kekerasan yang awalnya dilakukan secara acak disana berubah menjadi upaya sistematis untuk memaksa Rohingya meninggalkan negara bagian. Hal ini bermula pada peristiwa di akhir Mei tahun 2012 yaitu terjadi pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Rakhine yang dilakukan oleh tiga orang Muslim. Kemudian pada tanggal 3 Juni, sekelompok besar umat Buddha Rakhine menghentikan sebuah bus dan membunuh sepuluh orang Muslim yang berada di dalamnya.

Pada bulan Agustus 2017, Tatmadaw, militer Burma/Myanmar, telah mengusir 730.000 orang Rohingya dari tempat asal mereka yaitu negara bagian Rakhine. Melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan, mereka kemudian berlindung ke negara tetangga, Bangladesh. Jauh sebelum itu, pada tahun 1978, pasukan keamanan Myanmar memulai Operasi Nagamin, yang menghasilkan arus masuk Rohingya pertama ke Bangladesh (sekitar 250.000 orang). Gelombang kedua terjadi pada tahun 1991-92 (sekitar 200.000). Kemudian, sekitar 360.000 orang Rohingya dipulangkan ke Bangladesh di bawah perjanjian yang ditengahi oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Bahkan setelah perjanjian PBB, gelombang ketiga dimulai pada tahun 2012 (125.000), dan gelombang keempat pada tahun 2016 (87.000).

Kekerasan yang terjadi disana kemudian meningkat dari tahun ke tahun menjadi serangan terhadap sejumlah desa dan kedua komunitas menjadi korban dan penyerang dalam waktu bersamaan dengan massa bersenjata yang melakukan tindakan pembunuhan dan pembakaran. Melansir dari situs The Diplomat, tentara Myanmar dan warga setempat telah membunuh sedikitnya 6.700 orang Rohingya dan mengusir 740.000 orang sembari menembaki ternak dan membakar puluhan desa. Selain itu, beberapa pengungsi Rohingya telah terlibat dalam pertikaian dan konflik antar kelompok di kamp-kamp pengungsian yang mengakibatkan lebih dari 100 orang terbunuh selama lima tahun terakhir, termasuk pembunuhan terhadap Mohibullah, seorang pemimpin Rohingya. Pertikaian dan konflik mematikan tersebut menegaskan kembali keberadaan kelompok-kelompok bersenjata di kamp-kamp tersebut yang dianggap sebagai ancaman potensial bagi keamanan nasional dan regional. Orang Rohingya yang ingin kembali ke wilayah asal mereka juga mengalami kebuntuan. Hal ini dikarenakan seluruh desa Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine yang dihancurkan oleh pasukan militer Myanmar dan digantikan oleh barak polisi, gedung-gedung pemerintah, dan kamp-kamp relokasi pengungsi (Head, 2019).

Sikap negara Myanmar terhadap minoritas Rohingya juga telah melewati batas-batas konflik etnis menuju pra-genosida. Perbedaan agama yang dianut oleh orang Rohingya dengan agama identitas negara, membuat pemerintah Maynmar menganggap Rohingnya dianggap sebagai ancaman eksistensial. Yang kurang untuk disebut sebagai genosida adalah pemicu akhir yang dapat berasal dari konflik, krisis ekonomi, bencana alam, atau peristiwa politik. Namun, telah terjadi pembantaian kepada orang Rohingya yang dilakukan oleh pasukan militer Myanmar di desa-desa dan kamp pengungsian sejak lama.

Teori Konflik Etnis dalam Konflik Rohingya di Myanmar

Teori konflik etnis adalah kerangka pemikiran dalam ilmu sosial yang mempelajari konflik antara kelompok-kelompok etnis. Pada dasarnya, teori ini menekankan bahwa konflik terjadi karena ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya, akses terhadap kekuasaan, atau perlakuan diskriminatif terhadap suatu kelompok etnis oleh kelompok lain. Salah satu pencetus teori ini adalah Max Weber, seorang sosiolog dan ahli ekonomi Jerman yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Teori konflik etnis menggambarkan konflik Rohingya di Myanmar sebagai hasil dari ketegangan antara kelompok etnis mayoritas, yakni orang Bamar, dengan minoritas Rohingya yang merupakan kelompok etnis dan agama minoritas di negara tersebut. Konflik ini dipicu oleh faktor-faktor seperti ketidaksetaraan, diskriminasi, dan ketegangan agama antara mayoritas Buddha dan minoritas Muslim. Penindasan politik dan diskriminasi terhadap Rohingya telah memperburuk konflik tersebut, dengan kekerasan yang terus meningkat dan menyebabkan jutaan orang Rohingya menjadi pengungsi.

Respon Negara dan Komunitas Internasional

Banyak negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh sangat prihatin mengenai isu kemanusiaan yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya. Indonesia sendiri mendukung upaya internasional untuk menyelesaikan konflik Rohingya dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan. Pada tahun 2020, Indonesia juga berkontribusi dalam upaya diplomasi untuk memperjuangkan hak-hak etnis Rohingya di forum internasional. Tidak hanya negara-negara tetangga, lembaga internasional seperti PBB dalam misinya juga berperan dalam isu memanusiaan ini. PBB terus memantau situasi Rohingya dan menyuarakan keprihatinan mereka terhadap hak asasi manusia yang terus terjadi di Myanmar. Pada tahun 2020 juga memperbarui panggilan mereka untuk menyelesaikan konflik Rohingya secara damai dan menghormati hak-hak etnis minoritas tersebut.

Kendala yang ada memang cukup menyulitkan dalam memberikan bantuan seperti kendala keamanan terutama di negara bagian Rakhine tempat tingal mayoritas Rohingya karena telah menciptakan lingkungan yang tidak stabil dan berisiko bagi penyedia bantuan kemanusiaan. Adanya kekerasan, konfrontasi bersenjata, dan konflik antara pemerintah Myanmar dan kelompok bersenjata lokal telah mempersulit pengiriman bantuan dan akses ke wilayah yang terdampak. Lalu pembatasan oleh pemerintah Myanmar terhadap akses ke wilayah yang dikuasai etnis Rohingya. Hal ini membuat sulit untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan secara efektif dan memantau situasi kemanusiaan secara langsung. Berikutnya tantangan logistik. Wilayah Rakhine memiliki infrastruktur yang terbatas dan terpencil. Akses ke wilayah-wilayah tersebut seringkali sulit karena kurangnya jalan yang baik, transportasi yang terbatas, dan kondisi cuaca yang tidak menentu, hal ini menghambat bantuan kemanusiaan secara cepat dan efisien. Terakhir, Ketegangan antar komunitas. Masalah antara etnis Rohingya dan komunitas Buddhist Rakhine juga mempersulit upaya bantuan kemanusiaan. Ketegangan dan konflik internal di wilayah tersebut seringkali menghambat akses bagi penyedia bantuan dan dapat menyebabkan kekerasan lebih lanjut.

Upaya Rekonsiliasi

Langkah pertama menuju rekonsiliasi adalah melalui dialog dan negosiasi yang dilakukan secara langsung antara perwakilan Rohingya dan pemerintah Myanmar. Proses dialog ini haruslah inklusif, bermartabat, dan memperhitungkan aspirasi serta kebutuhan semua pihak yang terlibat. Lalu tentang hak asasi manusia, pemerintah Myanmar perlu memastikan perlindungan hak asasi manusia bagi semua warga negaranya, termasuk etnis Rohingya. Hal ini mencakup perlindungan terhadap hak-hak dasar seperti hak atas kewarganegaraan, kebebasan beragama, dan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan. Berikutnya Reformasi konstitusi. Reformasi konstitusi Myanmar dapat menjadi langkah penting menuju rekonsiliasi dengan memberikan pengakuan dan hak yang lebih besar kepada etnis minoritas, termasuk Rohingya. Perubahan konstitusi yang inklusif dapat membantu menciptakan sistem politik yang lebih demokratis dan adil bagi semua warga negara Myanmar. Lalu ada partisipasi politik. Pemerintah Myanmar harus membuka ruang untuk partisipasi politik yang lebih besar bagi etnis Rohingya, baik di tingkat lokal maupun nasional. Hal ini dapat dilakukan melalui penciptaan mekanisme yang memungkinkan perwakilan etnis Rohingya untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan mempengaruhi kebijakan yang memengaruhi kehidupan mereka. Yang terakhir adalah Reintegrasi dan Pembangunan Ekonomi, Untuk menciptakan kondisi yang mendukung rekonsiliasi, diperlukan upaya untuk mereintegrasi etnis Rohingya ke dalam masyarakat Myanmar secara menyeluruh. Ini termasuk memberikan akses yang adil terhadap lapangan kerja, pendidikan, dan layanan kesehatan, serta mengembangkan program pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah yang terdampak konflik.

Solusi Konfllik

Untuk mengatasi konflik etnis dan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar, diperlukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

 

  • Jangka Pendek: Prioritaskan pemberian bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya yang terusir dan terlantar di dalam maupun di luar negeri, termasuk makanan, air bersih, tempat tinggal sementara, dan layanan kesehatan yang diperlukan. Berikan perlindungan hukum dan keamanan bagi pengungsi Rohingya, termasuk perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan yang mungkin terjadi di tempat penampungan. Terus berupaya melalui diplomasi multilateral dan tekanan internasional untuk mendorong pemerintah Myanmar agar mengakhiri kekerasan terhadap Rohingya, mengakui hak-hak mereka, dan menyelesaikan konflik dengan dialog dan perdamaian.
  • Jangka Panjang: Lakukan reformasi konstitusi untuk mengakui hak-hak etnis minoritas, termasuk hak kewarganegaraan bagi Rohingya, sehingga mereka dapat merasa diakui sebagai warga negara Myanmar dan memiliki akses yang sama terhadap layanan publik dan hak politik. Kembangkan program rehabilitasi dan reintegrasi untuk membantu Rohingya yang terdampak konflik agar dapat kembali berkontribusi dalam masyarakat, termasuk melalui pembangunan infrastruktur, pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja. Tingkatkan akses pendidikan bagi anak-anak Rohingya dan penyuluhan tentang hak asasi manusia, toleransi, dan perdamaian di antara masyarakat Myanmar, sehingga dapat mencegah terulangnya siklus kekerasan dan konflik di masa mendatang. Mendorong proses rekonsiliasi nasional yang inklusif dan partisipatif, melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk perwakilan etnis Rohingya, untuk membangun kesepahaman, memperkuat kepercayaan, dan menciptakan fondasi yang kuat untuk perdamaian jangka panjang.

Menanti Tindakan Global

Panggilan untuk tindakan global dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya telah disuarakan oleh berbagai organisasi internasional, LSM, dan tokoh-tokoh penting di seluruh dunia. Seperti Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, telah secara konsisten memanggil untuk tindakan global dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya. Dia menekankan pentingnya perlindungan terhadap etnis Rohingya dan panggilan untuk menyelesaikan akar penyebab konflik. Selain itu, Amnesty Internasional juga turut bersuara terkait masalah tersebut, Amnesty International telah menerbitkan laporan yang menyuarakan panggilan untuk tindakan global dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya. Laporan tersebut menyoroti perlunya perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi Rohingya dan menyerukan tanggapan darurat dari komunitas internasional. Negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia juga telah menyuarakan panggilan untuk tindakan global dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya. Mereka menekankan pentingnya kerjasama internasional dan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya. Panggilan-panggilan tersebut menekankan urgensi tindakan global dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya, memperjuangkan perlindungan hak asasi manusia, dan menyelesaikan akar penyebab konflik di Myanmar.

Kesimpulan

Sejarah panjang diskriminasi terhadap etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketegangan antar-etnis. Kebijakan-kbijaakan diskriminatif, seperti penolakan kewarganegaraan dan pembatasan hak-hak dasar, telah menyebabkan isolasi dan marginalisasi Rohingya di negara mereka sendiri. Serangkaian kekerasan dan konflik antara etnis Rohingya dan mayoritas Buddhis Rakhine, serta intervensi militer pemerintah Myanmar, telah memperburuk kondisi kemanusiaan dan menciptakan lingkungan yang tidak stabil di negara bagian Rakhine. Kekerasan dan konflik di Myanmar telah mendorong jutaan etnis Rohingya untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Krisis pengungsi ini menciptakan tekanan kemanusiaan yang besar di wilayah-wilayah tersebut dan memperparah ketegangan antar-negara.

Dampak dari konflik etnis Rohingya ini sangat beragam dan merugikan, termasuk korban kemanusiaan, krisis kemanusiaan, tingkat ketegangan dan instabilitas hingga krisis pengungsi regional. Tindakan segera untuk mengakhiri kekejaman dan mendorong perdamaian serta rekonsiliasi di antara etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar sangat penting karena hal itu dapat mengurangi penderitaan manusia, mengakhiri siklus kekerasan, dan mempromosikan perdamaian yang berkelanjutan.

*Penulis merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Singaperbangsa Karawang.

Referensi

Ibrahim, Azeem. The Rohingyas: Inside Myanmar's Genocide. Hurst, 2018. Accessed 16 March 2024.

Minar, Sarwar J., and Abdul Halim. “Rohingya: Etymology, people and identity.” 2019, https://www.researchgate.net/publication/334644770_Rohingya_Etymology_people_and_identity.

Weidenmann, B. B. (2005). Handbook of interethnic coexistence (pp. 27-47). Springer, Boston, MA.

Rahman, Md, et al. “Future of Rohingyas: Dignified Return to Myanmar or Restoring Their Rights or Both.” The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies, vol. 4, no. 2, 2021, pp. 145-170.

Strangio, Sebastian. “Rohingya Ocean Death Toll Worst in Nearly a Decade, UN Says.” The Diplomat, 24 January 2024, https://thediplomat.com/2024/01/rohingya-ocean-death-toll-worst-in-nearly-a-decade-un-says/. Accessed 16 March 2024.

Uddin, Nasir. “Understanding the Rohingya Crisis.” Asia Pacific Bulletin, East-West Center, 2023, https://www.jstor.org/stable/resrep46888. Accessed 16 Maret 2024.

Bangladesh: Preparing for COVID-19 in the world’s largest refugee camp. (n.d.). Doctors Without Borders - USA. https://www.doctorswithoutborders.org/latest/bangladesh-preparing-covid-19-worlds-largest-refugee-camp

Indonesia faces dilemma on Rohingya refugees. (n.d.). Jakarta Globe. https://jakartaglobe.id/news/indonesia-faces-dilemma-on-rohingya-refugees

The Diplomat. (n.d.). Myanmar ethnic conflicts – The Diplomat. https://thediplomat.com/tag/myanmar-ethnic-conflicts/

Jazeera, A. (2017, December 20). Myanmar bars UN human rights envoy Yanghee Lee. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2017/12/20/myanmar-bars-un-human-rights-envoy-yanghee-lee

Myanmar: A violent push to shake up ceasefire negotiations | Crisis Group. (2021, February 17). https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/myanmar/b158-myanmar-violent-push-shake-ceasefire-negotiations

Amnesty International. (2022, August 8). Myanmar: Rohingya trapped in dehumanising apartheid regime. https://www.amnesty.org/en/latest/press-release/2017/11/myanmar-rohingya-trapped-in-dehumanising-apartheid-regime/

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image