Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alzena Tsany

Republik Demokratik Kongo: Antara Harapan dan Kekerasan di Tahun 2024

Kabar | 2025-01-03 19:39:18

Latar Belakang Konflik

Konflik di DRC telah berlangsung selama beberapa dekade dan melibatkan lebih dari seratus kelompok bersenjata. Konflik di Kongo dimulai dengan Perang Kongo Pertama (1996-1997) yang mengakibatkan penggulingan rezim Mobutu Sese Seko. Perang ini dipicu oleh ketegangan etnis antara Hutu dan Tutsi, terutama setelah genosida di Rwanda pada tahun 1994, yang menyebabkan banyak pengungsi Hutu melarikan diri ke Kongo. Situasi ini menciptakan ketidakstabilan dan memicu invasi oleh Rwanda dan Uganda untuk menggulingkan Mobutu.

Setelah perang pertama, Perang Kongo Kedua (1998-2003) terjadi, melibatkan banyak negara Afrika dan kelompok bersenjata. Perang ini dipicu oleh perselisihan kekuasaan di dalam negeri, serta ketidakpuasan terhadap pemerintahan Laurent Kabila, yang menggantikan Mobutu. Konflik ini menewaskan sekitar 5,4 juta orang, menjadikannya salah satu perang paling mematikan dalam sejarah modern.

Di antara yang paling menonjol adalah M23, kelompok pemberontak yang didukung oleh Rwanda, dan Allied Democratic Forces (ADF), sebuah kelompok yang terafiliasi dengan ISIS. M23 telah menguasai sebagian besar wilayah di provinsi Kivu Utara dan terus melakukan serangan terhadap pasukan pemerintah serta penduduk sipil.

Setelah pemilihan umum yang dianggap cacat pada Desember 2023, ketegangan politik semakin meningkat. Pertikaian antara pemerintah dan kelompok bersenjata semakin intensif, dengan laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan kekerasan terhadap warga sipil. Menurut data terbaru dari PBB, lebih dari 7 juta orang di DRC telah mengungsi akibat konflik ini.

Dampak Terhadap Masyarakat Sipil

Kondisi kemanusiaan di DRC sangat memprihatinkan. Dengan lebih dari 23 juta orang mengalami kelaparan akut dan lebih dari 7 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, negara ini kini menjadi salah satu tempat paling berbahaya di dunia untuk hidup. Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah pengungsi internal meningkat secara signifikan, dengan sekitar 700.000 orang baru mengungsi antara Desember 2023 dan Maret 2024.

Serangan terhadap warga sipil juga meningkat. Kelompok bersenjata seperti ADF dan M23 telah melakukan serangan brutal yang menyebabkan ratusan kematian dan pengungsian massal. Laporan menunjukkan bahwa pada tahun 2023 saja, terjadi lonjakan kasus kekerasan berbasis gender, dengan lebih dari 123.000 kasus dilaporkan. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya akses ke layanan kesehatan dan pendidikan bagi pengungsi.

Peran Kelompok Bersenjata

Kelompok bersenjata di DRC tidak hanya berperang melawan pemerintah tetapi juga saling bertarung untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah. M23, misalnya, tidak hanya menyerang pasukan pemerintah tetapi juga mendirikan pemerintahan paralel di daerah-daerah kaya mineral seperti Rubaya. Hal ini menciptakan ketidakstabilan lebih lanjut dan memperburuk kondisi kehidupan masyarakat sipil.

Di sisi lain, ADF terus melakukan serangan terkoordinasi yang menargetkan kamp-kamp pengungsi serta desa-desa di sekitar wilayah operasi mereka. Serangan-serangan ini sering kali disertai dengan pembunuhan massal dan penculikan anak-anak untuk direkrut menjadi tentara.

Respons Pemerintah dan Internasional

Pemerintah DRC telah berupaya untuk mengatasi krisis ini melalui berbagai cara, termasuk meminta bantuan internasional dan memperkuat militer nasional (FARDC). Namun, banyak kritik muncul terkait integrasi anggota kelompok bersenjata ke dalam FARDC tanpa proses verifikasi yang memadai, yang dapat memperburuk impunitas.

Di tingkat internasional, misi penjaga perdamaian PBB (MONUSCO) masih aktif di DRC meskipun ada rencana penarikan pasukan secara bertahap. MONUSCO telah menghadapi kritik karena dianggap tidak efektif dalam melindungi warga sipil dari serangan kelompok bersenjata. Pada saat yang sama, beberapa negara seperti AS dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi terhadap individu-individu tertentu yang terlibat dalam dukungan terhadap kelompok bersenjata di DRC.

Implikasi Penarikan Pasukan PBB Terhadap Stabilitas Kongo

Dewan Keamanan PBB telah menyetujui rencana penarikan bertahap pasukan penjaga perdamaian, yang dikenal sebagai MONUSCO, mulai Desember 2023, lebih cepat dari rencana semula pada akhir 2024. Penarikan ini dilakukan meskipun ada kekhawatiran tentang meningkatnya kekerasan di bagian timur Kongo, terutama di provinsi Kivu Utara dan Ituri, yang masih dikuasai oleh kelompok bersenjata seperti M23,

Dengan berkurangnya kehadiran pasukan PBB, ada kekhawatiran bahwa kekerasan akan meningkat. Pemerintah Kongo telah lama mengkritik MONUSCO sebagai tidak efektif dalam melindungi warga sipil dari serangan milisi dan kelompok bersenjata. Penarikan ini dapat menciptakan kekosongan keamanan yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tersebut untuk meningkatkan aktivitas mereka.

Penarikan MONUSCO memaksa pemerintah Kongo untuk mengambil alih tanggung jawab penuh atas keamanan nasional. Namun, banyak yang meragukan kemampuan Angkatan Bersenjata Kongo (FARDC) untuk mengatasi tantangan yang ada, terutama mengingat sejarah panjang ketidakstabilan dan korupsi di dalam angkatan bersenjata.

Kekhawatiran juga muncul tentang potensi ketegangan antara Kongo dan negara tetangganya, Rwanda, yang dituduh mendukung kelompok pemberontak di Kongo. Penarikan MONUSCO dapat meningkatkan risiko konfrontasi militer antara kedua negara jika situasi tidak dikelola dengan baik.

Tantangan Kemanusiaan

Krisis kemanusiaan di DRC semakin memburuk seiring dengan meningkatnya kekerasan. Organisasi-organisasi kemanusiaan melaporkan bahwa mereka kesulitan untuk memberikan bantuan karena akses yang terbatas ke daerah-daerah terdampak konflik. Hanya sekitar 16% dari dana yang dibutuhkan untuk membantu 8,7 juta orang pada tahun 2024 yang telah terkumpul hingga saat ini.

Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan dalam situasi ini. Banyak perempuan mengalami kekerasan seksual sebagai senjata perang, sementara anak-anak sering kali direkrut paksa oleh kelompok bersenjata. Menurut data PBB, sekitar 37% gadis di DRC dipaksa menikah sebelum usia 18 tahun.

Kondisi konflik di Republik Demokratik Kongo merupakan cerminan kompleksitas masalah sosial dan politik yang mendalam. Dengan meningkatnya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, masyarakat sipil menjadi korban utama dalam krisis ini. Respons pemerintah dan komunitas internasional masih jauh dari memadai untuk mengatasi tantangan besar ini.

Diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah DRC, organisasi internasional, serta masyarakat sipil untuk menciptakan solusi jangka panjang bagi perdamaian dan stabilitas negara ini. Tanpa tindakan tegas untuk menghentikan kekerasan dan memberikan bantuan kemanusiaan yang diperlukan, masa depan Republik Demokratik Kongo akan terus dipenuhi dengan ketidakpastian dan penderitaan. Artikel ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan menambahkan wawancara dengan para pengungsi atau aktivis lokal serta analisis mendalam tentang kebijakan luar negeri negara-negara tetangga terkait konflik ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image