Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devira Aulia

Rohingya Korban Narasi Kebencian

Politik | 2024-11-01 21:51:50

Demonisasi Media Terhadap Rohingya

Semenjak tahun lalu di 2023 warga Indonesia khususnya warga media sosial dihebohkan oleh berita kedatangan pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh. Dan isu ini terangkat lagi karena kedatangan kembali pengungsi Rohingya beberapa hari terakhir ini.

Dibalik ramainya berita terkait kedatangan orang-orang Rohingya ternyata banyak dilingkupi berita-berita bohong dan misinformasi. Sudah banyak media kredibel yang mengangkat masalah demonisasi terhadap Rohingya. Kemarahan-kemaran warga ternyata berangkat dari banyaknya hoax yang lahir dari media sosial yang juga banyak terdeteksi adanya buzzer-buzzer dari akun bot anonim yang jumlahnya bisa puluhan.

Penggunaan media sosial sebagai alat propaganda bukanlah hal baru. Israel pun terbukti sangat pro terhadap war on media nya yang dikenal dengan Propaganda Hasbara. Dengan mudahnya proaganda ini memframing suatu kelompok atau etnis yang dibalut dengan dusta-dusta dan masyarakat termakan olehnya.

Pengaruh aksi umat yang dibantu platform media sosial terbukti bisa menjadikan umat sebagai pelaku geopolitik. Momen Arab Spring satu dekade lalu yang menjalar ke negeri-negeri muslim lainnya yang dimulai oleh sosok pemuda Tunisia melalui Twitter dan facebook, kemudian momen 212 yang menyatukan jutaan muslim di Indonesia yang juga dimobilisasi media sosial, begitupula pembelaan global terhadap Palestina yang disatukan dalam platfrom digital membuktikan hal ini.

Namun sayangnya, terkait isu Rohingya umat masih bisa tertipu oleh isu-isu murahan yang dilancarkan para buzzer dikarenakan kurangnya pengetahuan dan sikap yang cenderung emosional dan reaktif. Sikap seperti ini sangat mudah dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang ingin menciptakan fear mongering untuk memprovokasi dan mengadu domba umat Islam.

Jika fear mongering ini berhasil, maka umat tidak akan mau lagi menerima argumen seterang apapun. Kebencian yang lahir dari rasisme dan xenophobia akan menutup semua kebenaran. Inilah bahayanya fear mongering dan propaganda. Pembantaian di Palestinapun lahir dari narasi dehumanisasi yang dilancarkan Israel. Apakah kita tidak belajar dari hal ini?

Efek dari demonisasi inipun fatal. Terjadi aksi pengusiran oleh mahasiswa yang ternyata juga lahir dari ditelannya hoax secara mentah-mentah. Hal ini sudah diungkap oleh banyak media melalui wawancara yang dilakukan pada Korlap aksi dan argumen yang dipaparkan ternyata berangkat dari hoax. Sungguh disayangkan aksi mahasiswa yang reaktif ini, seharusnya mahasiswa punya literasi yang baik sehingga aksinya pun bukan dipicu hal-hal yang semata-mata viral.

Rohingya: Palestinanya Asia Tenggara

Prof. Charney dalam penelitiannya menyebut Rohingya adalah Palestinanya Asia Tenggara karena kesamaan nasib dan posisi. Kenyataan bahwa Myanmar sahabat karib Zionis Israel selama puluhan tahun juga menunjukkan musuh umat Islam sebenarnya adalah Myanmar, pihak yang menindas etnis Rohingya selama puluhan tahun.

Tahun 1982 Myanmar melakukan operasi penghapusan kewarganegaraan kaum Muslim Rohingya karena dinilainya sebagai warga negara bukan asli Burma. Padahal banyak fakta sejarah yang membuktikan bahwa Rohingya sudah mendiami Arakan Burma selama berabad-abad.

Menurut penelitian Francis Buchanan dalam “Asiatic Research 5” yang diterbitkan 1799 Muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823. Sementara, sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris di Burma pada 1826, 1872, 1911, dan 1941 juga menyebutkan, masyarakat Rohingya yang diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma.

Menurut hasil dokumentasi SIL Internasional (sebuah lembaga bahasa dunia yang memiliki status konsultatif khusus dengan PBB), bahasa Rohingya Myanmar masuk dalam rumpun dialek Indo-Arya. Bahasa ini terdaftar dengan kode “rhg” dalam tabel ISO 639-3. Semua hal ini menunjukkan bahwa etnis Rohingya adalah penduduk asli Arakan.

Dengan dicabutnya kewarganegaraan Rohingya, mereka mengalami diskriminasi yang luar biasa.

Mereka tidak mendapatkan hak-hak mendasar sebagai manusia seperti kesehatan, pendidikan, bantuan ekonomi dan hak-hak administratif lainnya. Bahkan mereka mengalami depopulasi dengan larangan menikah sebelum berusia 30 tahun. Seringkali mereka mendapatkan penyiksaan bahkan genosida yang menyebabkan ratusan ribu bahkan jutaan eksodus ke Bangladesh dan negara-negara lain. Dan ini masih berlangsung hingga sekarang.

Keluar dari Myanmar ke Bangladesh pun bagaikan keluar mulut harimau masuk mulut buaya. Kondisi Cox’s Bazar sungguh jauh dari kata layak. Lokasi tersebut juga sering menjadi sasaran pembakaran oleh pihak-pihak yang tak dikenal. Tingkat kriminalitas pun tinggi karena tidak adanya kontrol dan pengamanan pemerintah. Cox’s Bazar dijadikan pusat transaksi narkoba dan penculikan anak baik dari orang-orang Bangladesh atau internal kamp sendiri. Aksi penembakan geng-geng bersenjatapun sering terjadi disana hingga memakan korban orang-orang tak bersalah. Namun sayangnya fakta-fakta ini tak dipahami dan tak dipelajari oleh orang-orang nir ilmu, nir empati dan nir adab yang melahap apapun informasi yang beredar di media sosial.

Pentingnya Kesadaran Digital

Masuknya media sosial dsalam arus globalisasi dan perannya dalam geopolitik dunia seharusnya dijadikan umat Islam sebagai senjata melawan kedzaliman. Umat tidak boleh apatis terhadap isu-isu yang disajikan. Umat harus berperan dalm menyebarkan narasi kebangkitan dan bukannya malah terjebak pada fear mongering yang menyerang saudara seiman sendiri.

Langkah awal agar tidak terjebak pada hoax, kita harus memiliki basic knowledge atas semua isu. Jika kita tidak memilikinya, kita akan mudah digiring pada opini-opini receh yang memancing emosi. Jangan mudah tertipu oleh video-video pendek dengan narasi palsu yang dibuat sendiri tanpa tahu sumbernya. Kita memiliki pedoman yang jelas dalm Surat Al Hujurat ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Kita juga harus menyadari, bangkitnya umat yang dipicu sosial media juga disadari oleh Barat sehingga kini Facebook, Twitter dan Google berubah arah menjadi promotor kampanye disinformasi yang luas sebagaimana diungkap Haythem Guesmi dalam diskursus 10 tahun peringatan Arab Spring. Maka tidak heran jika hoax fitnah pun meluas terkait isu Rohingya.

Kewajiban Muslim Menolong Saudaranya

Sungguh kaum muslim adalah satu tubuh, jika sakit satu bagian tubuh maka bagian lain akan merasakan juga dengan demam. Etnis Rohingya adalah kaum Muslim yang tertindas, maka menolongnya bukan kewajiban orang-orang tertentu namun menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslim di dunia.

Kita bisa banyak belajar dari peristiwa Hijrah bagaimana kaum Anshor menolong kaum Muhajirin dari Makkah. Mereka rela berbagi harta bahkan istri demi saudara muhajirinnya yang datang tanpa membawa apapun. Kita juga bisa belajar dari Muhammad Al Fatih yang menolong 150.000 Yahudi yang terusir dari Spanyol dan hingga kini beranak pinak di Galata. MasyaAllah. Dan bagaimana bisa ada Muslim yang mencerca saudaranya dengan alasan-alasan yang bahkan lahir dari kebohongan? Naudzu billah min dzalik.

Sungguh umat Islam kini tercerai berai atas nama nasionalisme tang menyekat-nyekat. Atas dasar keamanan dan kepentingan nasional dengan mudahnya kita menutup mata atas ketertindasan jaum Muslim di negara lainnya. Kasus Palestina, Uighur, Rohingya, Afghanistan, Irak dan berbagai negeri Muslim memperjelas bahwasanya umat Muslim membutuhkan satu junnah (perisai) berupa institusi global yang melindungi dan menyatukan kaum Muslim di seluruh dunia.

Dan satu institusi tersebut tak lain ialah Khilafah Islam yang atas kewajibannya telah bersepakat 4 Imam Mazhab kita. Semoga Allah ta’ala segera menurunkan pertolongannya kepada kaum muslim di seluruh dunia.

Wallahu a’lam bis shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image