Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Meningkatkan Keterwakilan Politik Perempuan

Politik | Friday, 13 Jan 2023, 17:20 WIB

Peran perempuan dalam kehidupan sosial kerap mengalami peminggiran, mereka senantiasa mendapatkan perlakukan tidak setara, timpang, dan tidak adil. Perempuan mendapat stigmatisasi mewakili kelemahan, ketidakmandirian, dan emosional. Bahkan dalam sejarah peradaban dunia kaum perempuan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, ditempatkan sebagai makhluk kelas dua, tidak memiliki hak sama dengan laki-laki.

Sumber : https://pixabay.com

Tercatat dalam mitologi Yunani Kuno perempuan digambarkan penuh tipu muslihat, sosok itu bernama Pandora yang ditugaskan Dewa Zeus menggoda laki-laki bernama Titan, manusia pemberontak yang mencuri api abadi dari para dewa. Pandora memiliki tugas dari Dewa Zeus mengalahkan Titan dengan tipu daya untuk merebut kembali api abadi (Agustino, 2007).

Di dalam tulisan Plato dan Aristoteles (Symposium, Timaeus, Politics, dan Metaphysic) sosok perempuan dilabeliasai manusia lemah, tidak bijak, pembohong, dan tidak taat (Agustino, 2007).

Bahkan ketika prasis demokrasi langsung diterapkan di negara kota Athena lima abad sebelum masehi, kaum perempuan tidak memiliki hak menjadi anggota majelis tinggi ecclesia, forum tempat warga negara (laki-laki) berusia 25 tahun membahas, merumuskan, dan menetapkan kebijakan negara kota Athena. Perempuan tidak boleh berkiprah di ranah politik pemerintahan, peran mereka ketika itu terbatas di wilayah domestik atau keluarga, dunia politik menjadi monopoli laki-laki (Suhelmi, 2012).

Dari beberapa catatan sejarah itu, menempatkan perempuan dibawah subordinasi struktur sosial tidak ramah, hal ini disebabkan oleh perspektif gender yang keliru.

Gender sendiri didefinisikan membedakan perlakuan seseorang berdasarkan jenis kelamin dikontruksi oleh sosial dan budaya. Konstruksi sosial telah memberikan pelabelan laki-laki sosok maskulin, kuat, dan rasional. Sedangkan perempuan sosok lemah, lembut, dan emosional. Dampak dari pelabelan sosial tersebut berakibat peminggiran peran perempuan, sangat merugikan dan menimbulkan ketidakadilan gender, terutama marginalisasi perempuan untuk berperan di sektor publik, termasuk berkiprah di dunia politik.

Di dunia politik sendiri peran perempuan belum maksimal, berdasarkan catatan Inter Parliamentary Union, sampai tahun 2013 hanya 39 negara pernah memiliki pemimpin perempuan, sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan (presiden atau perdana mentri), kemudian hanya 10% mentri kabinet dari kalangan perempuan, dan hanya 15% anggota parlemen perempuan.

Menurut Prof. Joni Lovenduksi dalam buku Politik Berparas Perempuan (2012) terdapat tiga penyebab rendahnya keikutsertaan perempuan di bidang politik.

Pertama, sumber daya finansial diperlukan memasuki dunia politik masih lemah, perempuan lebih miskin dari pada laki-laki, mereka tergantung secara ekonomi kepada laki-laki (ayah atau suami), karena selama ini konstruksi sosial menempatkan laki-laki berperan dominan di ranah publik dalam mencari nafkah.

Kedua, keterbatasan waktu dimiliki perempuan, peran di sektor domestik telah menyita waktu mereka, menjadikan energi serta pikiran terbelah, terdapat “kewajiban khusus” menuntut perhatian penuh perempuan, sehingga berkarir di bidang politik mengandalkan sisa energi serta tenaga, berdampak kepada karir politik mereka tidak berjalan maksimal.

Ketiga, stigma politik merupakan dunianya kaum maskulin, penuh tekanan dan intrik, sehingga dipandang tidak cocok bagi kaum perempuan, dampaknya perempuan jadi kurang percaya diri memasuki gelanggang pertarungan politik. Padahal ketika perempuan memasuki dunia politik, serta menduduki kursi legislatif atau eksekutif, diharapkan lahir berbagai produk politik berparas feminin atau ramah terhadap kaum perempuan.

Di Indonesia sendiri keterlibatan politik perempuan mendapat dukungan penuh dari konstitusi, terdapat dua regulasi dikenal dengan affirmative action terdiri dari kuota khusus 30% dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) di tiap daerah pemilihan, serta kebijakan zipper system, partai harus memasukan satu perempuan dari tiga kandidat, atau daftar dibuat selang-seling antara kandidat laki-laki dengan kandidat perempuan, agar peluang keterpilihan perempuan lebih besar.

Meski terdapat affirmative action keterwakilan politik perempuan masih sangat rendah, dari tiga kali pemilu (2009, 2014, dan 2019) kuota keterwakilan 30% belum tercapai. Pada Pemilu 2009 anggota DPR RI perempuan 101 anggota (18,04%), Pemilu 2014 menempatkan 97 perempuan (17,32%), dan Pemilu 2019 mencapai 118 anggota (20,8%). Di pemilu terakhir keterwakilan politik perempuan memperoleh kenaikan, tetapi belum bisa mencapai angka keterwakilan 30%.

Menariknya menurut hasil riset Puskapol UI Terdapat beberapa faktor pendorong keterpilihan caleg perempuan di DPR RI pada Pemilu 2019.

Pertama, mereka terpilih nomor urut calegnya kecil dari 1 sampai 3, meski nomor urut bukan faktor menentukan keterpilihan seseorang, tidak bisa dipungkiri para pemilih memiliki kecenderungan memilih caleg nomor urut paling atas.

Kedua, caleg perempuan terpilih memiliki hubungan kekerabatan dengan elit lokal, artinya relatif memiliki jaringan politik memenangkan kontestasi.

Ketiga, kader partai perempuan terpilih memiliki pengalaman berkompetisi elektoral, ketika pilkada atau pemilu sebelumnya, mereka sudah memiliki basis massa pendukung, serta relatif di kenal di daerah pemilihan.

Berkaca dari ketiga faktor itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan, sehingga di Pemilu 2024 persentase keterwakilan perempuan bisa meningkat, langkah pertama harus dilakukan melakukan reformasi di dalam partai politik, melakukan perbaikan sistem rekruitmen kader perempuan. Kedepan partai politik tidak sekedar memenuhi aturan angka 30% kuota khusus, tetapi mempersiapkan kader perempuan untuk siap berkompetisi, melakukan pendidikan politik secara intensif kepada kader perempuan, sehingga mereka memiliki kesiapan secara totalitas terjun dalam dunia politik praktis, sampai mempunyai kematangan berpolitik secara ideologis dan psikologis.

Partai politik juga diharapkan memberikan nomor urut kecil kepada calon legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan dari pusat sampai daerah, sehingga peluang keterpilihan mereka besar, sebab pemilih terkadang memilih daftar caleg urutan teratas.

Berikutnya memberikan posisi-posisi strategis di dalam struktur partai kepada kader perempuan, tujuannya memberikan kesempatan kader perempuan mengaktualisasikan pemikirannya, dengan memberikan posisi di partai, mereka dilatih kematangan serta nalar dalam berpolitik.

Selain menata sistem kaderisasi di dalam partai politik, terpenting dilakukan sebenarnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang pentingnya perempuan memiliki wakilnya secara representatif. Pendidikan politik ini bisa dilakukan semua komponen masyarakat, tidak saja oleh partai politik, dengan memberikan penyadaran kepada masyarakat, diharapkan angka partisipasi dan keterwakilan politik perempuan meningkat di Pemilu 2024.

Tentunya lebih penting kenaikan keterwakilan politik perempuan tidak terjadi secara kuantitas saja, tetapi disertai kualitas dari para wakilnya, sehingga betul-betul kehadiran mereka bisa memberikan solusi cerdas serta tepat atas berbagai permasalahan dihadapi perempuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image