Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD RIZQI HILMIY

Upaya dan Tantangan dalam Menghadapi Isu Freedom of Religion di China

Agama | Tuesday, 03 Jan 2023, 23:36 WIB
source : shutterstock

China merupakan negara adidaya yang ada di Asia dan tidak dapat dipungkiri keberadaan China mampu mendobrak dominasi negara-negara barat terutama dalam aspek ekonomi terbukti dengan China yang berhasil berada di posisi kedua dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. China juga dikenal dengan perkembangan industri serta teknologi nya yang berkembang begitu pesat sehingga mengantarkan China menuju puncak kejayaannya yang dapat kita lihat hingga saat ini. Namun dengan kehebatan tersebut China tidak terlepas dari isu domestiknya, agama menjadi salah satu tantangan dan isu domestik yang yang mereka hadapi saat ini dimana pemerintah China telah pemerintah China telah merubah kebijakan pemerintah terkait agama dengan memberlakukan Undang-Undang yang mengizinkan masyarakat China untuk hanya menganut 5 agama yang diakui secara resmi di China.

Pada tahun 2016 Presiden Xi Jinping dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) menyatakan bahwa agama harus disinisasi. Sinisasi merupakan proses pembentukan ide, termasuk praktik keagamaan dan budaya agar sesuai dengan nilai dan tujuan PKC. Hal ini berdampak pada represi terhadap kebebasan beragama yang meliputi pemenjaraan umat beragama dan kekerasan fisik terhadap penganut agama tertentu. Pemerintah China mengubah kebijakan melalui cara yang lebih halus dengan aturan administrasi dan regulasi dimana para masyarakat China diharuskan untuk mendaftarkan kepercayaan yang dianutnya pada negara.

Penerapan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah China memungkinkan pemerintah untuk mampu memonitor kepercayaan penduduknya. Adapun beberapa agama yang tidak termasuk dalam agama resmi di China adalah Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Daoisme yang mana agama tersebut cukup banyak penganutnya di China sehingga berpotensi terjadi direpresi pada jutaan umat Muslim, Kristen, Budha, dan lain-lain menjadi sasaran penahanan semena-mena, kerja paksa, penyiksaan, dan penghancuran bangunan.

Kebebasan agama di China semakin terancam saat Partai Politik penguasa di China memiliki berbagai regulasi yang tidak pro terhadap kebebasan beragama. Partai Komunis China mengontrol kebebasan beragama di China. Upaya untuk mengontrol kebebasan beragama juga tercantum dalam konstitusi China yang memberikan konstitusi kebebasan bagi para penduduk China untuk melakukan aktivitas religius normal yaitu serangkaian kegiatan keagamaan yang disetujui pelaksanaannya oleh pemerintah. Contoh kasus dari kebebasan beragama yang terjadi di China pada tahun 2021 dimana polisi menangkap warga yang beribadah di luar parameter agama yang disetujui negara, lalu penahan pada 9 orang yang terlibat di Gereja Golden Lamp yang tidak sah di Linfen, Shanxi pada agustus lalu. Bahkan yang paling besar dan menjadi perhatian internasional yakni yang terjadi pada umat Muslim Uighur di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang yang terjadi sejak 2014 dimana menurut PBB perlakuan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

Kebebasan beragama merupakan bentuk dari hak asasi manusia namun tidak banyak cara yang dapat dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban China atas penganiayaan agama sebab China belum meratifikasi atau menerima yurisdiksi banyak dalam perjanjian HAM internasional dan dibutuhkan biaya uang besar untuk meminta pertanggungjawaban pejabat China serta sulitnya bukti yang ditemukan. China memang memberikan dukungan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) namun deklarasi tersebut tidak mengikat dan tidak memuat ketentuan yang memadai mengenai upaya hukum ketika hak dilanggar. Dalam yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasonal (ICC) penganiayaan agama adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan menargetkan seseorang atau beberapa orang berdasarkan ras, agama, etnis, budaya, jenis kelamin, dan sebagainya. Dalam Pasal 12 Statuta ICC juga telah tercantum bahwa yurisdiksi Mahkamah hanya dapat ditetapkan atas kejahatan internasional yang terjadi di dalam wilayah negara anggota atau ketika dugaan kejahatan dilakukan oleh warga negara anggota. China bukan negara anggota ICC dan semua tersangka tampaknya adalah warga negara China, sehingga yurisdiksi tidak dapat ditetapkan.

Upaya menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia berkaitan kebebasan beragama di China dapat melalui tindakan soft law dan hubungan diplomatik. PBB dapat menekan China dengan sejulah mekanisme soft law yang dimilikinya. Ada sebanyak 25 negara yang merekomendasikan agar China memperkuat komitmennya terhadap kebebasan beragama dan komunitas internasional mengakui kebebasan beragama sebagai bidang yang menjadi perhatian khusus dan menyerukan untuk pratik-praktik seperti penahanan yang sewenang-wenang dapat dihentikan. Takh hanya itu, langkah- langkah diplomatik juga diperlukan termasuk sanksi, boikot perdagangan, dan kecaman publik. China bisa unilateral dengan suatu negara sevra individual menerapkan tekanan politik atau ekonomi bahkan negara- negara dapat bekerja sama untuk menerapkan tekanan secana multilateral.

Langkah- langkah diplomatik telah di implementasikan dengn tujuan tegas untuk mengakhiri penindasan terhadap muslim Uyghur. Seperti Amerika Serikat yang telah memboikot kapas yang dipanen menggunakan kerja paksa umat muslim Uyghur. Uni Eropa, Kanada, dan Amerika Serikat juga telah menerapkan sanksi pada pemerintahan China dalam upaya untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang. Hingga saat ini terjadi serangan luas terhadap agama di seluruh pelosok China karena telah mendapatkan pengakuan internasional baik Departemen Luar Negeri AS dan Komisi AS untuk kebebasan beragama telah menyebut China sebagai negara yang sangat memprihatinkan atas penindasan kebebasan beragama. Meskipun langkah- langkah diplomatik tersebut menghadirkan tantangan tersendiri karena posisi China dalam ekonomi internasional yang begitu kuat dan berpengaruh terlebih adanya Belt and Road Intiative. China yang merupakan negara superpower dan langkah- langkah diplomatik mungkin perlu menjadi ekstrim sebelum pemerintah merasakan tekanan internasional yang cukup untuk mengakhiri kebijakan penindasan agama.

Oleh karena itu, cara yang paling efektif dan tercepat untuk menanggapi isu ini ialah dengan mengubah kebijakan Sinicization mereka meskipun ini tidak mungkin akan dilakukan pemerintah China sehingga kombinasi sarana diplomatik dan tindakan hukum yang memberikan keadilan yang pada akhirnya dapat dilakukan. Cara diplomasi dapat menekan pemerintah untuk berhenti melanggar HAM sedangkan cara hukum dengan memberikan pertanggungjawaban atas hak yang telah dilanggar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image