Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MerahBersabda

KUHP: Regulasi Oligarki

Politik | Monday, 02 Jan 2023, 19:47 WIB

KUHP : Regulasi Oligarki

Oleh : Betran Sulani

Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. KUHP yang sekarang di berlakukan bersumber dari hukum colonial belanda yaitu wetboek van strafrecht voor nederlands indie. Setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami kekosongan hukum maka berdasarkan ketentuan peralihan pasal II UUD 1945, KUHP tetap di berlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan.

Mengingat Indonesia merupakan Negara hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD, maka setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan konstitusi demi terwujudnya supremasi hukum dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Hukum sifatnya aktif, mengikuti perkembangan masyarakat agar tercapainya kepastian hukum. Karena itu, hukum membutuhkan perubahan termasuk hukum pidana Indonesia. Sebab, muatan materi dalam KUHP belum mengakomodir kejahatan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Menyadari itu, pemerintah lantas melakukan perubahan KUHP dengan semangat dekolonialisasi yang bertujuan untuk menjamin hak asasi manusia. Namun, dalam perubahan tersebut terdapat hal-hal yang tidak sesuai sehingga menimbulkan kontroversi, dimana berujung pada gejolak perlawanan menolak KUHP. Hal ini semakin memanas lantaran pemerintah tetap mengesahkan peraturan tersebut pada tanggal, 6 Desember 2022 tanpa mempertimbangkan masukan dari masyarakat.

Adapun kemarahan masyarakat merujuk pada beberapa pasal yang termaktub dalam KUHP yang di nilai karet dan cenderung tidak berpihak terhadap masyarakat. Tentu hal ini kontradiktif dengan Negara yang menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi, sebab pada dasarnya hukum sebagai instrumen untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik dengan memenuhi prinsip-prinsip hukum yaitu kepastian serta keadilan.

Sebagaimana diketahui, tujuan perubahan KUHP yaitu menjamin hak asasi manusia. Namun, adanya pengambilan keputusan secara sepihak ini, justru bertolak belakang dengan tujuan yang ada bahkan termasuk sudah merampas hak asasi manusia.

Berikut pasal-pasal yang merampas hak asasi manusia;

Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden

Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di atur dalam pasal 218 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang dimuka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden atau wakil presiden di pidana dengan pidana penjara 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Pada dasarnya, penjelasan di pasal ini merupakan penghinaan dengan menyerang nama baik presiden atau wakil presiden dimuka umum, tetapi tidak dijelaskan bentuk-bentuk atau klasifikasi kategori penghinaan yang dimaksud. Hal ini tentu akan berpengaruh pada fungsi kontrol masyarakat, semisal ketika seseorang pada saat demonstrasi menolak kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat lalu mengatakan presiden tidak paham pancasila, akan menimbulkan banyak tafsiran apakah hal demikian masuk dalam kategori kritikan atau penghinaan. Jangan sampai ketidakjelasan penafsiran pasal akan menjadi senjata pemerintah untuk mengkriminalisasi, intimidasi serta refresifitas terhadap masyarakat.

Kemudian, presiden dan wakil presiden merupakan lembaga tertinggi dalam struktur pemerintahan. Pesiden adalah lembaga yang sifatnya pasif bukan individu manusia yang memiliki perasaan. Karena itu, bagaimana mungkin presiden dapat mengetahui bahwa dia di hina sedangkan tidak memiliki rasa emosional (marah dan sakit hati). Lalu, bagaimana mekanisme atau prosedural pengaduan yang dapat di lakukan oleh presiden?

Secara moral, memandang penghinaan pada hakekatnya merupakan perbuatan tercela. Namun, ada etika sebagai penyeimbang dalam memandang suatu perbuatan kejahatan. Etika adalah ladang tempat hukum di temukan, dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan yang telah di berikan sanksi dan diformalkan. Secara herarki dalam filsafat hukum, etika lebih tinggi posisinya dibandingkan hukum. Etika merupakan aturan yang mengatur tingkah laku manusia, etika berfungsi mengatur sikap seseorang kepada orang lain sehingga tercipta keadaan lingkungan yang harmonis. Maka itu, sangatlah tidak tepat ketika ada pasal yang mengatur tentang penghinaan presiden dalam KUHP, alasannya sederhana bahwa presiden adalah lembaga Negara bukan individu manusia.

Dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menjelaskan bahwa setiap warga Negara memiliki kesamaan kedudukan di mata hukum maupun pemerintahan asas equality before the law sebagai manifestasi dari Negara hukum. Artinya, hukum tidak menciptakan kelas dalam kehidupan masyarakat. Karenanya, antara masyarakat sipil dengan seseorang yang menduduki singgasana pemerintahan terlebih presiden memiliki posisi setara dimata hukukm. Hemat saya, penerapan pasal 311 KUHP yang saat ini masih berlaku tentang pencemaran nama baik, masih relevan jika tujunnya untuk menjaga kehormatan atau harkat dan martabat seseorang yang menduduki posisi sebagai preiden. Karena pada hakikatnya itu untuk melindungi hak asasi manusia.

Penghinaan Terhadap Pemerintahan atau Lembaga Negara

Penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga Negara yang tercantum dalam pasal 240 ayat 1 KUHP berbunyi: “Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Lebih lanjut di jelaskan pada ayat 3 berbunyi “Aduan dapat di lakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga Negara”.

Sesungguhnya, pasal ini tidak berbeda dengan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Melalui ketentuan-ketentuan tersebut saya menilai hukum tidak lagi objektif dan akan berpotensi besar melahirkan kekuatan abuse of power dalam tubuh pemerintahan.

Perlu diingat kembali, bahwa pasal-pasal ini pernah dibatalkan mahkamah konstitusi melalui nomor 013-022/PUU-IV/2006 dengan alasan warisan colonial dan melanggar kesamaan hak didepan hukum. Selain itu, pasal tersebut juga akan menimbulkan konflik kepentingan. Lantas, mengapa saat ini di munculkan kembali, bahkan sudah disahkan?

Demonstrasi

Penyelenggaran aktivitas menyampaian pendapat didepan umum (demonstrasi) juga telah di atur dalam KUHP pasal 256, berbunyi: ”Setiap orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenng mengadakan pawai, unjuk rasa dan demonstrasi dijalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum menimbulkan keonaran, atau huru hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.

Dalam undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tidak di atur ancaman pidana penjara, yang ada hanyalah pembubaran secara paksa ketika tidak terlebih dahulu memberitahukan ke pihak yang berwenang. Dan juga semestinya dalam ketentuan tersebut diperjelas definisi “mengganggu kepentingan umum”, sebab aktivitas demonstrasi sudah tentu akan mengganggu para pengguna jalan dengan menimbulkan kemacetan dan hal ini merupakan perbuatan yang mengganggu kepentingan umum. Dari sini dapat kita lihat, hadirnya pasal tersebut akan secara perlahan-lahan meniadakan hak politik atau hak konstitusional masyarakat serta pembungkaman ruang demokrasi dengan ancaman pidana penjara sebagai upaya untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat.

Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ketika mahasiswa atau masyarakat melakukan demonstrasi yang di perhadapkan adalah tindakan brutal dari aparat kepolisian. Mulai dari pemukulan hingga penembakan terhadap massa aksi di lakukan dengan dalih mengganggu ketertibaan umum atau kepentingan umum, walaupun kegiatan demonstrasi telah di beritahukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang. Pemerintah seharusnya melalui regulasi menciptakan suasana harmonis dan pembangunan ekonomi masyarakat yang merata dan tertata, bukan malah menciptakan kekuasaan dinasti anti kritik.

Nasib KUHP bermasalah tidak berbeda jauh dengan proses pembentukan sampai pengesahan UU omnibuslaw, meskipun tidak sesuai dengan prosedural UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan undangan dan diwarnai dengan kritikan serta dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, masih saja di tetapkan sebagai hukum positif. Harus di pahami bahwa KUHP dan Omnibuslaw merupakan satu kesatuan wacana oligarki (kaum 1%), pemerintah sebagai perpanjangan tangan oligarki untuk tetap menjalankan kepentingan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Omnibuslaw sebagai legitimasi Oligarki menjarah tanah-tanah masyarakat diberbagai daerah untuk pembangunan ekstraktif sehingga tidak sedikit masyarakat kehilangan hak atas tanahnya sebagai salah satu sumber produksi pemenuhan kebutuhan hidup.

Banyaknya pasal karet dalam KUHP akan semakin memperuncing penderitaan rakyat Indonesia. Beberapa pasal yang telah di uraikan di atas adalah bagian dari banyaknya pasal yang bermasalah dalam KUHP. Pada subtansinya, dekolonialisasi regulasi hukum pidana Indonesia merupakan suatu capaian luar biasa yang harus di apresiasi, tetapi muatan materinya harus di perhatikan dan dipertimbangkan agar regulasi yang di ciptakan mampu menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sebaliknya menguntungkan segelintir orang tertentu lalu menindas masyarakat secara struktural, sistematis dan masif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image