Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatih Muhammad

Ketika Revolusi PSSI Terus Digaungkan

Olahraga | Saturday, 31 Dec 2022, 14:59 WIB
Foto: https://akcdn.detik.net.id

Saya ingin mengutip ungkapan seorang Novelis Cekoslowakia, Milan Kundera:

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”.

Sampai di mana telinga PSSI mampu menampung suara-suara protes yang tak berkesudahan dan terus mengingatkan mereka pada tragedi Kanjuruhan yang membawa kematian?

Revolusi PSSI yang terus digaungkan hingga saat ini nampaknya akan terus memiliki nafas panjang. Tragedi Kanjuruhan Malang tak akan pernah habis, dan akan selalu menjadi noktah hitam dalam sepak bola Indonesia. Kejadian itu telah mengusik nurani para suporter. Sehingga rasa kemanusiaan di antara para suporter dengan sendirinya berkembangan gerakan dan protes yang tak berkesudahan.

Bila di Malang, Aremani menggelar aksi kamisan dengan tagar #tragedikanjuruhan, suporter-suporter lain bahkan menyuarakan protesnya dalam berbagai gelaran sepak bola. Dalam laga demi laga yang dijalani skuad Merah Putih, baik saat melawan Kamboja, Brunei, dan terbaru Thailand di AFF, selalu terpampang dengan jelas poster dan banner yang membentang di tribun-tribun penonton. Protes mereka tegas: Revolusi PSSI.

Apa konsekuensi dari revolusi PSSI dari protes itu?

Keinginan mereka jelas. Kepengurusan PSSI hari ini tidak bisa diandalkan lagi. Tidak ada harapan lagi untuk keberadaan PSSI ini. Revolusi yang dimaksudkan oleh protes mereka adalah pembenahan total. Apa yang diharapkan oleh protes ini adalah seluruh jajaran PSSI harus bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum atas Tragedi Kanjuruhan. Sebab itu, apalagi yang bisa diharapkan dari jajaran yang sudah dinilai bersimbah darah untuk sebuah tragedi besar yang menewaskan 135 orang (itu pun data update terakhir yang saya peroleh).

135 orang yang meninggal! Bayangkan hingga kini tak ada dari jajaran PSSI yang berani pasang badan dan menyatakan dengan sikap ‘gentleman’ untuk mengakui kekeliruan. TGIPF sudah menemukan tak terhitung fakta yang mengungkapkan kesalahan dari pihak jajaran PSSI sebagai induk organisasi. Tapi apa daya, mereka – untuk mengakui saja – tidak mau. Kata-kata ‘mundur’ yang harusnya jadi sebuah pertanggung jawab moral, tak pernah digubris.

Netizen dan publik sepak bola hari ini tidak bisa dibodohi lagi. Berbagai retorika apapun dari jajaran PSSI hari ini untuk mengelak dari fakta tragedi Kanjuruhan hanya akan berakhir pada pernyataan blunder dan memalukan. Pernyataan apologetis semacam itu hanya akan semakin membuat suporter sepak bola kita semakin geram.

Protes Terus Menggelinding

Kekecewaan ini akan terus menggelinding. Semakin meluas. Kita semua pasti akan rugi pada suatu saat ketika kekecewaan publik sepak bola Indonesia sudah pada titik puncak: di mana sepak bola nasional bisa saja ditinggalkan, dan tak lagi ada harapan karena soalnya adalah tak komitmen pembenahan di tubuh induk olah raganya. Tentu ketika situasi ini terjadi, kita semua rugi. Tapi kita masih ingat protes yang membentang di spanduk-spanduk: Tidak Ada Sepak Bola yang Seharga Nyawa. Ini menunjukkan kalau sepak bola tak bisa dibenahi, kalau korban-korban tragedi dibiarkan tanpa ada pihak yang mau bertanggung jawab, untuk sepak bola nasional dibiarkan ada.

Untuk melihat komitmen perbaikan sepak bola ke depan, satu-satunya hanyalah revolusi PSSI. Benahi total seluruh titik pangkal persoalan yang mengakibatkan sepak bola kita berada pada turbulensi, penuh kekacauan. Kongres Luar Biasa PSSI yang kita tunggu-tunggu hanya mungkin punya arti bila ada sebuah pembenahan total: baik dari jajaran kepengurusan di dalamnya, komitmen melakukan tanggung jawab pada korban, dan membenahi dari seluruh aspek sepak bola kita. Kalau KLB PSSI tidak bisa diharapkan untuk semua itu, maka itu pun hanya akan jadi seremoni.

Saya – sebagai bagian dari pecinta sepak bola Indonesia – mendukung protes-protes yang digelar oleh para suporter. Biarkan sepak bola kita diwarnai oleh suara protes, biarkan jajaran PSSI terus diingatkan oleh bentangan spanduk protes yang meminta keadilan, meminta tanggung jawab atas kematian. PSSI dan segala relasi kuasa di dalamnya harus diingatkan oleh itu.

Dengan sedikit modifikasi, saya kutip lagi Milan Kundera: “perjuangan suporter melawan PSSI adalah perjuangan melawan lupa”. Protes mereka! Ingatkan mereka!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image