Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Cek, Amankan, dan Hajar Chard, Jadilah Obstruction of Justice dan Penembakan (bagian 1)

Pendidikan dan Literasi | Wednesday, 21 Dec 2022, 13:48 WIB

Kata-kata “cek dan amankan” menjadi perdebatan antara Hendra Kurniawan dan jaksa dalam sidang kasus Obstruction of Justice yang juga masih satu rangkaian dengan kasus Ferdi Sambo dan Putri Candrawathi. Demikian pula, perdebatan “cek dan amankan” juga terjadi pada kasus yang sama dengan terdakwa Agus Nurpatria.

Keduanya membantah tidak pernah menyuruh terdakwa lainnya, yakni Irfan Widiyanto untuk mengganti DVR CCTV di Kompleks Polri Duren Tiga. Terdakwa Agus mengaku sudah sering mengamankan DVR CCTV sepanjang ia bertugas sebagai anggota Polri. Namun, pengamanan itu tak ia lakukan dengan cara mengganti DVR CCTV yang diduga menangkap momen penting dalam rangkaian suatu peristiwa.

“Dalam pemahaman saya, sesuai lingkup tugas saya, saya sering mengamankan CCTV, tapi saya tidak pernah mengganti DVR-nya,” jelas Agus Nurpatria, ketika bersaksi dalam persidangan Irfan Widyanto, di PN Jakarta Selatan, Jumat (16/12/2022). Hal senada juga disampaikan Hendra Kurniawan dalam persidangan dengan kasus yang sama.

Senada dengan kata “cek dan amankan”, kata “hajar Chard” pun menjadi pembahasan para pengacara Ferdi Sambo dan Putri Candrawathi. Febri Diansyah, mantan juru bicara KPK yang kini menjadi salah seorang pengacara Ferdi Sambo yang mengungkap makna kata “hajar Chard”.

Ia mengatakan, Ferdi Sambo tidak memerintahkan Richard Eliezer untuk menembak Brigadir Joshua. Ia hanya memerintahkan Richard Eleizer menghajar Brigadir Joshua, “Cepat! Hajar Chard”, namun Richard Eliezer malah menembaknya beberapa kali sampai Brigadir Yoshua terkapar.

Tulisan ini tidak akan memaparkan serunya jalan persidangan, sebab para pembaca pun sudah pasti menyaksikannya. Namun tulisan ini mencoba menguliti makna dari kata-kata “cek dan amankan”, “hajar Chard” dari aspek psikolinguistik dan sosiologi Bahasa, dan sedikit kaidah fiqih.

Jika kita telusuri, kekeliruan dalam memahami makna dari suatu kata bukan terjadi pada kali ini saja, tapi sudah terjadi sejak masa orang-orang terdahulu, bahkan dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam. Dalam khazanah Islam terdapat filsafat hukum yang salah satu kajiannya lebih menekankan kepada aspek bahasa.

Ilmu tersebut adalah ilmu Ushulu al Fiqh dan Ilmu Mantiq (logika). Sedangkan ilmu untuk memahami rasa bahasanya dipelajari dalam khazanah ilmu balaghah (sastra) yang didalamnya meskipun tidak lengkap dan tidak secara langsung dipelajari pula psikolinguistik.

Sekedar gambaran kekeliruan dalam memahami kata terjadi ketika pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid r.a. pada masa pemerintahan Abu Bakar r. a. memerangi orang-orang murtad. Peristiwa ini salah satunya terjadi ketika penangkapan Malik bin Nuwairah, pemimpin Bani Yarbu’.

Malik bin Nuwairah selain enggan menyetorkan hasil pengumpulan zakat umat dari Bani Yarbu’ yang ia pimpin kepada Khalifah Abu Bakar r.a, diinformasikan pula ia telah murtad. Tak lama kemudian ia tertangkap pasukan Khalid bin Walid usai pasukan ini memerangi kelompok orang murtad yang mengaku sebagai nabi.

Penangkapan Malik bin Nuwairah ini bertepatan dengan datangnya musim dingin. Ia bersama para pengikutnya ditempatkan di penjara yang sangat dingin. Khalid bin Walid tak tega melihat mereka kedinginan. Kemudian ia memerintahkan seseorang untuk membuat perapian dekat kamar tahanan agar para tahanan bisa menghangatkan diri. Sang Pemimpin Pasukan muslim yang bergelar saifullah ini memerintahkan salah seorang prajuritnya dengan mengucapkan kata dafi’u. Dalam Bahasa Arab, secara umum kata dafi’u kurang lebih berarti menghangatkan tubuh di depan perapian atau api unggun.

Khalid bin Walid tak berpikir apa-apa dengan ucapan kata tersebut. Namun, setelah beberapa lama sang bawahan yang ia perintah keluar dari ruangannya, ia mendengar keributan dan orang-orang yang menjerit-jerit. Ia pun segera keluar dan sangat terkejut ketika melihat peristiwa yang terjadi. Beberapa orang anak buahnya membunuh para tahanan, termasuk Malik bin Nuwairah yang dibunuh Dirar bin al Azwar. Di tengah-tengah keterkejutannya, ia bertanya kepada seorang bawahan yang ia perintah untuk menghangatkan tubuh para tahanan.

Sang Panglima kaum muslimin tersebut merasa heran ketika mendengar jawaban bawahan yang ia perintah tadi. Ia memahami perintah sang Panglima, dafi’u, sebagai perintah untuk membunuh mereka. Menurutnya, dalam bahasa Arab Bani Kinanah, salah satu dialek Bahasa Arab yang mereka pahami, kata dafi’u bermakna membunuh.

Para ahli tarikh Islam berbeda pendapat terhadap penyebab terbunuhnya Malik bin Nuwairah dan rekan-rekannya. Terlepas dari perbedaan tersebut, terdapat satu hal yang menarik dari peristiwa tersebut, yakni kesalahpahaman dalam memahami makna suatu kata.

Dalam peristiwa tersebut bawahan Khalid bin Walid yang diperintah membuat perapian untuk menghangatkan tubuh para tahanan memiliki pemahaman makna yang berbeda terhadap kata dafi’u. Menurutnya makna kata tersebut sebagai perintah membunuh para tahanan (bersambung)

Ilustrasi : Ferdi Sambo (sumber gambar : metrotvnews.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image